Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat latihan dan Ruang peralatan
Vala berhenti di tengah tempat latihan, menoleh ke arah Cassius sebelum mulai berbicara.
"Ini tempat latihan kami," katanya, melipat tangan di depan dada. "Biasanya, kami menggunakan tempat ini untuk bertarung satu lawan satu atau melatih teknik individu. Tidak ada aturan tetap di sini, yang penting kau bisa bertahan dan meningkatkan kemampuanmu."
Cassius mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memperhatikan beberapa tombak kayu dan bahkan batu besar yang tampaknya juga digunakan sebagai alat latihan. "Jadi, apa kalian punya semacam teknik bertarung khusus ata sejenisnya?" tanyanya. "Dan senjata apa yang biasa kalian pakai saat pertempuran?"
Vala mengangguk kecil, lalu mulai menjelaskan.
"Sebagian besar dari kami bertarung dengan insting dan kekuatan alami. Draconian memiliki tubuh yang lebih kuat daripada manusia biasa, jadi kami mengandalkan itu. Ada yang bertarung dengan senjata, ada juga yang menggunakan cakarnya sendiri. Dan tentu saja, kami juga menggunakan keunggulan kami terhadap penggunaan elemen api"
Ia menunjuk ke beberapa senjata yang tersandar di dekat dinding batu. "Balmuth menggunakan tombak karena dia merasa itu cocok dengan tubuh dan kekuatannya. Royrk tidak terlalu suka bertarung, tapi dia ahli membuat senjata dan peralatan. Nifrak lebih mengandalkan kecepatan dan cakarnya, sedangkan aku sendiri lebih suka bertarung dengan fleksibilitas. Bisa menggunakan senjata, tapi juga tetap gesit." Jelasnya sambil perlahan mengepalkan tangannya.
Cassius menyeringai tipis, menyilangkan tangannya. "Jadi, siapa yang paling kuat di antara kalian?" tanyanya, nada suaranya terdengar seperti iseng, tapi ada ketertarikan di dalamnya.
Vala tidak langsung menjawab, malah menatap Cassius dengan ekspresi sedikit geli. "Kau pikir kami bertarung untuk menentukan siapa yang paling kuat?" katanya.
Cassius mengangkat bahu. "Tidak, bukan begitu maksudku, aku hanya penasaran. Setiap kelompok biasanya punya seseorang yang dianggap paling menonjol, kan?"
Vala menghela napas, lalu mulai menjelaskan.
"Kalau soal kekuatan mentah, Balmuth yang paling unggul. Dia bisa mengayunkan tombaknya dan menghancurkan batu besar dengan satu serangan. Tapi kalau soal kecepatan, Nifrak tidak ada tandingannya. Kau bahkan mungkin tidak akan menyadari serangannya sampai dia sudah mencakar lehermu."
Ia lalu menyentuh dadanya sendiri. "Aku sendiri mungkin tidak sehebat mereka dalam satu aspek tertentu, tapi aku lebih seimbang. Aku bisa menyesuaikan diri dengan lawan dan bertarung dengan cara yang lebih efisien dan fleksibel."
Cassius mengangguk, mencerna penjelasan itu. "Jadi, kalau ada pertempuran, kalian tidak hanya mengandalkan satu orang saja ya, tapi saling melengkapi?"
Vala tersenyum tipis. "Tentu saja. Draconian bukan makhluk yang bertarung sendirian. Kami bertahan dengan bekerja sama. Itulah yang membuat kami tetap bertahan hidup."
Cassius menatapnya sejenak, lalu terkekeh. "Kedengarannya menarik. Jadi, kapan aku bisa melihat kalian bertarung?"
Vala meliriknya, sedikit menaikkan alis. "Kau benar-benar penasaran, ya? Yah, mungkin kau bisa melihatnya... atau lebih baik lagi, mengalaminya sendiri."
Cassius tersenyum kecil. "Aku akan menunggu kesempatan itu."
Setelah menjelaskan dengan cukup rinci tentang area latihan, Vala menatap sekeliling sejenak, memastikan tak ada yang tertinggal dalam penjelasannya. Angin lembut membawa aroma tanah dan debu besi dari arah barat, membelai wajah mereka berdua.
"Tempat berikutnya yang akan kita kunjungi... cukup panas," kata Vala tiba-tiba, senyumnya samar saat menoleh ke Cassius. "Jadi kalau kau tak tahan dengan hawa logam dan api, mungkin kita bisa melewatkannya saja."
