Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
SELAMAT MEMBACA
Belum sempurna kaki Almira menampak di rumah besar keluarga suaminya, lengkingan sang ibu mertua lebih dulu menyambutnya. Wanita itu sampai tersentak kaget dan mundur satu langkah.
“Kenapa kamu pulang Mira?!” ujarnya dengan nada tinggi, emosinya yang belum stabil akibat percekcokan dengan sang anak bungsu membuat wanita setengah baya itu sensitif. “Bukanya saya sudah bilang untuk selalu berada di dekat anak saya, dia tidak boleh merasa sendiri dan kesepian. Kamu harus berada di sana dan mengajaknya bicara!” suara Ratna kian meninggi. Bahasa wanita setengah baya itu juga menjadi formal, sangat jauh berbeda dengan sikap lembut yang Almira dapatkan selama ini.
“Mah...” panggil Almira dengan suara lembut dan tatapan yang memancarkan ketakutan. Menunjukkan wanita lemah lembut yang kini tengah terluka akibat bentakan.
Ratna memijit kedua sisi dahinya seraya menarik napas lalu membuangnya perlahan. Setelah merasa sedikit tenang, kini wanita setengah baya itu merasa sangat bersalah telah membentak menantunya, apalagi melihat wajah sedih dan tertekan dari menantu kesayangannya.
“Maafkan mama, Mira. Akhir-akhir ini mama sedang banyak masalah,” Ratna memijit dahinya, berharap dapat meredakan sakit kepalanya yang sejak tadi menyerang.
“Mmm, tidak apa-apa, Mah. Mira mengerti.” Wanita itu mengangguk dengan wajah tulus di mata Ratna. “Sebenarnya aku juga tidak tega meninggalkan Mas Evrand di rumah sakit sendirian, tapi ada sesuatu yang harus aku ambil di rumah.” Ujar Almira. “Aku juga sudah kirim pesan ke Mama buat gantiin aku sebentar, tapi sampai sekarang Mama belum balas.” Lanjutnya menjelaskan, tidak sepenuhnya ingin disalahkan.
“Hari ini sangat sibuk, mama belum sempat lihat ponsel.” Ratna menghela napas. “Kalau begitu cepat selesaikan urusanmu, kita berangkat bersama ke rumah sakit.” Wanita itu sama sekali tidak ingin meninggalkan Evrand terlalu lama tanpa penjaga, ia takut ketika Evrand bangun dan membutuhkan sesuatu tidak ada yang membantu.
“Iya, Mah.” Almira terlihat sangat patuh, ia segera menaiki lantai dua dimana kamarnya bersama Evrand berada.
***
Setelah menyelesaikan sholat isya berjamaah, Wira dan Zevanya memilih untuk menghabiskan waktu di depan layar televisi. Keduanya belum sama-sama mengantuk, dan acara menonton kali ini di temani teh hangat dan camilan kue yang tadi sempat Zevanya buat. Gadis itu begitu tidak sabaran untuk memasak di dapur baru yang telah dirancang suaminya dengan begitu rupa.
Keduanya duduk dalam jarak setengah meter, sungguh tidak mencerminkan pengantin baru. Padahal sudah berkomitmen untuk menjalani pernikahannya ini dan akan saling membuka hati untuk satu sama lain.
Wira menoleh pada istrinya itu yang begitu fokus pada layar televisi yang menampilkan drama pernikahan. Pria itu berdecak karena merasa diabaikan, akhirnya dengan berani ia menarik Zevanya ke dekatnya. Memang harus ada yang bertindak terlebih dahulu agar pernikahan ini tidak jalan di tempat.
Zevanya yang tidak siap tentu saja terkejut, tubuh gadis itu sekarang berada dalam pelukan Wira. “Masss,” dengan spontan ia mencubit perut suaminya.
Wira berdesir sedikit kesakitan, ternyata cubitannya tak main-main. “Ohhh, sudah mulai KDRT ya...” pria itu membalas dengan gelitikkan perut.
Zevanya tertawa dan berusaha menghindar, “Maaf, Masss... nggak sengaja, spontan...” jelasnya disela rasa geli akibat Wira yang belum ingin berhenti.
“Maaf, maaf, maaaf....” merasa kasihan Wira menyudahi aksinya. Pria itu pun menarik Zevanya ke dalam pelukan dan membuat gadis itu duduk di atas pangkuannya.
Zevanya terengah, kepalanya pun ia biarkan bersandar di dada bidang suaminya. Wangi tubuh pria ini begitu menenangkan membuat Zevanya betah. Tetapi teringan drama yang ia tonton gadis itu kembali melongokan kepala untuk menonton.
“Mana yang lebih tampan, aku atau aktor pria itu?” tanya Wira tiba-tiba, ia mengharapkan jawaban yang baik.
Pertanyaan suaminya itu membuat Zevanya tergelak, tiba-tibanya suaminya ingin dibandingkan.
“Jangan tertawa, cepat jawab.” Wira mencubit hidungnya, membuat gadis itu tidak terima dan melotot lucu. Kali ini Wira yang tergelak, sepertinya mengganggu istri akan menjadi hobinya sekarang.
“Hmmm,” Zevanya pura-pura berpikir sengaja ia membuat pria ini menunggu lama dan penasaran akan jawaban. Puas melihat wajah penasaran pria itu, Zevanya pun menjawab kemudian. “Tentu saja aktor itu, dia sangat tampan. Apalagi brewoknya yang membuatnya sangat macho.”
