NovelToon NovelToon
STEP FATHER FOR MY DAUGHTER

STEP FATHER FOR MY DAUGHTER

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Single Mom / Hamil di luar nikah / trauma masa lalu / Anak Yang Berpenyakit
Popularitas:47.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rona Risa

Cerita ini buat orang dewasa 🙃

Raya Purnama menikah di usia 17 tahun setelah dihamili pacarnya, Sambara Bumi, teman satu SMA yang merupakan putra pengusaha kaya.

Namun pernikahan itu tak bertahan lama. Mereka bercerai setelah 3 tahun menjalin pernikahan yang sangat toxic, dan Raya pulang kembali ke rumah ibunya sambil membawa anak perempuannya yang masih balita, Rona.

Raya harus berjuang mati-matian untuk menghidupi anaknya seorang diri. Luka hatinya yang dalam membuatnya tak ingin lagi menjalin cinta.

Namun saat Rona bertumbuh dan menginginkan sosok ayah, apa yang harus dilakukan Raya?

Ada dua lelaki yang menyita perhatian Raya. Samudera Dewa, agen rahasia sekaligus penyanyi yang suara emasnya menguatkan hati Raya di saat tersulit. Alam Semesta, dokter duda tampan yang selalu sigap merawat Rona yang menderita leukemia sejak kecil.

Dan benarkah Sambara sudah tak peduli lagi pada Rona, putri kandungnya sendiri?

Pada akhirnya, siapa yang akan dipilih Raya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rona Risa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DI BAWAH HUJAN

Di pemakaman yang lebih menyerupai padang rumput dengan nuansa hijau lembut itu, Al tidak sendirian mengenang cintanya di bawah hujan.

Di bawah bayang-bayang sebatang pohon, Raya bersandar. Ia mengikuti prosesi pemakaman Sienna sejak awal hingga akhir. Air matanya hampir tak putus mengalir.

Meski ia baru sebentar mengenal Sienna, tetapi Raya tak akan pernah lupa kehangatan, kebaikan, dan ketulusan Sienna ketika merawat Rona. Tak jarang Sienna juga menyemangatinya agar tak mudah patah arang. Sienna juga yang membuat aturan khusus bagi pengunjung bangsal rawat inap anak agar tidak mengganggu privasi pasien yang dirawat di sana, karena itu bisa menurunkan kondisi mental dan memperlambat proses penyembuhan pasien.

Sejak itu, tak ada lagi mulut usil yang berani mengusik Raya dan Rona. Jika ada yang melanggar, Sienna mempersilakan pengunjung dan pasien hengkang dari rumah sakit yang dipimpinnya.

Setegas itu dan sebaik itulah Sienna.

Kepergian Sienna yang begitu tiba-tiba bagai halilintar menyambar bumi di hari cerah. Raya masih belum bisa percaya.

Tapi rasa dukanya tak akan sebanding dengan Al.

Sudah tiga jam Al bergeming di depan makam Sienna. Sejak langit masih mendung, merintik, hingga deras menguyupi bumi dan manusia. Al seakan tak ingin pergi dari sisi wanita yang paling dicintainya. Tak peduli cuaca dingin akan menawarkan sakit. Tak peduli mengalirnya waktu akan memberinya sensasi lumpuh.

Entah mengapa, Raya tak bisa meninggalkan Al. Meski hatinya masih sangat mencemaskan Samudera yang sudah selesai dioperasi namun belum kunjung siuman. Meski ia juga tak bisa berhenti memikirkan Rona yang masih belum mengalami kemajuan sejak kemoterapi kedua.

Malah tubuh mungil Rona makin kurus dan rambutnya mulai rontok.

"Bunda... mana Ayah Al? Mana Ayah Sam?"

Rona tak jemu menanyakan dua lelaki yang kini dipanggilnya 'Ayah'. Ketika Arum yang lugu bertanya kenapa Rona memanggil Al dan Sam sebagai 'Ayah' dan mencari mereka, Rona tersenyum lebar dan berkata, "Kalena Ayah Al dan Ayah Sam sepelti Ayah di celita dongeng-dongeng. Meleka sayang Lona. Mau main sama Lona. Mau nemenin Lona. Lona suka disayang Ayah."

Raya bertanya-tanya dalam hati, apa karena perasaan Rona yang mendalam pada Al, sehingga dia sebagai ibunya kini tak bisa meninggalkan Al menangis sendirian di bawah hujan?

