Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Surat Cinta yang Sering Tertunda
Rina duduk di bangkunya, menatap tas sekolah yang tergeletak di lantai dengan pikiran yang melayang. Hari itu terasa seperti semua dunia bergerak begitu cepat, sementara hatinya terjebak dalam kebingungannya sendiri. Sejak insiden canggung di taman beberapa hari lalu, saat ia akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya kepada Danu, semuanya terasa semakin rumit. Alih-alih mendapat kejelasan, ia malah merasa semakin bingung. Danu yang seharusnya memberi respons, malah berpura-pura tidak mendengarnya, dan itu membuatnya merasa seperti orang yang tidak tahu diri.
“Sakit juga ya…” gumamnya pelan sambil menyandarkan kepala di meja. Ia menatap tulisan di bukunya yang sudah mulai luntur karena kebiasaan menggigit pensil saat berpikir. Rina memutuskan untuk menulis surat. Ya, surat cinta. Sebuah cara yang lebih pribadi dan jujur daripada hanya berusaha mencari kata-kata di dunia nyata. Bukankah itu lebih mudah daripada berhadapan langsung dengan Danu? Setidaknya dengan menulis, ia bisa menyampaikan apa yang selama ini terpendam tanpa harus takut ditolak atau dipermalukan.
Ia mulai mengambil selembar kertas dari dalam tasnya, meremasnya sebentar, lalu meluruskan kertas tersebut dengan hati-hati. Tangannya menggigil sedikit saat menulis baris pertama, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan perasaan yang berantakan.
---
Danu,
Entah kenapa aku selalu merasa cemas ketika berada di dekatmu. Setiap kali kita berbicara, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan ini. Tapi aku takut jika aku salah paham, dan itu akan menghancurkan semuanya. Aku tidak tahu apakah aku harus terus merasa seperti ini, ataukah aku harus berhenti dan melupakan semuanya…
---
Rina menatap tulisan itu, merasa ada yang hilang, seperti ada kata-kata yang tidak bisa ia ungkapkan meski telah menulis sedemikian panjang. Ia merasa bahwa kata-kata itu belum cukup mewakili perasaannya. “Ini masih belum cukup,” gumamnya, menutup mata sejenak. Bagaimana ia bisa mengungkapkan semua yang ada di hati dalam satu surat? Bagaimana jika Danu salah paham? Dan lebih buruk lagi, bagaimana jika ia menolaknya?
Rina menghela napas dan melanjutkan menulis.
---
Danu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku ingin kita bisa jujur satu sama lain. Aku tidak mau terus berpura-pura seperti ini. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya kau rasakan, sama seperti yang aku rasakan...
---
Saat ia menulis kalimat itu, tiba-tiba pikirannya melayang pada hari-hari sebelumnya, ketika ia dan Danu bertemu di toko kaset, saat mereka berbicara tentang album terbaru yang baru dirilis, atau bahkan saat Danu memberinya kaset-kaset lagu yang penuh dengan makna, namun semuanya terasa seperti misteri yang belum terpecahkan. Apakah lagu-lagu itu benar-benar untuknya? Atau hanya kebetulan saja?
Rina berhenti menulis dan menatap surat itu, merasa ragu apakah ia benar-benar siap mengungkapkan segalanya. Ia meletakkan pulpen di atas meja, menatap surat yang telah ia tulis seolah berharap akan ada jawaban muncul begitu saja. Namun, tidak ada yang terjadi. Surat itu tetap kosong, tak terketuk.
---
Hari berlalu begitu saja, dan surat itu akhirnya tertinggal di dalam tasnya. Rina terus berusaha mengalihkan pikirannya, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan Danu atau surat yang ia tulis. Namun, malam harinya, saat ia akan mengerjakan PR, ia mendapati surat itu masih ada di dalam tasnya, tergeletak di antara buku dan catatan yang berserakan. Rina merasa bingung. Seharusnya ia sudah memberikannya pada Danu beberapa hari lalu, namun entah kenapa, ada bagian dari dirinya yang takut untuk menyerahkannya. Mungkin ia takut, atau mungkin ia hanya merasa ragu apakah Danu akan membacanya dengan serius.
