Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
10. Tambahan Bab 9
Warisan Resep Sang Putri Asing.
Matahari pagi bersinar cerah, seolah mengejek hati Kirana yang mendung. Hari ini adalah hari terakhirnya di Abad ke-14.
Kirana duduk di meja dapur paviliun, memegang pena bulu yang canggung. Di depannya, ada tumpukan kertas kulit kayu (daluwang).
“Duh, nulis pake bulu ayam susah bener. Typo nggak bisa di backspace,” gerutunya sambil mencoret kata yang salah.
“Nyai Key sedang apa?” Tanya Laras yang matanya bengkak (dia sudah menangis sejak subuh setelah tahu Kirana akan pulang kampung yang jauh sekali).
“Nulis warisan, Ras,” jawab Kirana tanpa menoleh. “Gue nggak punya emas atau tanah. Gue cuma punya ini.”
Kirana menyelesaikan halaman terakhir, meniup tintanya agar kering, lalu menjilid tumpukan kertas itu dengan tali rami. Di halaman depan, ia menulis judul besar-besar dengan huruf Latin yang ia hias :
THE LEGENDS OF SAMBAL AND FRIENDS
(Kumpulan Resep Rahasia Kirana untuk Kemaslahatan Umat)
Kirana menyerahkan buku itu pada Laras.
“Ini buat lo, Ras. Di dalemnya ada resep Nasi Goreng, Opor Ayam, Seblak Kerajaan, sampai cara bikin masker wajah dari bengkoang biar lo glowing.”
Laras menerima buku itu dengan tangan gemetar. Tangisnya pecah lagi. “Huhuhu…Nyai Key…Hamba tidak bisa masak seblak tanpamu…”
Kirana memeluk gadis kecil itu erat. “Lo bisa, Ras. Lo asisten Chef terbaik gue. Jagain Mas Arya ya. Kalau dia telat makan, omelin aja. Dia takut sama cewek nangis kok.”
Tiba-tiba bayangan besar menutupi pintu dapur.
Ki Gedeng Roso berdiri di sana, memegang sendok kayu kesayangannya. Wajahnya masam seperti biasa, tapi matanya merah.
“Mau pergi kau?” Tanya Ki Gedeng ketus.
“Iya, Ki. Mau pensiun dini,” jawab Kirana sambil nyengir.
Ki Gedeng mendengus, lalu merogoh saku celemeknya. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berisi pisau dapur mungil dengan gagang ukiran naga.
“Ini…pisau pertama yang kupakai saat belajar masak 40 tahun lalu.” Ki Gedeng menyodorkannya kasar pada Kirana, gengsi setengah mati. “Bawalah. Siapa tahu di negerimu pisau tumpul semua.”
Kirana terharu. Ia tahu bagi seorang koki, pisau pertama adalah benda keramat.
“Makasih, Ki. Bakal gue pajang di kamar,” Kirana menerima pisau itu. “Ki, titip dapur istana ya. Jangan pelit micin…eh, maksudnya jangan pelit bumbu.”
“Cerewet,” omel Ki Gedeng, lalu berbalik cepat-cepat pergi karena tidak mau ketahuan meneteskan air mata.
Tak lama kemudian, Pangeran Dipa muncul. Ia membawa gulungan kanvas lukisan.
“Kirana,” sapa Dipa lembut. “Aku tahu kau tidak bisa membawa banyak barang saat ‘terbang’ nanti. Tapi kuharap kau mau menerima ini.”
Dipa membuka gulungan itu. Itu adalah lukisan potret Kirana.
Tapi bukan Kirana yang sedang berpose cantik. Itu adalah gambar Kirana yang sedang tertawa lebar sambil memegang wajan besar yang terbakar api, dengan latar belakang dapur yang kacau. Wajahnya cemong, rambutnya berantakan, tapi terlihat sangat hidup dan bahagia.
Di bawahnya tertulis aksara Jawa Kuno: Wanita yang menaklukan Api dan Hati.
“Mas Dipa…” Kirana menutup mulutnya takjub. “Ini…gue kelihatan barbar banget. Tapi gue suka.”
“Supaya sejarah mencatat wajah aslimu,” Dipa tersenyum sendu. “Bukan sebagai penyihir atau pelayan, tapi sebagai wanita paling berani yang pernah menginjakkan kaki di Arcapada.”
Kirana menggulung lukisan itu hati-hati.
“Makasih, Mas Dipa. Lukisan ini bakal jadi bukti kalau semua ini bukan mimpi.”
“Hati-hati di jalan pulang, Kirana,”ucap Dipa tulus. “Sampaikan salamku pada ‘pesawat dan ‘internet’.”
Kirana mengangguk. Ia menatap ketiga temannya itu satu per satu. Laras, Ki Gedeng (yang mengintip dari balik pohon), dan Dipa.
