Berawal dari penghianatan sang sahabat yang ternyata adalah selingkuhan kekasihnya mengantarkan Andini pada malam kelam yang berujung penyesalan.
Andini harus merelakan dirinya bermalam dengan seorang pria yang ternyata adalah sahabat dari kakaknya yang merupakan seorang duda tampan.
"Loe harus nikahin adek gue Ray!"
"Gue akan tanggungjawab, tapi kalo adek loe bersedia!"
"Aku nggak mau!"
Ig: weni 0192
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon weni3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
KAKAK........
Andini teriak saat Raihan jatuh tepat di atasnya, dia yang sedang berendam dan sudah pasti tak berpakaian di buat jantungan mendapati suaminya sudah ada di sampingnya, bahkan saat ini masuk ke dalam bathtub dan jatuh memeluk tubuh polos miliknya.
Raihan pun merasakan hal yang sama, jantungnya berdetak lebih cepat seperti genderang mau perang. (hehehehe....) Apa lagi kedua tangan yang tak sengaja menyentuh perbukitan yang menantang dan memanjakan mata. Tak dapat di definisikan apa yang ia rasakan sekarang, apa lagi naluri prianya mulai memberontak.
Andini mendorong keras menyadarkan Raihan yang gugup menatapnya, tubuh pria itu mundur ke belakang hingga membentur sisi bathtub yang lain.
"Aduuuhhh......kamu kasar banget sich!"
"Kakak ngapain disini? aku tuh lagi mandi, Kakak ini nggak sopan banget ya!" Andini merengut dengan tangan menutupi kedua aset miliknya, beruntung bagian bawah masih bisa tertutup oleh busa. Kalo tidak sudah dapat di pastikan Raihan leluasa melihat bagian yang indah menyejukkan pandangan.
"Kamu yang ngapain? udah satu jam kamu berendam, aku masuk karena nggak ada jawaban dari kamu. Malah jadi kena marah begini!" keluh Rai sambil mengusap bagian punggung yang sudah di pastikan memar.
Andini yang merasa salah menundukkan kepala, tak tega sebenarnya melihat Rai kesakitan. Tapi apalah daya ia tak bisa bergerak, jika berubah posisi sedikit saja sudah di pastikan bukan ia yang ingin menolong tetapi ia yang tak tertolong.
"Ya udah cepet kakak keluar sana! aku mau udahan tapi.....ikh kakak bangun dulu aja dech!"
Raihan melirik sedikit tubuh Andini yang masih ia tutupi dengan kedua tangannya. Sedikit paham akan Andini yang malu karena saat ini polos, Raihan segera beranjak keluar dengan hati-hati. Melangkah ke shower dan membersihkan sekalian tubuhnya di sana karena sudah basah.
"Kak kok malah kesana sich?"
"Iya aku udah basah gini, kalo masuk kamar ya basah semua nanti lantainya. Makanya mandi aja sekalian." Dengan cuek Raihan membuka bajunya dan membersihkan diri. Sedangkan Andini memejamkan mata menahan dingin yang sudah menusuk tulang. Serasa tubuhnya kaku dan kakinya mulai kram.
Dia meringis memijat bagian betis yang benar-benar tak bisa bergerak rasanya. Tangan pun sudah berubah putih biru berkeriput, karena efek melamun hingga lupa waktu.
Raihan sudah selesai dan menarik handuk lalu melilitkannya di pinggul, berjalan melewati Andini yang masih diam di tempat dengan tubuh bergetar. Berusaha tak perduli karena tak ingin membuat Andini marah kembali, melangkah keluar dengan wajah datar.
Sedangkan Andini berusaha sekuat tenaga bangun saat Rai sudah keluar. Ia mencoba bangun dengan kaki yang nyeri, sekuat tenaga berdiri hingga tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara.
"Aaaaarrrggghhh....." Andini begitu terkejut apa lagi Raihan saat ini telah mengangkatnya tanpa sehelai benang.
"Kak, kamu ini apa-apaan sich!" kesel Andini, dia begitu malu. "Turunin aku kak!"
Raihan tak bergeming, dia membawa Andini keluar kamar mandi. Mendaratkan istrinya di pembaringan dan meraih handuk untuk menutupi tubuhnya.
"Pakai handuknya!" sekuat tenaga Raihan mengendalikan sesuatu yang rasanya ingin keluar dan muntah, tubuh Andini sungguh membuat dirinya seperti tersengat.
Andini menarik handuk tersebut dan segera menutupi tubuhnya yang polos, seakan ditelanjangi dirinya begitu malu dan ingin mengamuk.
