Selesai membaca biasakan tekan LIKE ya.
Seorang perempuan cantik bernama Nindi harus menikah dengan pria pilihan orang tuanya yang tak lain adalah seorang pengusaha muda yang sukses.
Nindi tak bisa menolak permintaan sang papa dengan alasan balas budi, dia dengan terpaksa menerima pernikahan itu karena tak ingin membuat kedua orang tuanya bersedih.
Akankah hidup Nindi bahagia dengan pria pilihan orang tuanya itu atau justru berakhir dengan kesedihan??
Yuk simak kelanjutan kisah mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ismiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Saat ini mereka sudah berada di bandara, semua mengantarkan keberangkatan Tristan dengan senyum lebar dan penuh harap.
"Bun, Nindi berangkat ya," pamit Nindi dengan senyum sedih.
"Iya sayang, jangan lupa kabari bunda kalau sudah sampai," pesan Bunda langsung memeluk sang putri. Tak terasa putri kecilnya dulu telah tumbuh besar dan menjadi seorang istri.
Kini giliran Nindi berpamitan dengan sang papa. "Pa...." Tak ada kata yang terucap hanya pelukan cinta pertama yang membuat sang putri tenang.
"Ingat kamu sekarang sudah mempunyai suami, jadi apapun harus meminta ijin suami dan jangan membantah ucapan suami mu kalau memang benar," hanya itu pesan pak Andre agar putrinya itu mengerti.
"Iya pa," jawab Nindi.
Tristan pun ikut berpamitan dengan mencium tangan Bunda dan pak Andre. "Pa, Bun, kami pamit," meski hanya kata singkat itu yang terucap di mulut Tristan sudah membuat Bunda dan pak Andre senang. Menantunya itu cukup baik menurut mereka, tak salah menjodohkan mereka meski menantunya itu irit bicara dan sering menampilkan wajah datar namun pak Andre tahu, hal itu sering di butuhkan di dunia bisnis agar mereka di segani dan yang paling penting menantunya itu tak pernah terlibat skandal dengan para wanita.
Nindi pun bergantian menyalami keluarga Tristan, mulai dari pak Hendra, opa dan yang lainnya.
"Ma Nindi berangkat ya," kata Nindi memeluk mertuanya yang tak lain adalah jeng Sinta.
"Iya sayang, jangan lupa menghubungi mama, kalau tuh anak nakal jahat kamu jangan segan-segan untuk lapor sama mama, tenang saja mama akan pites tuh anak biar tahu kapok," pinta jeng Sinta.
"Iya ma," jawab Nindi mengulum senyum tulus.
"Jangan lupa sama Oma juga ya cantik," kata Oma.
"Pasti Oma,"
"Kirim foto-foto kalian selama di sana," pinta Oma lagi.
"Iya nanti Nindi kirim, eh Nindi kan belum punya nomor ponsel Oma," ceplos Nindi.
"Eh iya ya, nanti minta sama Tristan saja," kata Oma.
Untuk pak Hendra dan opa, Nindi cuma mencium tangan mereka karena merasa tak nyaman.
"Ayo," ajak Tristan menyudahi acara pamitan itu.
Nindi berjalan mengikuti sang suami di belakang, Tristan melihat itupun mengandeng tangan Nindi dengan cepat agar langkah keduanya sejajar.
Nindi masih saja menoleh ke belakang menatap ke arah keluarganya, tak lupa melambaikan tangannya.
Mereka juga ikut melambaikan tangan ke arah Nindi dan Tristan meskipun Tristan diam tak menanggapi, mereka sudah tahu kalau memang sifat Tristan begitu cuek.
"Semoga mereka pulang-pulang bawa kabar baik," kata Oma dengan tak sabar.
"Iya ma, Sinta juga tak sabar ingin segera menggendong cucu," sahut mama Tristan.
"Untung menantu kita murah senyum tidak seperti bocah nakal itu datar seperti triplek," sungut pak Hendra.
"Ck nurun siapa?" Sinis jeng Sinta menatap suaminya dengan tatapan kesal.
"Iya nurun kamu, kamu lupa kamu itu sama dengan Tristan sama-sama cuek, datar tak pernah senyum. Untung kamu menikah dengan Sinta jadi sifat jelek kamu itu sedikit berubah," sahut Oma cepat.
"Sudah jangan ribut, ayo pulang," kata opa tegas. Mereka semua pun pulang dengan perasaan gembira berharap hubungan mereka semakin erat dan cepat dikaruniai seorang anak, ya harapan mereka agar Nindi cepat hamil agar rumah mereka ramai dengan kehadiran bayi yang lucu-lucu.
.
.
"Lho kok lewat sini?" Tanya Nindi heran karena jalur yang dia lewati berbeda dari yang lain.
