Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sejengkal Tanah Sepercik darah
Shantand berdiri gagah di atas batu tinggi.
Kotor, berdarah, tapi matanya membara.
Dia akhirnya mengakui kebenaran dari kata-kata Gurunya, Desa mereka mudah dijajah kemungkinan besar karena para penduduknya tidak bersatu dan hanya memikirkan nasib keluarga nya masing-masing. Meskipun dia bisa memaklumi hal itu namun, semua itu ada batasnya!
Kini dia harus membakar semangat mereka semua...
"PEMUDA MANGUNTIRTO!!"
Suara itu menghantam udara.
Getarannya menjalar ke dinding bambu, ke tulang rusuk yang gentar, dan ke hati yang mulai bangkit,menggema, menembus jendela-jendela yang pecah, menyentuh telinga anak-anak, para ibu yang menangis, dan para lelaki yang sebelumnya gemetar ketakutan di balik reruntuhan rumah.
"Hari ini, aku melihat banyak dari kalian terdiam bukan karena kalian lemah… tetapi karena kalian belum tahu bagaimana menjadi kuat!"
Langkah kaki para pemuda mulai keluar dari persembunyian.
Wajah mereka kotor, matanya sembab—tapi kini, mulai menyalakan bara yang sempat padam.
"Mereka menyangka kita akan terus diam!"
"Mereka kira kita akan terus menunduk dan menyerah!"
"Tapi hari ini aku Shantand akan mengatakan—CUKUP!!"
"Kita semua mungkin kehilangan rumah… kehilangan harta… tapi jangan pernah sekalipun kita juga kehilangan JIWA KITA!"
Langit makin gelap, tapi dalam hati para pemuda,apalagi beberapa dari mereka yang telah melihat perlawanan Shantand dengan gagah berani melawan pasukan penjajah sendirian! mulai mendengarkan perkataan Shantand,jiwa mereka mendidih fajar mulai menyala dalam segenap hati.
"Aku tahu kalian takut… Tapi lebih menakutkan lagi hidup tanpa kehormatan!"
"Ingat ini baik-baik!"
"SEJENGKAL TANAH, SEPERCIK DARAH!!! "
"Setiap jengkal tanah yang mereka rebut, adalah darah ibu kita yang mereka injak!!"
"Setiap langkah mereka, adalah nyawa saudara kita yang mereka renggut!!"
"Jika kita diam hari ini, anak-anak kita akan terlahir sebagai budak!"
Sorak mulai terdengar.
Ada yang menangis. Ada yang menggigil, bukan karena takut, tapi karena jiwanya menyala.
"Mereka boleh punya senjata yang kuat dan membuat kita takut mati, tapi kita punya nyali!"
"Mereka punya pasukan, kita punya tanah ini dan cinta tanah air yang tak bisa ditaklukkan oleh siapapun!"
“Kita telah lama diam saat tanah kita diinjak-injak… saat Orang tua kita dipukul, saat adik kita diikat seperti binatang! Tapi aku katakan hari ini…”
“KITA BUKAN BINATANG! KITA ADALAH ANAK-ANAK BUMI INI !!”
Angin kembali berhembus kencang.
Langit menggulung, menggetarkan hati mereka yang mendengarnya.
“Mereka boleh punya senjata… mereka boleh punya pasukan dan bendera… tapi kita punya tanah ini, darah ini, dan harga diri ini!!”
Para pemuda mulai banyak berkumpul kemudian banyak yang menepuk dada.
Ada yang mengangkat cangkul, ada yang memegang bambu, ada pula yang menggenggam tangan kosong—tapi hati mereka kini penuh tekad
"Aku pernah bermimpi..." suara Shantand mulai merendah,
"... tentang anak-anak kecil yang berlari bebas di sawah tanpa ketakutan. Tentang ibu-ibu kita yang bisa menjemur padi tanpa was-was. Tentang malam yang sunyi tanpa jerit dan tawa para Penjajah."
"Dan aku tidak mau mimpi itu mati!"
"HARI INI KITA BANGKIT!!"
"SATU UNTUK SEMUA… SEMUA UNTUK IBU PERTIWI KITA!!"
"HIDUP MANGUNTIRTOOOOO!!!"
Sorak bergemuruh.
Bambu, batu, dan air mata—semuanya menjadi senjata.