Cassius tertawa kecil sambil menggeleng. “Aku pernah masuk ke gua berisi lava. Tempat seperti yang kau bicarakan itu mungkin tidak seberapa.”
Vala mengangkat alis dan tersenyum kecil “Owh... baguslah kalau begitu.”
Vala berbalik, lalu mulai melangkah bersama Cassius di belakangnya melewati lorong lebar di sisi kanan area latihan, jalur yang tampaknya cukup sering dilalui. Suasananya sedikit lebih sunyi, hanya suara langkah mereka yang menggema pelan di lorong berdinding batu yang mulai berubah bentuk. Dinding-dindingnya tampak lebih gelap karena jelaga dan panas yang menempel dari waktu ke waktu.
“Kita hampir sampai,” ujar Vala, suaranya terdengar lebih pelan kali ini. “Tempat ini bukan hanya tempat untuk menyimpan alat saja. Ini adalah tempat Royrk membuat semua senjata dan peralatan yang kami pakai. Dia bisa buat apa saja… kalau dia sedang bersemangat.”
Cassius menatap ke depan, mulai menangkap kilau samar dari cahaya merah yang berpendar di ujung lorong.
“Royrk?” tanyanya. “Yang ahli membuat senjata itu, ya?”
“Dia cukup pendiam. Tapi coba ajak dia bicara soal bilah pedang, dan dia bisa lupa berhenti bicara.”
Cassius terkekeh, penasaran. Langkah mereka menyusuri lorong batu yang jadi lebih lebar dari sebelumnya, dindingnya dipenuhi bekas ukiran dan goresan yang sudah hampir hilang termakan waktu. Aroma besi, bara, dan minyak menyambut mereka jauh sebelum pintu ruang terbuka sepenuhnya. Saat langkah mereka akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar dari kayu tua yang diperkuat besi.
“Tempat ini...” Vala melirik ke Cassius sebelum membuka pintu lebar dari kayu berat yang diikat logam tua, “...adalah tempat Royrk bekerja. Jangan sentuh apa pun kecuali kau mau jari-jarimu meleleh.”
Vala mendorong pintu itu perlahan, dan hawa panas menyambut mereka seketika, membawa serta aroma logam terbakar dan minyak yang menguar tajam. Ruangan itu sedikit lebih terang dibandingkan ruang sebelumnya, dengan diterangi oleh cahaya dari tungku besar di sisi kanan dan cahaya yang masuk dari ventilasi udara. Di tengahnya, ada meja-meja kerja yang penuh dengan senjata separuh jadi, alat-alat logam, dan potongan bahan mentah. Suara logam yang diketuk bergema, berirama tapi terdengar berat.
Seorang Draconian bertubuh kekar dan besar tengah membungkuk di depan bara api, memegangi besi merah menyala dengan penjepit panjang. Sisiknya keperakan namun sedikit kusam, dan memakai apron kulit tebal menutupi sebagian besar tubuhnya yang tertutup jelaga. Tangannya besar dan lebar, penuh dengan bekas luka bakar lama.
“Royrk,” panggil Vala sambil berjalan lebih dekat.
Royrk tidak langsung menjawab, tapi hanya mengangkat satu tangan seolah meminta waktu. Suara dentingan dari palunya terdengar beberapa kali sebelum akhirnya ia meletakkan besi yang dipukul, lalu menoleh. Matanya berwarna merah menyala redup, tapi penuh fokus. Meski rahangnya keras dan wajahnya kaku, ada percikan semangat aneh yang terlihat saat matanya melihat pedang setengah jadi di dekat Cassius.
“Dia Cassius,” kata Vala singkat, “Orang luar yang akan tinggal bersama kita sementara waktu.”
Royrk hanya mengangguk pelan, tidak langsung menyapa. Tapi saat matanya bertemu dengan Cassius, ia membuka mulut untuk pertama kalinya, suaranya dalam, sedikit terdengar seperti menggeram, tapi tidak terdengar dingin.
“Kalau kau butuh senjata ambil saja,” gumamnya sambil menunjuk ke meja samping, “lihat saja tidak apa. Tapi jangan sentuh... yang itu.” Ia menunjuk sebilah pedang panjang dengan bilah hitam berurat merah. “Masih lapar.”
Cassius menaikkan alis, sedikit bingung, tapi mulutnya terangkat membentuk senyum tipis. “Pedang yang lapar? Aku suka tempat ini.”