"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Aku Imam dan Kamu Makmum!
"Kamu ngapain lihatin aku kayak gitu, San? Kamu berpikir kalau aku juga nyuri kartu ini?"Hanin menatap Santi yang terus menatapnya dengan heran. Mereka baru saja selesai belanja dan kini sudah berada di depan toko.
Santi tersenyum. "Enggak lah.Ngapain juga aku punya pikiran begitu sama kamu, Nin," sahutnya.
"Suamimu ternyata penuh misteri. Aku jadi semakin yakin kala suamimu itu bukan OB seperti yang kita kira," celetuknya.
"Maksud kamu gimana?"
"Gini loh, Nin. Kartu hitam yang dikasih suamimu itu biasanya dinamakan black card, dan yang punya kartu itu biasanya cuma kalangan sultan. Kalangan kayak kita mana mungkin bisa punya black card kayak gitu," jelas Santi."Wah, kalau suamimu beneran sultan, aku jadi takut kalau kamu dilarang temenan sama aku lagi,Nin," kelakarnya.
Hanin berdecak. "Ah, mana ada yang kayak gitu? Suamiku bukan sultan, San. Dia cuma orang biasa, kok."
Santi terkekeh. "Siapa tahu kan dia sultan yang nyamar jadi orang miskin?" celetuknya.
"Enggak mungkin. Mas Raffa cuma orang biasa. Ya udahlah, gak usah bahas ini. Kita pulang aja. Aku takut kalau tiba- tiba Mas Raffa pulang," celetuk Hanin.
Ia sendiri masih bingung dengan hatinya kala mendengar ucapan Santi. Hatinya mendadak tak bisa tenang. Masa iya, suaminya seorang sultan?Mustahil!
Sesampainya di rumah, Hanin segera membersihkan diri dan melaksanakan salat Ashar yang sempat tertunda. Ia berusaha menghilangkan kegelisahan yangmembuat hatinya tak tenang.
"Nin, buatin aku susu dong!" Hanin yang baru saja selesai salat dan hendak minum tiba- tiba ditodong Lisna. Adiknya itu menyuruhnya dengan sangat tidak sopan. Benar- benar tak jauh beda dengan Arya.
"Buat sendiri kan bisa, Lis. Lagian susu hamil cuma tinggal nyeduh doang," sahut Hanin, yang menolak permintaan Lisna.
"Dih, dimintai tolong gitu amat!"
Hanin membuang napas "Kalau minta tolong kalau bilang yang sopan, Lis. Pakek kata, tolong, atau gimana gitu. Bukannya langsung nodong begitu. Lagian aku bukan babumu," tukas Hanin.
"Nyebelin banget kamu. Mana nikah gak hamil- hamil. Jangan-jangan kamu mandul!" tukas Lisna yang ucapannya semakin ngalor ngidul.
Hanin tersenyum tipis. "Lebih baik belum hamil, dari pada hamil duluan kayak kamu."
Lisna mendengus, wajahnya memerah mendengar ucapan Hanin. Ia melempar gelas plastik yang ada di tangannya ke arah
Hanin, meskipun meleset danhanya jatuh ke lantai. "Berani- beraninya kamu ngomong begitu, Hanin!" Lisna membentak, suaranya menggema di ruang dapur yang cukup luas.
Hanin tetap tenang, hanya menghela napas pelan. "Lisna, aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin kamu sadar. Perkataanmu tadi menyakitkan, jadi jangan kaget kalau aku membalas."
Lisna mendekat, tangannya berkacak pinggang. "Kamu pikir kamu siapa, Hanin? Hah? Kakak sempurna yang selalu disayang semua orang? Kamu cuma pura-pura baik di depan Ibu dan Ayah!Nyatanya kamu itu pengecut yang bahkan nggak bisa punya anak!"
Kalimat itu menusuk hati Hanin, tetapi ia tidak ingin memberikan Lisna kepuasan melihatnya marah atau terluka. Ia menatap adiknya yang berdiri di depannya dengan mata yang berkaca- kaca, tetapi sorotnya tetap penuh ketegaran.
"Lisna," katanya dengan nada pelan, "kamu tidak tahu apa- apa soal hidupku. Jadi, berhenti bicara
seolah kamu tahu semuanya."
Hanin merenung sejenak. Bagaimana ia bisa hamil, jika Raffa bahkan belum menyentuhnya? Lisna tertawa sinis, lalu menunjuk wajah Hanin.
"Tahu apa?Oh, aku tahu kok, Kak. Kamu itu cemburu sama aku. Aku punya suami, aku bakalan punya anak,dan kamu? Kamu cuma duduk diam di rumah, pura- pura sibuk mengurus suamimu, Ayah dan Ibu kita. Dasar manusia gagal!"
Hanin mengepalkan tangan dibalik roknya, berusaha menahan emosi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari dapur. Bu Daning muncul dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanyanya, menatap kedua anaknya bergantian.
