SYAHNALA

Waktu terasa begitu cepat, tak sadar hari sudah pagi, Nala menuruni tangga dengan perasaan tak karuan.

Ia masih memikirkan kejadian kemarin, dia terus berfikir bagaimana jika Arya membencinya, menurutnya dia sudah begitu sangat capek sama keadaan yang tak ada habisnya menyiksa nya.

Sebenarnya apa dosanya di masa lalu? mengapa penderitaannya tak pernah habis.

Baru kemarin dia mendapatkan rumah yang layak ditinggali, kini dia harus kehilangan rumah itu lagi, walaupun masih ada Raka dan Tasya yang mempercayai nya.

Menurutnya ini semua terjadi karena sifatnya yang dulu, dia selalu mengabaikan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya, walaupun itu juga ada alasannya mengapa dia menjadi seperti itu.

Belum lagi orang tuanya akan pulang nanti, biasanya anak seusianya senang jika orang tuanya kembali kerumah.

Tapi tidak dengannya, bagaimana tidak kedatangan mereka hanya untuk menyiksanya, dia selalu bertanya pada Tuhannya mengapa dia dilahirkan? Jika orangtuanya saja tak menginginkannya.

Baru kemarin dia merasa sangat senang saat berada di pantai, kini dia harus kembali menerima kenyataan bahwa dia hanya akan mendapatkan kehidupan yang gelap.

Nala duduk di meja makan, menghela nafas yang kasar.

"non Nala, non Nala nggak apa-apa?" tanya bi Inah padanya

dia menoleh kearah BI Inah, dan menganggukkan kepalanya, dia benar-benar dalam keadaan kacau sekarang, hingga dia merasa tak ingin berkata apapun.

Hening, suasana itulah yang terjadi di meja makan, hanya suara dentuman piring dan sendok, tanpa ada suara manusia.

Kini makanannya telah ia habiskan, dia bergegas keluar rumah menuju parkiran, hari ini dia hanya berangkat sendiri karena dini sedang tidak enak badan.

Dia memasuki mobil dengan perasaan tak karuan, pak Pardi ingin menanyakan tentang kondisinya tetapi dia memilih untuk diam dan menjalankan mobilnya.

...**********...

Lama waktu berlalu, tak terasa mereka telah sampai disekolah, Nala turun dari mobil berpamitan dengan pak Pardi lalu memasuki sekolahannya.

Dia berjalan dengan pandangan kosong, hingga dia tak sengaja menabrak seseorang.

"hm...maaf yah.." ucapnya dengan nada pelan

"kalau jalan itu, jangan melamun" ucap pria yang dia tabrak tadi

Tapi suara itu, tak asing di telinganya dia melihat kearah pria itu, jlenggg waktu seakan berhenti sebentar, di depannya tepat berdiri Arya Wiguna, orang yang berhasil mengambil hatinya, orang yang sedari tadi berusaha untuk dia hindari.

Tapi takdir berkata lain, perasaan Nala jadi tak karuan hingga tanpa dia sadari dia mengeluarkan air matanya, Arya yang melihat itu langsung panik.

Apa yang terjadi padanya? Mengapa dia menangis? Pikir Arya

"Nala, Lo kenapa" ucap Arya sembari memegang kedua pundaknya

"kak, aku benar-benar minta maaf, aku nggak bermaksud kayak gitu, tapi waktu itu aku benar-benar nggak bisa buat nolongin mama kakak" ucapnya dengan nafas tersengal sengal

"Nala, gue paham Lo nggak perlu minta maaf, kematian mamah aku itu udah jadi takdir yang di atas, Lo nggak perlu merasa bersalah" ucap Arya mencoba menenangkannya

"ta..tap..tapi kak" ucapnya

"tapi apa? Udah lupakan saja, itu udah lama lagian kamu bukan tuhan yang bisa ngulur kematian seseorang bukan" ucap Arya membuat Nala sedikit tenang

"gue nggak bakalan permasalahkan ini kok, jadi Lo tenang aja, Alya juga udah aku nasehatin kemarin, yang ada seharusnya yang minta maaf itu Alya bukan kamu" ucap Arya

"Alya nggak salah kok kak, yang sal..." ucapnya sebelum dipotong

"siapa yang salah? Kamu mau bilang itu kamu? Aku kan udah bilang, kematian mamahku itu karena udah waktunya, jadi kita nggak bisa nyalahin siapapun" ucap Arya

"tapi aku tetap merasa bersalah kak, andai aja waktu itu aku nolongin mamah kakak" ucapnya sembari menunduk

"kamu, nggak perlu merasa bersalah Nala, walaupun waktu itu kamu nolongin mamah aku, itu nggak bakalan merubah apapun, luka di bagian kepalanya cukup parah, walaupun jika saat itu ada dokter yang menolong nya itu tak akan bisa, jadi kamu nggak usah merasa bersalah, jika emang ada yang disalahkan itu seharusnya orang yang nabrak mamah bukan?" ucap Arya

"udah kamu masuk kelas gih sana, walaupun nggak belajar tetap aja kamu harus masuk kelas, lagian kamu belum kepikiran untuk melakukan sesuatu untuk acara Senin nanti" ucap Arya.

"hah..iya, aku lupa!! Kalau kaya gitu aku pergi dulu yah kak" ucapnya sembari berlalu pergi

Ucapan Arya kepadanya, cukup menenangkannya perasaan tertekan tadi pagi juga telah hilang, itu membuatnya semakin jatuh akan atensi Arya.

Dia berfikir apakah dia pantas untuk Arya? Arya begitu sempurna, dia laki-laki yang gentleman, pemikirannya yang dewasa itu membuatnya menjadi pria idaman semua orang.

Mungkin dia hanya bisa menyembunyikan perasaannya pada Arya, karena dia tahu piring yang telah pecah tak akan disandingkan dengan gelas kaca yang indah.

Dia harus menerima kenyataan, bahwa dia tak akan bisa mendapatkan seorang pria idamannya, dia tak pantas untuk itu.

...^^Happy Reading ^^...