Suara penduduk Desa Manguntirto yang berkumpul semakin bergemuruh menyambut ajakan perjuangan melawan penjajah!
Beberapa Orang tua meneteskan air mata melihat betapa akhirnya secercah harapan muncul ditengah awan kelabu Desa mereka.
Bhaskara tersenyum di dalam labu tuak. “Itulah dia… muridku…”
Warga bersorak.
Pemuda desa menggenggam senjata seadanya.
Semangat Seluruh warga Desa Manguntirto kini telah dibangkitkan. Jiwa-jiwa pejuang telah dipanggil.
***
Markas Penjajah – Balai Pusat Manguntirto yang telah diubah menjadi benteng komando.
Balai Pusat Manguntirto ini berdiri megah di jantung desa, bak istana hadiah dari langit. Dindingnya tebal, dibalut marmer putih yang didatangkan dari negeri entah berantah. Pilar-pilarnya menjulang tinggi, dibangun dari batu asing yang katanya simbol persahabatan. Tapi penduduk tak tahu, mereka sedang menggali kuburan sendiri.
Awalnya, bangunan itu dikatakan sebagai bantuan dari bangsa sahabat—untuk pendidikan, pertemuan desa, dan pusat kegiatan budaya. Tapi seiring waktu, satu per satu wajah asing berdatangan. Bukan lagi arsitek atau guru, tapi lelaki berotot dengan seragam gelap dan tatapan dingin.
Mereka menyebut diri mereka para pengaman proyek. Tapi suara sepatu bot mereka membangunkan bayi di malam hari. Dan senyuman mereka hanya mengintai celah untuk mengambil lebih banyak.
Kemudian bendera besar pasukan penjajah mulai berkibar tinggi di atas menara.
Pagar berduri mulai dipasang. Menara pengintai tumbuh dari atap. Dalam sebulan, Balai Pusat berubah menjadi Benteng Komando.
Di dalamnya, beberapa petinggi berpakaian rapi sedang berkumpul—mereka dikenal sebagai “Dewan Taktik Eropa Timur 9”.
John Blitix, kapten pasukan inti, berdiri di sisi ruangan dengan tangan dibalut kain basah, wajahnya tegang.
Sementara itu, Letnan Gudall, lelaki berperut buncit dengan suara licik, mondar-mandir gelisah.
“Apa maksudnya… rakyat mulai bergerak? Mereka seharusnya takut! Kita bakar rumah-rumah mereka untuk itu!”
Salah satu perwira, si rambut pirang bernama Oepill Gharrinx, melempar map laporan ke meja.
“Mereka tidak takut lagi, Gudall! Seorang pemuda muncul dan… dan suara pidatonya mengguncang semangat pemuda desa!”
“Kau pikir siapa dia?” desis Gudall.
“Orang biasa, bukan bangsawan, bukan tokoh agama, bukan kepala desa—tapi mereka mendengarnya seakan dia dewa petir dari timur!”
Tiba-tiba, sebuah lonceng besar berdentang dari menara pengawas.
Seorang penjaga masuk tergesa-gesa, nafasnya terengah.
“Yang Mulia—mereka… mereka menyerang gudang senjata timur!”
“Siapa?! Pasukan revolusioner?!”
“Tidak, tuan… penduduk desa! Anak-anak muda, perempuan! Mereka membawa garpu, sabit, bambu runcing—apa saja!”
Sunyi menggantung sesaat. John Blitix memicingkan mata.
“Ini taktik pemberontakan. Ada yang memimpin mereka. Dan dia bukan sembarangan…”
Gudall mulai berkeringat. Tangan gemuknya gemetar.
“Kita butuh bala bantuan dari benteng selatan. Segera kirim pesan dengan merpati!”
Oepill Gharinx menatapnya sinis.
“Dan katakan apa? Bahwa kita kalah oleh petani dan anak desa?”
John Blitix mengepal tangan.
“Bukan mereka yang kita lawan… tapi semangat mereka. Dan jika itu menyebar ke desa lain, seluruh wilayah bisa memberontak.”
Di luar benteng, gema pidato Shantand masih menggantung di udara.
Para pemuda mulai berkumpul…
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menginjakkan kaki di tanah Manguntirto, para penjajah mulai merasa gentar…