“Gue bakal kangen kalian semua. Sumpah,” bisik Kirana.
Ia telah meninggalkan jejak resep, pisau, dan kenangan. Sekarang, tinggal satu urusan lagi yang harus ia selesaikan. Urusan hati dengan Sang Panglima Perang yang sejak pagi tadi menghilang entah ke mana.
Titah Terakhir Sang Raja.
Setelah Laras, Ki Gedeng, dan Pangeran Dipa pergi membawa kenang-kenangan mereka, Kirana duduk termenung di undakan batu paviliun.
“Nyai Key,” panggil seorang pengawal kerajaan dengan sopan. “Gusti Prabu memanggil Anda untuk menghadap di Bale Kambang. Sendirian.”
Kirana meneguk ludah. Waduh, mau dikasih pesangon apa mau dimarahin gara-gara insiden Dyah Ayu semalem?
Kirana berjalan mengikuti pengawal menuju Bale Kambang, sebuah pendopo indah yang terapung di tengah kolam teratai raksasa.
Di sana, Prabu Wirabumi sedang duduk santai memberi makan ikan mas koki. Ia tidak mengenakan mahkota kebesarannya, hanya ikat kepala sederhana. Wajahnya terlihat jauh lebih segar dan berisi dan dibandingkan saat pertama kali Kirana melihatnya.
Kirana berlutut hormat. “Ampun Gusti Prabu, hamba menghadap.”
“Bangunlah, Kirana,” suara Raja terdengar ramah, tanpa wibawa yang menekan. “Duduklah di sini. Jangan terlalu jauh. Kakiku pegal dan suaraku sakit kalau berteriak.”
Kirana ragu-ragu duduk bersila di lantai kayu, berjarak dua meter dari Raja.
“Aku dengar…malam ini kau akan pulang ke ‘negeri asal’-mu,” ucap Prabu Wirabumi sambil melempar pelet ikan (yang sebenarnya remah roti kering).
“Benar, Gusti”
Raja menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya di air kolam.
“Kau tahu, Kirana? Sejak awal kau datang, aku sudah tahu kau bukan mata-mata. Mata-mata tidak punya mata sebinar itu saat melihat dapur kotor. Dan mata-mata tidak akan berani memarahi Panglima Perang karena masalah kamar mandi.”
Kirana tersenyum malu. “Maafkan kelancangan saya selama ini, Gusti.”
Prabu Wirabumi tertawa kecil. “Tidak perlu minta maaf. Justru aku yang harus berterima kasih. Bukan hanya karena kau menyembuhkan lambungku dengan bubur ajaibmu itu…”
Raja menoleh, menatap Kirana serius.
“Tapi karena kau telah menyembuhkan adikku, Arya.”
Kirana tertegun. “Mas Arya?”
“Selama sepuluh tahun, sejak istri pertamanya meninggal dalam perang, Arya menjadi manusia batu,” cerita Raja dengan tatapan menerawang. “Dia tidak pernah tertawa. Dia tidak pernah marah yang meledak-ledak. Dia hanya mesin pembunuh yang dingin. Aku khawatir dia akan mati muda karena kesepian.”
Raja tersenyum lembut pada Kirana.
“Tapi sejak kau datang…aku melihat dia hidup kembali. Aku melihat dia panik, aku melihat dia cemburu, aku melihat dia tertawa—meski sembunyi-sembunyi. Kau membuatnya menjadi manusia lagi, Kirana.”
Air mata Kirana menetes tanpa permisi. Ia tidak menyangka Raja memperhatikan sedetail itu.
Prabu Wirabumi merogoh saku beskapnya. Ia mengeluarkan sebuah koin emas murni dengan ukiran Surya Majapahit.
“Ambillah,” Raja meletakkan koin itu di tangan Kirana. “Ini bukan upah. Ini adalah tanda, bahwa kau adalah Warga Kehormatan Arcapada. Di masa depan, di negerimu yang aneh itu…jika kau melihat lambang ini, ingatlah bahwa ada seorang Raja tua yang pernah kau selamatkan nyawanya.”
Kirana menggenggam koin itu erat. “Terima kasih, Gusti…Hamba tidak akan lupa.”
“Pergilah,” titah Raja lembut. “Jangan membuat Arya menunggu terlalu lama. Waktu kalian tinggal sedikit.”
Kirana membungkuk dalam, lalu mundur perlahan.
Saat ia berjalan menjauh, ia mendengar gumaman pelan sang Raja yang kembali memberi makan ikan.
“Andai saja kau bisa tinggal…istana ini pasti akan jauh lebih berwarna. Tapi burung yang bebas tidak boleh dikurung dalam sangkar emas.”