"Harusnya kan lewat sana," sambung Nindi.
"Kita naik pesawat pribadi bukan naik pesawat biasanya," sahut Tristan dengan enteng.
"Hah? Pesawat pribadi?" Ulang Nindi memastikan pendengarannya tidak salah.
Kaget, pasti Nindi rasakan saat ini. "Seberapa kaya mereka," batin Nindi kaget atau kata lain syok.
"Iya," jawab Tristan cepat.
"Terus tiket tadi pagi?" Tanya Nindi binggung sendiri.
"Oh itu tiket hotel saja," jawab Tristan enteng.
"Hotel?" Nindi semakin pusing saja tak mengerti semua ini.
"Ha ha ha, kamu kira kira nak pesawat biasa begitu," tanya Tristan.
Nindi mengangguk polos. "Kan tadi opa bilang kalau kita berangkat jam 2, ya ku kira pesawatnya jam 2 berangkat jadi kita buru-buru," jelasnya.
"Ha ha ha ha kamu kena prank opa. Opa telah mengatur keberangkatan kita jam 2 tetapi dengan pesawat pribadi milik keluarga dan tadi pagi yang di serahkan ke kita itu bukan tiket pesawat cuma tiket liburan, jadi hotel untuk menginap dan pemandu wisata untuk kita semua sudah di sediakan selama satu Minggu kita di sana," jelas Tristan panjang lebar.
"Ku kira tadi tiket pesawat, ternyata aku kena prank opa," lirih Nindi.
"Kamu tadi tidak lihat," tanya Tristan heran. Lagi-lagi Nindi hanya mengelengkan kepalanya.
Pembicaraan keduanya terhenti karena kedatangan mereka.
"Tuan muda, biar saya yang bawa koper kalian," tiba-tiba datang beberapa pria seperti seorang bodyguard.
"Hmmm...." Sahut Tristan lalu menyerahkan 2 koper miliknya dan sang istri kepada mereka.
Kini mereka sudah masuk ke dalam pesawat, Nindi yang masih penasaran pun melihat-lihat dekorasi yang ada di dalam pesawat ini.
Nindi duduk dengan nyaman, menyadarkan punggungnya yang terasa pegal. Namun mata Nindi langsung melotot tak kala merasakan sesuatu hal yang dilakukan pria di sampingnya. Tubuh Nindi tegang, tak tahu harus bagaimana.
Deg
Deg
"A apa yang kamu lakukan?" lirih Nindi gugup bercampur kaget.
Tristan masih terdiam mencari kenyamanan.
"Singkirkan kepalamu," pinta Nindi dengan pelan dan hati-hati.
Ya Tristan tiba-tiba merebahkan kepalanya di pangkuan sang istri membuat Nindi tegang dan kaku.
"Tolong pijat kepala ku," pinta Tristan secara tiba-tiba.
Nindi melongo, binggung harus bagaimana namun saat melihat wajah lelah sang suami membuat Nindi tak tega, tangannya terulur menyentuh kepala sang suami dengan perasaan was-was. Nindi pun memijat kepala sang suami dengan hati-hati.
"He he he he, enak juga punya istri," batin Tristan tersenyum dalam hatinya.
"Aku harus pijit kepala dia sampai kapan?" Keluh Nindi di dalam hatinya. Namun tangannya masih setia memijit kepala sang suami meskipun tangannya merasa sedikit pegal.
"Sebenarnya aku hanya ingin merasakan tidur di paha dia saja, tak ku kira dia langsung tegang begitu. Untung saja aku minta pijitin kepala, he he he pura-pura sakit kepala biar dia tak berfikir aku mesum," guman Tristan di dalam hatinya.
Tristan begitu menikmati pijatan lembut istrinya, membuat dia merasa nyaman dan mengantuk. Tanpa sadar Tristan memejamkan matanya tertidur di pangkuan sang istri.
Melihat suaminya tertidur, Nindi bernafas lega. Tangannya pun berhenti memijit.
Nindi menatap wajah yang tertidur di pangkuannya terlihat begitu damai.
"Tampan," kata itu lolos dari bibir Nindi.
Nindi mengelengkan kepalanya dengan cepat, takut sang suami mendengar ucapannya. Bisa-bisa pria itu langsung besar kepala.
Bersambung....
Hilihhh ngk usah kaget bgtu lann.. kau kan udah sahh jadi bini Kevin.. ya bobok bareng lahh🤣
Dihh yg udah sahhh main sosorrr ajaa....
selamat buat Wulan bar .bar udah solt out tinggal Vera dan Rita
alhamdulilah selamat yahh nin n Tristan 🥰🥰
dan sekarang g tingal ijapp sahhh😂😂
Ayahh Vera sakit tohhh😳
bgtu baraninya ancaman SE enkk nyaa🙄