Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Kenapa?
Miss you.
And he left it at that.
I like it.
Hal-hal sepele seperti ini. Jujur kuakui, membaca pesan dari Ghani saat akan beristirahat membawa kenikmatan tersendiri di dalam hati. Namun, yaaa begitulah. Ada satu dan lain hal yang tidak bisa kuubah. Aku dan Ghani merupakan dua variabel yang menciptakan sebuah formula yang sangat ... rumit bila kami disandingkan dengan satu sama lain.
God, that thought was so depressing. And of course I did not want to deal with a stressful thing in my vacation. Right. Kualihkan perhatian dengan mulai menjawab segudang pertanyaan dari Mimi.
Me : Aku di penginapan
Me : adi jalan ke Air terjun bareng tim
Me : aku udah makan
Me : aku juga udah mandi
Me : ini mau istirahat
Me : aku aman kok, tenang aja
Me : titip salam buat keluarga di sana ya
Me : see you guys soon
Sebagian besar waktu dalam perjalanan menuju spot-spot yang sudah direncanakan bersama tim aku habiskan bersama kameraku. Yep, kamera. Sebelum perjalanan ini aku menyisihkan sedikit tabungan untuk membeli kamera yang lumayan—menurut penilaian Bang Rian untuk seorang novice sepertiku—demi mengabadikan momen-momen yang kupunya di sini. Aku sibuk membekukan kenangan, menangkap saat-saat yang tidak ingin kulupakan selain sibuk menikmati kesempatan yang entah kapan akan terulang kembali—mungkin tidak akan ada lagi kesempatan kedua mengingat syarat yang diajukan oleh Papa dan tentu saja sudah kusetujui. Kadang-kadang Bang Jek mengeluarkan komentar yang meledekku karena aku sering tenggelam dalam duniaku sendiri.
“Kakak sepertinya terlalu menikmati perjalanan ini, ya. Rasa-rasa kami ini tiada saja. Sudah terlalu bosan dengan dunia di luar sanakah, Kakak?”
Waktu itu kami sedang beristirahat dan makan di dekat telaga di tengah hutan. Anggota tim yang lain terkekeh, termasuk sepasang turis yang baru bergabung kemarin. Mereka seakan mengerti apa yang sedang dibicarakan. Aku hanya menjawabnya dengan mengedikkan bahu dan ikut tertawa.
Cukup enam hari untuk melakukan pelarian, pada hari ketujuh aku memutuskan untuk berangkat ke Jakarta sebelum keesokan harinya kembali ke Padang. Aku sudah memberitahu Wide bahwa aku akan menginap di rumahnya malam ini. Sembari menunggu panggilan untuk naik ke pesawat, aku mengirim pesan kepada Mama untuk mengabari bahwa aku akan sampai di rumah esok hari. Aku juga akhirnya mengirim pesan pertamaku kepada Ghani dalam satu minggu ini.
Me : Hang in there
Me : can’t wait to meet ya next week
Tanpa berpikir panjang, aku kemudian menyentuh tanda kirim.
Kuhirup napas dalam-dalam dan kuresapi udara dan suasana di Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin yang belum terlalu sibuk pagi ini. Kubiarkan sensasinya masuk hingga ke sumsum tulang agar bisa meremajakan semangat dan energiku lagi. Kuulangi hal itu beberapa kali sampai rasanya aku siap menghadapi kehidupan kembali, menghadapi hari-hari sibukku seperti sebelumnya dengan kepala yang tegak. Spirit yang ada di dalam diriku sepertinya sudah terisi penuh setelah perjalanan yang menakjubkan beberapa hari belakangan.
Alam memang selalu mengagumkan, bukan? Namun, setelah dipikir-pikir, sebenarnya Tuhan-lah yang tidak pernah mengecewakan.
Ah.
Masih ada kira-kira tiga puluh menit lagi sebelum jadwal keberangkatan, jadi aku memilih untuk membeli beberapa buku dan kemudian menuju ke gerai roti yang hampir selalu bisa ditemui di bandara-bandara Indonesia. Setelah membayar pesanan, aku kembali menuju kursi tempat dudukku tadi.
Namun, ingatkah kalian pada satu pepatah yang bilang kalau untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak? Entah ini untung atau malang, yang jelas, siapa sangka di depanku kini berdiri sosok itu. Sosok yang tidak pernah kusangka akan kutemui di tempat yang tidak terduga seperti ini. Dia yang berdiri di sana, hanya beberapa meter di depanku, tersenyum kaku ke arahku, matanya menuju mataku. Aku bergidik. Merinding. Bergeming. Terpaku.
Di luar.
Meskipun begitu, apa yang terjadi di dalam sini merupakan cerita yang lain lagi.
Detak jantungku mulai berpacu, malah gerakannya lebih lagi dari itu. Organ tersebut melompat-lompat, seperti hendak ke luar dari dalam kungkungan tulang rusuk ini. Kurasakan denyutnya di tenggorokan. Debarannya menggema di telinga. Darah serta-merta berdesir, suaranya memekak di tengah bandara yang tiba-tiba saja menjadi ... hening.
Alex.
Iya, Alex. Dia kini sedang berdiri beberapa meter di depanku. Tampilannya seperti biasa; kaus oblong, celana kargo pendek, sneakers senada, dan sebuah Aviator. Sebuah strap dari tas punggungnya tergantung di bahu kanan. Di dekat kakinya yang dibungkus oleh Dior Low-Top Sneaker Oblique Galaxy Deep Blue White itu berdiri sebuah koper hitam berukuran sedang.
Kenapa dia masih memakai sepatu yang dulu sekali pernah kupilihkan untuknya itu? Apakah ...? Apakah ...? Oh, shoot. No. I'm not going to think about it. I'm not going to think about anything Alex related. This is just crazy talking. This is the reaching me. I am reaching. I am reading to much.
I am hoping.
Oh, no. I cannot do that. Hoping, that is.
What’s on earth? From every place around the world, why is he here? Why now? Why? And just like that one scene in those movies you’ve watched, all I can do is standing stupidly like a statue in the middle of the airport. Holding my breath as I surprised to see him. I stare at him endlessly, still can’t believe what I see.
The other people are moving so fast, ignoring us.Oh, God. Save. Me. Save me from all of this torture before my heart slide down my chest and break on my feet. Again. Save me.
Please, save me.
Anyone.
Tiba-tiba sesuatu yang berada di dalam genggamanku terasa bergetar, menyadarkan aku akan keadaan sekitar. Di satu sisi yang lain juga menyadarkan aku akan hal lain; nada dering yang kusetel. Suara Charlie Puth dan Selena Gomez terdengar buruk saat ini. Lirik mereka terdengar sangat menyedihkan saat ini. Mereka seakan meledekku di depan batang hidung Alex.
We don’t talk anymore.
Like we used to do.
Like Alex and I used to do.
Oh, My!
Aku yakin Alex bisa mendengarnya dan instingku segera berkata, pick that phone up and run. RUN!
Aku langsung menyentuh tanda jawab dan tanganku mengangkat ponsel ke telinga. Suara Ghani terdengar di ujung sambungan. Ghani.
Oh, Ghani.
Akhirnya, setelah menyadari siapa yang ada di seberang sambungan, aku bisa mengalihkan pandangan dari wajah itu. Akhirnya aku bisa kembali bernapas dengan lebih teratur setelah mendengar suara selain teriakan-teriakan yang ada di dalam kepala dan dadaku. “Ghani? Halo?” Dan ... akhirnya aku bisa mengangkat kaki dan meninggalkan Alex di belakangku.
Kenapa, walaupun sudah selama ini, Alex masih saja ada?
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️