Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayap terakhir ku
Dunia di dalam kamar 302 menyusut menjadi seukuran kertas kuning itu. Waktu berhenti, suara monitor EKG yang monoton menjadi satu-satunya penanda bahwa kehidupan masih berjalan, meskipun napas Lila terasa tertahan di tenggorokannya. Keheningan yang membentang di antara mereka begitu pekat, begitu berat, hingga rasanya bisa pecah seperti kaca.
Tangan Lila gemetar hebat, membuat tulisan rapi Angkasa di atas kertas itu bergetar seperti fatamorgana. Satu jantung untuk dua kehidupan. Angkasa -> Gilang. Sayap terakhir untuk Lila. Tiga baris kalimat yang terasa seperti tiga bilah pisau yang menusuknya secara bersamaan.
“Apa ini?” bisik Lila, suaranya nyaris tak terdengar, serak oleh kengerian yang mulai merayap naik dari perutnya.
“Mas… ini apa?”
Angkasa tidak mencoba mengelak. Wajahnya yang pucat pasi memancarkan ketenangan yang mengerikan, ketenangan seorang martir yang telah menerima takdirnya. Ia berjalan pelan mendekati Lila, setiap langkahnya terasa seperti gema di dalam ruangan yang sunyi.
“Itu… rencana cadangan,” jawab Angkasa, suaranya datar, seolah sedang membahas jadwal minum obat.
“Rencana cadangan?” ulang Lila, nadanya naik satu oktaf, diwarnai histeria yang tertahan.
“Rencana cadangan untuk apa, Mas? Jangan bilang kalau…” Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Otaknya menolak, memberontak pada kesimpulan yang sudah jelas terpampang di depannya.
“Dokter Hendrawan sudah memberiku vonis, La,” kata Angkasa pelan, matanya menatap lurus ke mata Lila, memaksa wanita itu untuk menghadapi kebenaran.
“Aku cuma punya waktu beberapa bulan. Transplantasi sumsum tulang sudah bukan pilihan lagi. Tubuhku terlalu lemah.”
Setiap kata adalah hantaman palu godam. Kebohongan Angkasa di pagi sebelumnya tentang dokter yang menyuruhnya tetap semangat, kini terkuak, dan rasanya jauh lebih menyakitkan daripada vonis itu sendiri. Lila merasa dikhianati, bukan hanya oleh takdir, tetapi juga oleh pria yang ia cintai.
“Jadi… jadi kamu bohong?” desis Lila, air mata panas mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Kamu biarin aku bahagia seharian kemarin, kamu ajak aku ke pantai, kamu senyum seolah semua baik-baik aja… padahal kamu tahu? Kamu tahu kamu akan mati?”
“Aku nggak bisa, La,” jawab Angkasa, suaranya sedikit bergetar untuk pertama kalinya.
“Aku nggak bisa merusak hari itu. Aku nggak bisa merenggut harapan dari kamu dan Gilang, nggak setelah kalian baru aja dapat keajaiban.”
“Keajaiban?” Lila tertawa getir, tawa yang terdengar seperti tangisan. Ia meremas kertas kuning itu di tangannya.
“Dan ini apa? Ini keajaiban versimu? Menyerah begitu saja? Memberikan jantungmu ke adikku seolah itu cuma barang bekas yang nggak kamu butuhin lagi?”
Kemarahannya meledak. Ia melangkah maju, mendorong dada Angkasa dengan kedua tangannya, meski tenaganya tak seberapa.
“Kamu mau apa? Hah? Kamu pikir dengan begini kamu jadi pahlawan?”
Angkasa hanya diam, menerima dorongan itu tanpa bergeming.
“Ini bukan kepahlawanan, Mas! Ini egois!” teriak Lila, suaranya pecah. Air mata kini mengalir deras di pipinya.
“Ini cara pengecut buat lari dari perjuangan! Kamu nggak mau berjuang lagi, jadi kamu milih jalan keluar yang paling gampang, yang kelihatannya mulia! Kamu nggak mikirin aku! Kamu nggak mikirin gimana rasanya aku harus hidup dengan jantungmu yang berdetak di dada adikku setiap hari?”
“Justru karena aku mikirin kamu, La!” balas Angkasa, suaranya meninggi, sarat akan keputusasaan yang selama ini ia pendam.