Lisna langsung mendekati Bu Daning, memasang ekspresi seolahi alah yang disakiti. "Bu, lihat sendiri si Hanin! Dia ngomong yangnggak- nggak ke aku. Padahal aku cuma minta dia bikin susu, tapi dia malah ngehina aku!"
Hanin menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Bu, Lisna mulai duluan. Dia bilang aku mandul,hanya karena aku belum punya anak. Aku hanya membalas kata-katanya untuk membela diri."
Wajah Bu Daning berubah menjadi tegang. la memandang Lisna dengan tatapan kecewa.Lisna, kenapa kamu bicara seperti itu pada kakakmu? Itu bukan kata-kata yang pantas keluar dari mulut seorang adik."
Lisna mendengkus, lalu melipat tangannya. "Bu, kok Ibu tumben bela si Hanin. Kenapa sih,semua orang di rumah ini selalu bela dia? Padahal dia nggak sebaik yang kalian pikir!"
"Sudah cukup, Lisna!" suara Bu Daning meninggi, membuat Lisna terkejut. "Kamu nggak tahu apa yang sudah kakakmu lalui. Kamu nggak tahu perjuangannya selama ini!"
Lisna terdiam, tetapi masih tampak tidak puas. la mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menolak menatap Bu Daning ataupun Hanin.
Bu Daning mendekat ke Hanin, memegang bahunya dengan lembut. "Hanin, masuklah kekamar. Biar Ibu bicara dengan Lisna."
Hanin mengangguk tanpa berkata apa -apa. la berbalik,melangkah menuju kamarnya dengan hati yang dipenuhi tanya karena perubahan sikap ibunya.Kata- kata Lisna pun terus terngiang di kepalanya. Meski iamencoba tegar, kenyataan bahwa ia belum juga hamil sedikit mengusik hatinya.
Di dalam kamar, Hanin duduk di tepi tempat tidur, menatap langit- langit. "Mas Raffa bilang bakalan mau menerimaku. Tapi, kenapa dia belum menyentuhku?"
Sementara itu, di ruang tamu,Bu Daning berusaha menenangka nLisna yang masih terlihat kesal. "Lisna, dengarkan Ibu baik- baik. Kamu tidak berhak berbicara seperti itu pada kakakmu. Kamu tahu dia sudah banyak berkorban untuk keluarga kita termasuk kamu. Apa kamu lupa?"
Lisna menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Bu, sebenarnya Ibu kenapa, sih?! Kenapa dari tadi ibu membela Hanin? Apa Ibu sudah mulai luluh sama sikap Hanin?"
Bu Daning menghela napas panjang. Ia meraih tangan Lisna, menggenggamnya erat. "Bukan begitu, Lisna. Ibu hanya merasa kasihan sama Hanin yang selalu dipojokkan," kilahnya.
Kedua mata Lisna memicing. "Apa sebenarnya yang Ibu sembunyikan? Atau jangan- jangan Ibu berubah karena Hanin yang memberikan Ibu uang buat bayar utang?" tebaknya.
Bu Daning kelabakan. Dan sikap Bu Daning tersebut menunjukkan bahwa ucapan Lisna benar.
"Dih, cuma dikasih uang lima puluh juta saja Ibu udah tunduk!"
Bu Daning menghela napas panjang. la menatap Lisna dengan tajam. "Memangnya kamu bisa ngasih ibu uang itu?" Lisna bungkam.
"Di saat ibu minta sama kamu,kamu selalu saja bilang gak punyauang. Lalu, gajimu selama ini kemana, Lisna? Lalu, Ibu coba pinjam ke Arya, yang ada ibu dihina- hina sama suamimu itu," jelas Bu Daning dengan mata berkaca- kaca.
"Ibu minta ke Mas Arya? Kapan?"Lisna memicing menatap ibunya.
"Kemarin." Bu Daning melengos. "Tapi, ya sudahlah, semua sudah berlalu. Ibu minta supaya kamu belajar mandiri. Toh,tidak lama lagi Hanin dan suaminya akan segera pindah," ucapnya. Lantas berlalu pergi meninggalkan Lisna yang membisu.
Raffa pulang dan disambut hangat oleh Hanin. Namun, Raffa menatap ada yang berbeda di wajah istrinya. Mereka lantas menuju kamar agar obrolan mereka tak terdengar oleh orang lain di rumah.
"Mas, apa ada yang Mas sembunyikan dariku?" todong Hanin setelah duduk di tepi tempat tidur.
"Tentang apa?"
"Ya tentang apa aja. Misalnya siapa Mas sebenarnya?"
Raffa bingung. Satu alisnya terangkat. "Apa yang buat kamu tanya begitu?"
"Kartu black card ini, kata Santi cuma Sultan saja yang punya.Kamu kan cuma OB. Masa punya kartu ini?" Hanin mengangkat black card pemberian Raffa.