“Kenapa aku bisa sebegini bingung?” keluh Rina. Ia memutuskan untuk menyimpannya lagi di tasnya, dengan harapan bahwa suatu hari nanti, saat saat yang tepat datang, ia bisa memberikannya. Namun, semakin lama surat itu berada di sana, semakin dalam pula rasa cemas yang ia rasakan.
---
Di sisi lain, Danu juga merasakan kebingungan yang sama. Sejak kejadian di taman, ia merasa canggung setiap kali berpapasan dengan Rina. Ia tahu bahwa perasaan yang ada di hatinya tak hanya sekadar persahabatan, namun ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Sejak kecil, Danu terbiasa untuk tidak mengungkapkan perasaan secara langsung. Kaset-kaset yang ia berikan pada Rina adalah cara diam-diam untuk mengungkapkan perasaannya, namun entah mengapa ia merasa tak cukup. Ketakutannya akan penolakan membuatnya semakin ragu untuk berbicara secara langsung.
“Kenapa harus seribet ini?” gumam Danu sambil menatap kaset yang baru saja ia beli. Ia merasa kaset itu tidak cukup, karena perasaan yang ia rasakan jauh lebih dalam daripada sekadar lagu. Ia ingin berbicara, ingin mengungkapkan semuanya, tapi takut jika kata-kata yang salah bisa merusak hubungan mereka. Danu memutuskan untuk tidak memberi surat atau kaset lagi, tetapi berusaha menyelesaikan semua ini dengan cara yang lebih sederhana: dengan berbicara langsung. Hanya saja, berbicara itu tidak semudah yang dibayangkan.
---
Rina yang kembali merasa bingung akhirnya memutuskan untuk pergi ke toko kaset lagi. Saat ia tiba di sana, ia bertemu dengan Sari yang sedang memilih kaset untuk hadiah ulang tahun ibunya.
“Kenapa wajahmu murung begitu? Ada apa, Rina?” tanya Sari dengan senyum cerah.
Rina menghela napas panjang, kemudian duduk di samping Sari. “Sari, aku merasa seperti orang bodoh saja. Aku sudah menulis surat, tapi aku takut menyerahkannya kepada Danu. Setiap kali aku memikirkannya, aku merasa seperti lebih baik diam saja daripada mengungkapkan apa yang ada di hati.”
Sari tertawa pelan. “Kalau begitu kamu cuma menunggu waktu yang tepat, kan? Jangan khawatir, kamu nggak sendirian kok. Banyak orang juga merasa begitu. Tapi, kamu harus ingat, nggak ada yang lebih jelas daripada kata-kata. Kalau kamu nggak mengungkapkan sekarang, kapan lagi?”
Rina mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. “Mungkin kamu benar, Sari. Tapi bagaimana jika Danu tidak merasakan hal yang sama? Kalau dia nggak suka, aku nggak tahu harus bagaimana.”
Sari memandangnya dengan serius. “Kamu nggak akan pernah tahu, Rina, kalau nggak dicoba. Jangan biarkan surat itu menjadi kenangan yang tak pernah terungkap.”
---
Setelah beberapa hari berlarut-larut, akhirnya Rina merasa bahwa inilah waktunya. Surat itu, yang semula tersembunyi di balik tumpukan buku dan catatan, kini berada di tangannya. Ia mengambil langkah pasti menuju rumah Danu, bertekad untuk memberikannya dan mengungkapkan perasaannya.
---
Namun, saat ia tiba di depan rumah Danu, ia menemukan dirinya terhenti. Hatinya berdebar kencang. Ia memandang surat di tangannya, lalu melirik pintu yang tertutup rapat. Inilah titik di mana ia harus memilih untuk melangkah atau mundur.
Dan ketika pintu itu terbuka, Danu muncul, dengan ekspresi yang sama bingungnya.