Sudah cukup...

Raya membuka payung lipat hitam yang sengaja dibawanya dari rumah sebelum berangkat menghadiri upacara pemakaman. Sejak pagi, langit tak berseri-seri. Berita di televisi dan notifikasi di ponsel mengabari bahwa prakiraan cuaca akan turun hujan deras hari ini.

Dengan payung di tangan, Raya mendekati Al perlahan. Diulurkannya payung itu hingga meneduhi Al dari guyuran hujan yang menggigilkan badan.

"Al...," panggil Raya lembut.

Al menoleh. Wajahnya pucat, kentara lara.

"Raya..."

Sejenak mereka hanya saling memandang, tanpa suara.

"Apa kamu masih ingin membahagiakan Sienna?" tanya Raya lembut.

Al mengerjap.

"Aku sudah tak bisa...," suara Al bergetar. "Aku sudah gagal melindunginya, menyelamatkan hidupnya..."

"Benarkah seperti itu?"

Raya memandang Al lembut dan tenang. Sementara emosi Al kian tak terbendung.

"Apa maksudmu, Raya? Jangan menghiburku dengan kata-kata palsu... akulah pendosa yang sebenarnya di sini!"

"Jika kamu memang mencintai seseorang, yang kamu pikirkan bukanlah diri sendiri," kata Raya lembut. "Melainkan orang yang kamu cintai."

Al memandang Raya, sama sekali tak mengerti.

"Justru itu--"

"Apa menurutmu Sienna akan lebih bahagia jika tak pergi menyelamatkan Agselle waktu itu? Andai saat itu Sienna yang ada di posisi Agselle, apa kamu akan diam saja? Atau kamu akan berlari menyelamatkannya?"

Al sejenak membisu, kaku.

"Tentu aku akan menyelamatkannya--tapi tetap saja seharusnya aku ada di sisinya untuk melindunginya! Kalau saja aku bisa mencegahnya pergi, atau setidaknya menahannya sebentar saja agar dia tidak pergi sendiri..."

"Apa gunanya berandai-andai? Semua sudah terjadi, Al. Itulah yang disebut takdir. Tinta sudah mengering, tak dapat diubah."

Air mata Al kembali mengalir.

"Sienna pergi karena salahku...," isaknya. "Aku tak bisa hidup tanpanya..."

Duka Al menyentuh Raya, membuatnya hampir menangis juga.

"Lalu bagaimana Sienna bisa hidup tenang di keabadian jika kamu seperti ini, Al...? Bukankah kamu berjanji untuk memberinya cinta? Tapi bagaimana kamu akan menepati janji itu jika kamu hanya mempersembahkan duka untuknya?"

Al terperangah. Ia teringat kata-katanya sendiri, yang pernah diucapkannya untuk meyakinkan Sienna agar bersedia rujuk dan kembali padanya.

"Kita selalu mengatakan cinta kita akan selalu menyertainya. Tapi lihat diri kita sekarang, Sienna... lihat cinta kita sekarang... masih adakah yang bisa kita persembahkan untuk menepati janji itu, untuk membahagiakan Selena di alam sana...?"

"Jangan berhenti mencintai Sienna dan mempersembahkan cinta itu untuknya, Al," kata Raya sambil berurai air mata. "Teruslah hidup dengan kenangannya yang berharga. Dia akan sangat bahagia dan berterima kasih di alam sana, kalau di sini kamu tidak menyerah untuk melanjutkan hidup dan bahagia demi dia... tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kita cintai bahagia, iya kan?"

Kata-kata Raya menembus lubuk hati Al bagai air dingin yang membasuh luka. Lelaki tampan itu jatuh berlutut di atas rumput, menangis sejadinya.

Maafkan aku, Cinta... aku sungguh mencintaimu...

Entah bagaimana Al mendengarnya. Di antara deru angin dan rintik hujan. Ada sesuatu di sana, entah di kedalaman jiwa, atau dari dasar jurang bumi... suara indah nan lembut yang sangat dikenalnya, sangat istimewa di hatinya, balas berbisik penuh kasih.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Cinta... hidup dan berbahagialah... aku pun sungguh mencintaimu, selalu..."

***

"Bunda... Ayah Al mana?"

Rona menatap sayu dan harap wajah ibunya. Sudah seminggu ini, Rona tak bertemu Al sama sekali.