“Coba kamu lihat kita! Lihat ruangan ini! Aku sekarat, Gilang sekarat. Kita berdua cuma nunggu waktu. Aku punya jantung yang sehat di dalam tubuh yang hancur. Gilang punya tubuh yang masih bisa berjuang, tapi dengan jantung yang rusak. Apa itu nggak kelihatan logis buat kamu? Ini bukan menyerah. Ini… ini realokasi sumber daya yang paling masuk akal.”
“Masuk akal?” Lila menggelengkan kepalanya dengan kuat, seolah mencoba mengusir logika kejam itu dari benaknya.
“Nggak ada yang masuk akal dari ini semua! Kita seharusnya berjuang bareng! Kamu janji! Kita berdua berjuang, kamu buat sumsum, Gilang buat jantung! Itu janji kamu!”
“Dan aku sudah gagal, La! Pabrik darahku sudah rusak total!” sergah Angkasa.
“Aku nggak punya apa-apa lagi buat diperjuangkan untuk diriku sendiri. Tapi aku bisa berjuang untuk Gilang. Untuk kamu. Aku mau salah satu dari kita menang. Aku mau kamu punya sesuatu yang utuh setelah semua ini selesai. Kalau itu bukan aku… biarkan itu Gilang.”
Lila terisak, seluruh tenaganya seakan terkuras habis. Ia merosot ke lantai, memeluk lututnya sendiri, tangisnya kini tak bersuara, hanya guncangan hebat di bahunya yang menceritakan segalanya. Kertas kuning yang sudah lecek itu terlepas dari genggamannya, tergeletak di lantai seperti bendera putih.
Angkasa berjongkok di hadapannya, tangannya terulur ragu, ingin menyentuh bahu Lila tetapi takut akan penolakan.
“Aku mohon… jangan,” isak Lila, suaranya teredam oleh lututnya.
“Jangan tinggalin aku kayak gini, Mas. Aku nggak peduli waktumu sisa berapa lama. Sehari, sejam… aku mau waktu itu sama kamu. Bukan sama jantungmu.”
Permohonan itu adalah belati yang membelah hati Angkasa. Inilah bagian tersulit, bagian yang tidak ia perhitungkan dalam logika dinginnya. Rasa sakit yang akan ia tinggalkan untuk Lila.
“Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, La,” bisiknya lembut, suaranya serak menahan emosinya sendiri. Ia akhirnya memberanikan diri menyentuh punggung Lila yang bergetar.
“Setiap kali kamu lihat Gilang tersenyum, setiap kali kamu lihat dia lari, setiap kali kamu dengar dia ketawa lepas tanpa sesak napas… aku akan ada di sana.”
Lila mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Matanya merah dan bengkak, menatap Angkasa dengan campuran cinta dan kebencian yang menyayat hati.
“Aku nggak mau kamu di sana,” desisnya.
“Aku mau kamu di sini! Di sampingku!” teriak Lila egois, ya kali ini dia ingin egois. Dia ingin Angkasa.
“Dan aku juga mau itu,” sahut Angkasa, setetes air mata akhirnya lolos dari pertahanannya.
“Lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi kita nggak bisa selalu dapat apa yang kita mau, kan? Ayahku dulu bilang, sayap itu bukan cuma buat terbang. Tapi juga buat melindungi orang yang kita sayang.”
Ia mengusap air mata di pipi Lila dengan punggung jarinya yang dingin.
“Tubuhku ini… sayapku ini… sudah patah, La. Sudah nggak bisa membawaku terbang lagi. Tapi kalau serpihannya yang paling kuat bisa melindungi adikmu, bisa membuatmu tetap punya keluarga… kenapa nggak?”
Lila menatapnya, napasnya tersengal di antara isak tangis. Logika Angkasa yang dingin dan puitis itu perlahan-lahan meruntuhkan dinding amarahnya, menyisakan lubang menganga berisi kepedihan murni. Ia melihat ketulusan di mata pria itu, sebuah keputusan yang lahir bukan dari keputusasaan, melainkan dari cinta yang begitu besar hingga melampaui keinginan untuk hidup.
“Ini sayap terakhirku, La,” lanjut Angkasa, suaranya kini hanya bisikan.
“Sayap terakhir untukmu.”