"Pakai!" Raihan kembali dengan baju tidur milik Andini, kemudian keluar menuju balkon dengan memberi waktu untuknya memakai pakaian.
Melihat Raihan yang keluar, Andini dengan cepat memakai baju tidur yang telah Rai berikan. Kini rasa di hati sudah tak mampu di ungkapkan, jika ada sumur yang dalamnya setinggi bocah mungkin dia sudah masuk dan bersembunyi di sana.
Selesai berganti Andini masuk kedalam selimut dan menutup seluruh tubuh lalu tidur. Bukan tidur tapi berusaha untuk tidur walaupun bayangan tubuh Raihan serta segala perlakuannya membuat dia mati gaya, malu dan seakan tak berharga. Sedangkan Rai memilih duduk di balkon dengan menghisap beberapa puntung rokok, hal yang tak pernah ia lakukan setelah move on dengan mantan istri.
Raihan benar-benar pusing, melihat tubuh aduhai sang istri yang jelas begitu menggoda hingga membuat kepala nyut-nyutan. Mau minta takut di maki, giliran menahan rasanya hampir mati.
Pria itu masuk kedalam saat di rasa sudah sedikit tenang, melirik gundukan selimut yang rapat membungkus tubuh istrinya. Melangkahkan kaki hingga terhenti di pinggir ranjang, tangannya terulur menyibak selimut tetapi tak kunjung bisa di buka. Senyum Rai tampak samar terlihat, dengan sekali hentakan mampu membuat Andini gelagapan.
"Kak Rai! kenapa sich, ganggu aja dech!"
Andini dengan wajah padam menatap Rai yang kini ada di hadapannya dengan posisi menunduk.
"Ngapain?"
"Kesel!" Andini membuang muka.
"Kenapa? aku kan sudah bilang apapun yang membuat kamu risih lupakan!"
"Nggak semudah itu! Kak Rai tak mengerti, aku bagai bayi yang seenaknya saja kak Rai gendong kemana-mana. Seperti tak punya harga diri." Andini menggerutu dengan bibir mengerucut. Jika hubungan mereka tak seperti ini mungkin Rai sudah melahapnya hingga sulit bernapas.
"Aku ini suamimu, bukan orang lain. Tubuhmu halal untukku lihat, bahkan aku berhak melakukan lebih. Tapi aku memikirkan keinginanmu, aku tak ingin membuatmu semakin tersiksa dengan pernikahan ini. Walaupun aku harus menahan rasa yang entah bagaimana."
Raihan beranjak dan pergi dari sana, melangkah keluar hendak turun ke meja makan.
"Makan malam dulu sebelum tidur!" ucap Rai tanpa menoleh.
Hati Andini resah, entah mengapa ucapan Rai sebelum beranjak tadi sedikit mengusik hati. Dirinyapun bertanya-tanya apa maksud dari itu semua....
Langkah Andini perlahan mendekat menuju meja makan, disana sudah tampak simbok menyiapkan berbagai menu makan malam. Raihan duduk dengan tenang tanpa sedikitpun ingin menoleh saat Andini mulai menarik kursi di sebelahnya.
Makan dengan tenang tanpa ada jeda pembicaraan, diam dengan hati yang sama-sama gelisah. Andini yang tak bisa diam mendadak kalem. Sulit untuknya memahami isi hati, sedangkan Rai pun belum paham akan rasanya saat ini. Melangkah ke depan dengan tujuan yang tak sama dan entah akan berjumpa di persimpangan atau tidak.
Selesai makan Rai segera naik menuju ruang kerja, dia memilih menyibukkan diri agar Andini pun tak merasa canggung. Tapi dengan adanya sikap Rai yang seperti ini justru membuat Andini merasa terabaikan. Dan dia mendadak tak suka dengan situasi yang ada.
"Sebenarnya siapa yang keterlaluan di sini? Apa salah jika gue bilang akan pisah setelah semua jelas? Karena memang hubungan yang tak di landasi apapun sebagai penguat. Tapi kenapa hati gue mendadak nggak enak...."
Andini diam sejenak di meja makan dengan nasi yang masih tersisa, menatap datar Rai yang naik ke atas tanpa meninggalkan kata.
"Gue cuma nggak mau terikat karena terpaksa."
Andini minum kemudian pergi menuju kamar, terlalu pusing memikirkan rumah tangga di saat dia belum ada rencana. Simbok yang melihat hubungan kedua majikannya yang tak baik-baik saja memilih diam dan mendekat di saat sudah sama-sama meninggalkan tempat.
"Semoga cinta itu segera tumbuh di hati kalian, simbok sangat berharap kelak meja makan ini akan ramai dengan canda tawa. Bukan meneng-menengan...."
mkasih bnyak thorr🫰