Raffa menatap Hanin dengan senyuman tipis, mencoba menutupi kegelisahan yang perlahan muncul di hatinya. Ia tahu, cepat atau lambat, pertanyaan itu akan muncul. Namun, ia belum siap memberikan jawaban.
Hanin menatap suaminya dengan pandangan serius. Wajah lembutnya mengeras, sebuah ekspresi yang jarang Raffa lihat selama lebih dari tiga bulan pernikahan mereka.
"Mas," ujar Hanin lagi, suaranya lebih pelan tetapi penuh tekanan."Aku istrimu. Aku berhak tahu. Kamu nggak mungkin cuma seorang OB kalau punya kartu seperti ini, kan?"
Raffa menghela napas panjang. la mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu duduk di tepi tempat tidur. "Hanin, dengar dulu.Semua ini ada penjelasannya, tapi aku belum bisa kasih tahu sekarang."
Hanin merasa dadanya sesak. la mencengkeram kartu yang dipegangnya, seolah benda itu menjadi bukti nyata bahwa ada bagian dari hidup Rafa yang ia tidak tahu.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu nggak bisa cerita? Apa kamu nggak percaya sama aku?" tanyanya, suaranya mulai bergetar.
Bagi Raffa, melihat Hanin terluka jauh lebih sulit dari pada menjelaskan kebenaran. Tetapi iajuga tahu, menjelaskan segalanya saat ini hanya akan memperumit situasi.
"Bukan soal percaya atau nggak percaya, Hanin," jawab Raffa dengan lembut. "Aku cuma nggak mau kamu khawatir. Aku nggak mau kamu merasa beban dengan sesuatu yang nggak perlu."
Hanin tertawa kecil, tetapi tawa itu dipenuhi kepedihan. "Jadi selama ini aku istrimu, tapi aku nggak cukup kuat untuk tahu siapa kamu sebenarnya?"
Raffa berdiri, mendekati Hanin, dan memegang bahunya."Hanin, aku melakukan semua ini untuk kamu. Untuk kita."
Hanin menepis tangannya. Airmata mulai mengalir di pipinya. "Kalau memang untuk kita, kenapa aku malah merasa seperti orang luar, Mas? Aku nggak ngerti apa-apa soal hidupmu. Selama ini aku percaya kamu sepenuhnya, tapi sekarang...."
la memandang kartu di tangannya, lalu menatap Raffa lagi. "Sekarang aku ragu."
Raffa merasa hatinya tercabik- cabik mendengar kata -kata Hanin. Ia tidak pernah ingin membuat istrinya merasa seperti itu. Namun, ia juga tahu bahwa ada hal- hal yang harus tetap dirahasiakan sampai waktu yang tepat.
"Hanin," ujarnya dengan nada serius. "Aku janji, suatu hari nanti aku akan cerita semuanya. Tapi untuk sekarang, aku cuma minta satu hal darimu. Percayalah padaku."
Hanin terdiam, menatap mata suaminya yang memohon. la ingin percaya, tetapi hatinya masih dipenuhi keraguan.
"Baiklah, Mas," katanya akhirnya. "Aku akan percaya untuk sekarang."
Raffa tersenyum lega. Ia tahu, kepercayaan itu bukan hal yang mudah didapatkan setelah apa yangterjadi. Tetapi ia bertekad untukmenjaga janji yang baru saja ia buat.
Ketika Hanin akhirnya beranjak ke kamar mandi, Raffa duduk di tempat tidur dan menatap kartu black card di tangannya. Kartu itu seperti simbol dari kehidupan lain yang ia sembunyikan. la tahu waktunya semakin dekat. Cepat atau lambat, Hanin harus tahu kebenaran, bahwa ia bukanlah Raffa, pria sederhana yang bekerja sebagai OB di sebuah kantor. Bahwa ia sebenarnya adalah pewaris salah satu perusahaan besar.
Namun, Raffa masih ragu. Akankah Hanin bisa menerima kebenaran itu? Atau justru kebenaran tersebut akan menghancurkan kehidupan sederhana yang selama ini mereka bangun bersama?
Saat Hanin kembali dari kamarmandi, ia memberikan baju koko dan sarung yang ia beli kepada Raffa. "Aku sampai lupa memberikannya sama kamu, Mas.
Gara- gara beli ini pakai kartu dari kamu, dikira aku nyuri kartu itu," kekehnya.
"Benarkah sampai begitu?"
Raffa terkejut mendengar pernyataan itu.
"Iya, tapi sudahlah, tak masalah. Yang penting sekarang aku mau ngasih kamu ini supaya bisa kamu pakai saat kita beribadah bersama- sama." Hanin tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit.
Raffa menatap koko dan sarung yang kini ada di tangannya.
"Maksudmu?"
"Aku ingin, kamu menjadi imam salatku. Aku akan menjadi makmummu, berdiri tepat di saf belakangmu dan mengikuti setiap gerakanmu," kata Hanin yang membuat Raffa membeku kali ini.