Raya tahu Al masih berduka dan perlu menenangkan diri sebelum bisa menangani pasien kembali. Meskipun kata-kata Raya berhasil menyadarkan Al untuk tak lagi menyalahkan diri sendiri dan terus melanjutkan hidup demi Sienna, tapi Al tetap butuh waktu untuk meredam kesedihan dan menata hatinya. Ia harus menyembuhkan batinnya lebih dulu sebelum bisa menyembuhkan pasien seperti biasa.

Tapi tentu Raya tak bisa menjelaskan hal serumit itu pada Rona. Raya pun tersenyum sabar sambil membelai lembut pipi Rona.

"Ayah Al masih bekerja menyembuhkan para peri, Sayang. Belakangan hujan turun deras sekali... hutan rumah para peri kebanjiran. Banyak dari mereka sakit dan butuh bantuan Ayah Al untuk pulih."

"Ooh," Rona menunduk, wajahnya sedih. "Kalau Ayah Sam?"

Mendengar nama Samudera disebut, hati Raya rasanya retak. Samudera masih koma di ICU VVIP Adam's Wings. Tak ada yang tahu kapan ia akan membuka mata kembali, meski doa untuk kesembuhannya senantiasa dipanjatkan orang-orang yang mengasihinya tiada henti.

Termasuk Raya. Nama Samudera selalu ada dalam doa dan hatinya kini.

"Ayah Sam... sakit, Sayang," kata Raya dengan suara bergetar. Kali ini ia tak sanggup berdusta.

"Sakit apa, Bunda?" tanya Rona, mata indahnya melebar.

"Bunda juga enggak paham... Dokter sudah berusaha mengobatinya, tapi Ayah Sam belum bangun juga..."

Raya bersusah payah mencegah air matanya tumpah.

"Kalau gitu, Ayah Al halus pulang dali negeli peli... Lona yakin, cuma Ayah Al yang bisa ngobatin Ayah Sam," kata Rona polos. "Kan Ayah Al doktel paling hebat di seluluh dunia."

Raya mau tak mau tertawa. "Iya... Rona benar..."

Rona tiba-tiba memejamkan mata dan menangkupkan kedua tangannya di dada.

"Tuhan yang Baik, Lona minta tolong segela bawa Ayah Al pulang ke sini. Supaya Ayah Al bisa main lagi sama Lona. Supaya Ayah Al bisa nyembuhin Ayah Sam," ucap Rona. "Lona kangen Ayah..."

"Siapa yang kangen Ayah?"

Rona membuka mata. Raya terlonjak.

Al muncul dari balik pintu yang terbuka. Wajahnya menawan dengan tatapan dan senyum lembut. Rona bersorak gembira.

"Ayah Aaal! Holeee! Ayah Al datang! Wah, cepet banget dikabulinnya, Tuhan..."

Raya tak bisa menahan tawa. Ia juga tak bisa menyembunyikan perasaan senang dan lega saat melihat Al datang. Al tampak sehat dan sorot matanya memancar hidup dan hangat, seperti sebelumnya.

Syukurlah kamu baik-baik saja, Al... semoga hatimu sudah pulih sepenuhnya sekarang...

Al memeluk dan menggendong Rona lembut, perlahan, dan hati-hati agar selang infus di tangannya tidak terbelit.

"Lona kangen Ayah," kata Rona sambil mengalungkan lengan kurusnya dengan manja ke bahu Al.

"Ayah juga kangen, Nak," balas Al lembut. "Maaf ya Ayah baru bisa nemui Rona sekarang..."

"Nggak apa-apa. Yang penting Ayah pulang," Rona tersenyum, wajahnya makin cantik dan bersinar. "Oh iya Ayah, kata Bunda, Ayah Sam sakit... belum bangun juga sampai sekalang... Ayah Al bisa sembuhin Ayah Sam kan? Tolong Ayah Sam, Ayah Al... kasihan Ayah Sam..."

"Hmm...," Al berpikir sejenak. "Rona tahu cerita Putri Tidur, kan?"

"Celita Putli Aulola? Iya Lona tahu. Putli yang tidul telus kalena dikutuk, dan akhilnya bangun kalena diselamatkan pangelan, kan..."

"Iya, Rona pintar," puji Al senang. "Apa Rona tahu, Ayah Sam sekarang kondisinya seperti itu."

Rona mengerjap. Bingung.

"Ayah Sam butuh dicium pangelan supaya bangun?"

