Tiba-tiba saja nenek menyuruhku menikah dengan pria kurang mapan. Aku adalah seorang wanita yang memiliki karier mapan!! Apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek memilih laki-laki dibawah standarku? Apa sebenarnya tujuan nenek?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 23 - Hati yang Bersabar
Rizal mendengarkan cerita istrinya dengan sabar, seperti seorang teman yang baik. Dia
memang harus bersikap seperti itu, agar istrinya mau membuka diri padanya.
Meskipun hal itu menyakitkan hatinya. Bagaimana tidak menyakitkan bila seorang
suami harus mendengarkan curhatan istriny mengenai pria lain??
“Trus bagaimana perasaan Adek pada dia?”
“Belum tau Mas. Kan masih baru kenalan. Jadi belum bisa menilai laki-laki itu baik
bagiku atau tidak.”
“Kenapa Adek tidak berusaha mengenal Mas juga?? Mungkin setelah mengenal Mas, Adek akan
berubah pikiran…”
“Berubah pikiran gimana Mas? Kita janji untuk berteman loh, tidak lebih dari itu!. Tia
menandaskan.
“Iya…Iya…”
“Jadi gak apa-apa dong bila Aku dekat sama dia Mas??” Tanya Tia. Rizal begitu bingung
menjawabnya. Dia sangat dilema. Di satu sisi dia ingin melarang keras wanitanya
itu untuk berhubungan dengan laki-laki mana pun dimuka bumi ini, tapi disisi
lain dia tidak memiliki cara lain untuk mendekati istrinya itu selain dengan
cara berteman. Biasanya seorang teman akan saling mensupport kan??
“Adek harus tahu batasan diri. Secara hukum dan agama Adek itu istri Mas. Adek harus
bisa jaga diri. Mungkin tidak banyak orang yang tahu pernikahan Kita, tapi
keluarga Kita dan tetangga-tetangga Nenek tahu semua. Adek harus bisa menjaga kepercayaan
Nenek dan Mas…”
“Ngomong-ngomong masalah kepercayaan, sampai sekarang Aku masih penasaran. Kok bisa nenek
menikahkan Aku sama Mas? Apa yang Mas lakuin sampai nenek menyetujui lamaran
Mas? Kenapa Mas mau menikahi Aku? Padahal sebelumnya Kita tidak saling kenal.”
“Mungkin Adek memang tidak kenal Mas, tapi Mas sudah memperhatikan Adek untuk beberapa
waktu yang lama…”
“Are you serious?? Are you kidding me??.” Tia memelotokan matanya. Jadi Rizal sudah
memantaunya sejak lama? Tapi itu tidak menjawab kenapa neneknya mau menerima
lamaran pria ini.
“Iya, Mas serius dan gak sedang becanda Dek…”
“Tapi itu gak menjawab pertanyaanku Mas, kenapa nenek setuju menikahkanku dengan
Mas?? Jangan-jangan Mas guna-guna ya?” Tia memicingkan matanya dengan curiga.
“Ya gak lah Dek. Mas masih punya iman, gak percaya yang begituan. Mungkin nenek salut
dengan kegigihannya Mas Dek…” Rizal mengerlingkan matanya dengan iseng.
“Ihh apaan sih. Serius neh nanyanya, jawabnya yang serius juga dong.”
“Beneran deh Mas gak tau kenapa nenek setuju dengan lamaran Mas. Mungkin karena nenek capek
nolak? Soalnya gak sekali dua kali Mas melamarmu Dek.”
“Seriusan??” Tanya Tia tak percaya. Rizal mengangguk serius.
“Kok bisa mutusin mau ngelamar Aku sih Mas?” Tanya Tia penasaran.
“Mungkin karena Adek cantik?? Pria mana yang gak kepengen jadi suamimu Dek.” Rizal
menjawab sembari mengerlingkan matanya, begitu menggoda. Andaikan dia bukan
seorang buruh, mungkin aku sudah jatuh cinta pikir Tia sedikit melamun.