Wira membulatkan mata, ini bukan jawaban yang ia inginkan. “Kamu sepertinya mau dihukum,” katanya lalu kembali melancarkan aksinya menggelitik Zevanya.
Gadis itu kembali tergelak dan meminta maaf, namun sama sekali tidak merubah jawaban membuat sang suami tidak menghentikan aksinya.
Keduanya yang sama-sama tergelak sontak berhenti tak kala suara dari drama itu berganti dengan aksi para pemain yang saling berciuman dengan panas. Baik Wira maupun Zevanya, menatap terpaku pada layar televisi tersebut.
Wira menelan ludahnya kasar, bahkan jangkung pria itu terlihat naik turun. Dipandanginya Zevanya yang menatap polos pada adegan tersebut, padahal sejatinya pandangan gadis itu kosong. Ia merasa kembali dibawa ke lemari gelap, sempit dan dikunci di sana.
Dan Wira yang baru menyadari tatapan tersebut segera menyadarkan gadis itu. “Heiii, kenapa?” suara lembut Wira berhasil membawa Zevanya dari lamunannya.
“Mas,” tidak menjawab, Zevanya langsung memeluk leher suaminya. Dapat Wira rasakan tubuh Zevanya sedikit bergetar, ia yakin istrinya teringat hal yang buruk. Sesuatu yang membuatnya trauma.
Wira segera mematikan televisi tersebut, dan kembali memfokuskan dirinya untuk Zevanya. Pria itu membalas pelukan Zevanya dengan tak kalah erat, berharap dapat memberikan kehangatan dan perlindungan untuk si gadis atas yang dialaminya.
Beberapa saat saling berpelukan, Zevanya mulai terlihat lebih tenang. Wira memperbaiki anak rambutnya yang acak-acakan menutupi wajah cantik itu, lalu kecupan manis ia layangkan pada kening gadis itu.
“Ada apa hm, coba cerita. Siapa tahu mas dapat membantu,” ujar Wira dengan mengusap rambut Zevanya.
Zevanya ingin bercerita, memendamnya sendiri sejak dulu membuatnya tersiksa. Namun, ia terlihat ragu.
“Aku ini suamimu, siap mendengarkan apa saja yang istriku cerita.” Ujar Wira meyakinkan, terdengar lebay namun menghibur.
“Beneran Mas mau mendengarkan ceritaku?” suara lirih Zevanya terdengar, gadis itu berusaha meyakinkan diri untuk bercerita.
“Tentu saja, istriku.” Jawab Wira.
Zevanya terkekeh pelan, “Panggilanmu menggelikan Mas, tapi aku suka.” Katanya jujur, suaminya ini kembali menghiburnya. Tidak membiarkan ia pada kenangan-kenangan kelam itu.
“Heh, sudah mulai berani ya sekarang.” Pria itu mencubit hidung istrinya, membuat sang empunya pura-pura kesakitan.
“Maaf, maaf. Mas, nggak sengaja,” dengan cepat bibir pria itu berlabuh pada tempat cubitannya. “Nah, sudah tidak sakit lagi, kan?” tanyanya seolah baru saja mengobati luka gadis itu. Membuat sang empunya malu dan salah tingkah. Baru saja ia ingin beranjak kabur, tetapi Wira menahan.
“Cerita dulu, jangan main kabur aja.” Kata pria itu memeluk pinggang Zevanya dengan erat, tidak membiarkan pergi.
Zevanya menghela napas, bercerita pada suaminya sepertinya tidak buruk. Gadis itu pun mulai bercerita, “Aku sudah ceritakan, kalau ibu aku wanita malam.” Lirih Zevanya di akhir kalimat.
“Yes, baby.” Jawaban pria itu membuat tangan si gadis tidak tahan memukulnya, hanya pukulan pelan yang membuat sang pria terkekeh. Suasana begitu hangat, dan kedekatan semakin tercipta.
Zevanya melanjutkan ceritanya, gadis itu dikunci ibunya di dalam lemari gelap, sempit dan pengap ketika sang ibu kedatangan tamu pria yang ternyata keduanya menghabiskan malam di sana. Dirinya yang masih kecil saat itu harus mendengarkan sesuatu yang belum pantas ia dengar, tidak hanya sekali dua kali. Tetapi setiap malam ia harus mendengarkan hal tersebut, tentu saja dengan dirinya yang terkunci di dalam lemari. Tidak terbayangkan seberapa takutnya ia saat itu, bahkan untuk bernapas ia kesulitan. Namun, ibunya mengabaikan. Dan ketika mendengar hal serupa, dirinya akan seolah terbawa pada suasana saat itu.
Wira memeluk Zevanya erat, tidak menyangka saat muda istrinya sudah mengalami kesulitan yang begitu berat. Anak belasan tahun dikunci di dalam lemari dan didengarkan hal vulgar seperti itu tentu saja akan menimbulkan rasa trauma. Termaksud Zevanya.
Zevanya merasa sedikit lega telah menceritakan apa yang menjadi bebannya selama ini, kini ia tidak lagi menyimpan kenangan kelam itu seorang diri. Seorang pria dengan tulus mendengarkan ceritanya, dan pria ini sama sekali tidak mencaci atau menghakimi karena mendengar sesuatu yang tidak pantas saat muda. Jujur saja, Zevanya merasa jijik pada dirinya sendiri karena telah mendengarkan hal tersebut. Dan rasanya semakin sakit tak kala itu adalah ibunya sendiri, tidak memikirkan bagaimana perasaan ayahnya walaupun telah meninggal.