Al tertawa sampai nyaris tumpah air matanya. Raya pun ikut tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Bukan itu maksud Ayah," kata Al setelah tawanya mereda. "Ayah Sam butuh seorang putri cantik untuk bisa membangunkannya. Bukan pangeran. Pangeran itu hanya untuk Putri Aurora."

"Ooh, ya, ya," Rona mengangguk paham. "Telus kita cali putlinya di mana?"

"Hmm, di mana, ya...?"

Al memandang Raya penuh arti. Jantung Raya seakan berhenti berdetak, pipi setengah albinonya merona.

Apa maksudmu, Al...?

"Kamu pergi dan temuilah Samudera," kata Al perlahan setelah memberikan obat untuk mengatasi mual Rona dan membuat gadis kecil itu tertidur. "Kamu belum pernah menengoknya sama sekali, kan?"

"Dia dirawat di Adam's Wings, Al," kata Raya lirih. "Nggak semua orang diizinkan masuk ke sana. Apalagi ICU tempat Sam dirawat..."

"Jangan khawatir. Kamu sudah dapat izin dan akses khusus untuk itu."

Raya menatap Al kaget. "Al, kamu serius...?"

Al mengangguk. "Ya, aku sudah bicara dengan Presdir. Beliau mengizinkan. Kamu pergilah. Aku akan menjaga Rona di sini."

Mata Raya berkaca-kaca. "Terima kasih, Al..."

Al tersenyum. "Kembali kasih, Raya..."

***

Cahaya serba putih. Stasiun.

Samudera tak tahu bagaimana ia bisa berada di sana. Di peron stasiun sunyi tak bernama. Diterangi cahaya serba putih entah dari mana.

Dan tiba-tiba, sesosok wanita jelita dan muda seperti muncul dari kekosongan udara. Tersenyum bahagia dan menatapnya penuh cinta.

"Samudera, anakku..."

Samudera hampir tak mempercayai matanya.

"I-Ibu...?!"

Mereka berpelukan lama. Samudera menangis seperti anak kecil. Ibunya membelai punggung dan rambutnya penuh kasih sayang.

"Ibu... maafkan Sam, Bu... maafkan..."

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Nak... kamu tidak bersalah sama sekali... semua itu sudah takdir..."

Setelah berhasil menenangkan diri, Samudera duduk di salah satu bangku putih, bersisian dengan ibunya, yang tak puas-puas memandangnya, seakan meluapkan kerinduan yang tertahan begitu lama.

"Ini di mana, Ibu...?" tanya Samudera seraya memandang sekeliling, bingung.

"Stasiun Nun, Nak."

Samudera makin bingung.

"Stasiun... Nun?"

Sang ibu mengangguk dan tersenyum.

"Ya... tempat kita menunggu kereta terakhir datang dan menjemput."

"Apa... apa itu artinya... aku sudah mati?"

Samudera terperangah. Ia ingat saat-saat terakhir berkelahi dengan Arga Wilis, hantaman keras yang membikin kepalanya sangat sakit dan darah mengucur deras dari hidungnya, pandangannya bagai terbelah sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

Dan tiba-tiba saja, ia sudah berada di tempat penuh cahaya, berjumpa lagi dengan ibunya.

"Itu sebabnya... aku bisa bertemu Ibu kembali?"

"Belum. Kamu tidak akan pergi sebelum kamu naik kereta terakhir itu," jawab ibunya lembut. "Tapi sebelum itu... Ibu harus bertanya satu hal paling penting. Apa kamu benar-benar ingin pergi?"

Samudera terpekur.

"Aku merindukanmu, Bu... dan jujur saja... kadang-kadang aku merasa lelah..."

Sang ibu tersenyum.

"Itu hal yang wajar, Nak. Tapi apakah itu adalah alasan yang tepat dan kuat untuk pergi?"

Samudera terdiam.

"Apa aku masih punya pilihan, Bu...?"

"Ya... sebetulnya, kereta terakhir itu tiba karena dua alasan, waktu yang sudah selesai, atau hati yang ingin selesai," jelas ibunya. "Ibu di sini untuk menanyakan keinginan hatimu... apa kamu benar-benar sudah ingin pergi? Kamu yakin tak ada yang kamu tinggalkan di belakang untuk kamu sesali kemudian?"

Untaian janji kembali bergema di hati Samudera.

"Berjanjilah untuk menyelamatkan hidup dan hati Rona, apapun yang terjadi."