“Jadi benaran Mas serius gak tau kenapa nenek terima lamaran Mas?”
“Iyap. Serius Mas gak tau.”
“Ya udah deh. Tanya ke nenek pun gak mungkin mau dijawab.” Tia menghela napas.
“Kembali ke topic tadi Mas, Aku boleh kan dekat sama pria itu?”
“Mau jawaban Mas sebagai suami apa sebagai teman?”
“Sebagai teman lah. Aku gak akan pernah menganggap Mas sebagai suami!!.”
“Baiklah,
silakan lakukan apa yang Adek mau. Tapi Adek harus bisa menjag diri. Menjaga
kehormatan. Menjaga kepercayaan nenek dan Mas…” Rizal menjawab dengan sangat
berat hati.
“Iya… Iya…” Tia tersenyum puas. Tidak perlu merasa bersalah lagi untuk membalas pesan
Alex, untuk menemui Alex. Karena sekarang ia sudah mendapat ijin.
Hari itu berlalu dengan cepat. Tia beres-beres rumah, mencuci bajunya (Rizal mencuci
bajunya sendiri), setrika dan lain-lain. Sedangkan Rizal membersihkan kamar
mandi, membersihkan halaman depan yang dipenuhi rumput, dan membenahi genteng
rumah yang bocor. Mereka berdua kompak melakukan pekerjaan rumah tangga
layaknya suami istri pada umumnya.
Hari Senin datang begitu cepat. Mereka kembali disibukkan dengan pekerjaan. Seperti
biasa Rizal mengantar istrinya ke kantor sebelum ke tempat kerjanya sendiri.
Tia tidak pernah menanyakan pekerjaan suaminya itu secara langsung, karena dia
takut akan menyinggung perasaannya. Jadi dia tidak tahu Rizal kerja dimana, dan
apa saja yang dilakukannya. Setau dia, Rizal hanyalah seorang buruh.
Jam makan siang, seperti biasa Rizal ke kantor istrinya. Dia membawakan makan
siang. Security rupanya sudah begitu menghapalnnya. Sebelum dia membuka mulut
untuk bertanya keberadaan Tia, pak security sudah berbicara.
“Bu Mutia nya lagi keluar Mas. Tadi ada yang jemput.”
“Hah?? Siapa yang jemput Pak?” Rizal kebakaran jenggot. Perasaan cemas dan khawatir
menghantuinya.
“Tadi ada mobil merah yang jemput Mas. Kurang tau ya siapa yang jemput.”
DEG
Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Siapa yang menjemput Tia. Mau dibawa kemana istrinya itu? Apakah Alex yang menjemputnya?
Dengan tangan gemetar Rizal mengeluarkan HP, dia segera menelpon istrinya. Beberapa deringan berlalu, namun tidak ada
jawaban. Rizal mulai panik.
“Please angkat dong sayang…” Suaranya mulai gemetar. Pak security melihatnya dengan
kasihan.
“Sepertinya Bu Mutia pergi makan siang aja deh Mas. Bentar lagi pasti pulang.” Pak Security
berusaha menenangkan.
“Beneran Pak??”
“Biasanya jam segini emang jam-jam makan siang Mas. Kalau pun pergi jam segini, pasti bentar lagi juga pulang Mas.” Rizal sedikit lega mendengar penjelasan pak security.
“Kalau begitu, Saya tunggu disini boleh ya Pak?”
“Tunggu didalam pos aja Mas. Tunggu disini panas.” Memang mereka berada di area
parkiran. Terik matahari begitu panas, akan sedikit menyiksa bila dia harus
menunggu diparkiran. Akhirnya Rizal mengikuti Pak Security ke pos penjagaan.
Sekitar dua puluh menit dia menunggu sebelum akhirnya dia melihat mobil jazz berwarna
merah itu.
“Itu mobil yang tadi jemput Bu Mutia Mas….” Belum selesai pak security berbicara,
Rizal sudah menghambur keluar. Dia berlari menuju mobil itu.
***