"Aku janji akan pulang ke sisimu dan Rona dengan selamat."

Air mata Samudera menetes. Sang ibu menghapusnya lembut.

"Kamu masih punya sesuatu untuk diperjuangkan," kata ibunya tenang. "Dia juga menantikanmu pulang, kamu tahu..."

Samudera mengerjap.

"Bagaimana Ibu tahu...?"

"Hujan itu."

Sang ibu menunjuk sisi luar atap peron dan stasiun. Ada suara dan tetes hujan membasuh udara dan keheningan di sana.

"Kumohon, kembalilah, Sam... kamu sudah berjanji..."

Entah bagaimana, tangisan Raya menjelma hujan dan memanggil lembut namanya.

"Raya...," Samudera menangis.

"Dia memanggilmu, membutuhkanmu," kata sang ibu sambil membelai kepala putera bungsunya itu. "Jika kamu sudah berjanji, maka tepati janji itu, Nak. Jika waktumu belum selesai, maka jangan menyerah dan memutuskan segalanya sudah selesai. Sekali kereta terakhir membawamu pergi, kamu tak akan bisa kembali."

Tiba-tiba, tanpa suara, sebuah kereta muncul dari kejauhan. Kereta itu meluncur pelan sehalus hembusan napas sebelum berhenti tepat di depan mata Samudera.

Tak ada masinis atau penumpang di dalamnya. Lengang dan sunyi sepenuhnya.

"Ibu tak mau putera tercinta Ibu meneruskan perjalanan dengan keliru dan penyesalan. Pikirkanlah baik-baik sebelum kamu memutuskan," sang ibu menutup kalimatnya dengan ciuman lembut di ubun-ubun Samudera, lalu melangkah tenang dan masuk ke dalam kereta.

Samudera bangkit dan maju beberapa langkah dengan bimbang.

"Ibu...!"

Tepat di pintu kereta, sang ibu berhenti dan menoleh.

"Ya, Nak?"

"Apa aku akan bertemu Ibu kembali suatu hari nanti?" tanya Samudera dengan mata berkaca-kaca.

Sang ibu tersenyum, wajah cantiknya bercahaya sangat indah.

"Tentu saja, Sayang," sahut ibunya dengan nada bahagia. "Kita pasti bertemu kembali jika memang sudah waktunya kita bersama. Kamu bisa memegang kata-kata Ibu."

Samudera tersenyum lega. "Terima kasih, Bu..."

Sang ibu tersenyum. "Sampai jumpa lagi, Sayang."

Kereta meluncur pelan dan menghilang dalam cahaya.

Samudera tanpa ragu melangkah meninggalkan peron. Hujan di luar atap lengkung itu menitik dengan sangat bening.

Perlahan ia merengkuh basah yang begitu indah. Hatinya pun tak kuasa membisikkan kalimat penuh puja dan kerinduan.

Aku kembali untukmu, Cinta...

...***...

1
zin
kalo ga dor ya duar 😫
zin
Alvaro dakjal
zin
lagi dan lagi firasat ku buruk tentang kamu Sam🥲
zin
untung aja mau brojol kamu ray
zin
pak, sini saya gosok pakai abu bibirnya
zin
jd raya bakal megap2 sih
zin
dorrr!
zin
setidaknya kamu nyadar ya Ray, bukan kamu saja yg menderita di sini
zin
malah samudera yg jd tawanan 🙄
zin
siap2 pargoy ae lu pak kalau udh d kepung ntar
zin
kematian mu pak
zin
bae2 Al kamu di dor
zin
bukan masalah sulit/gampang.
yg namanya medis ga bisa sembarangan
zin
Alvaro memang lucknut
zin
gila sampe ada bom
Zhu Yun
Apa ini?? ada apa ini??😱😱😱 Sambara akan baik-baik saja kan?? Ayo Sam semangat, anakmu sudah lahir ke dunia.... 🔥🔥🔥🔥🔥
Zhu Yun
Kuat juga ngadonnya si Alvaro ini sampai menitipkan benih bertebaran dimana-mana 😎
Zhu Yun
Benihnya Alvaro bertebaran dimana-mana 😎
Zhu Yun
Terhura aku... ehh terharu... 😭😭
Zhu Yun
Ya mau gimana lagi Al, masa mau didiemin aja didalam perut. ya harus dikeluarin lah, mana air ketubannya juga udah pecah 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!