Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Kenapa Jadi Kurir
Nokiami tidak menjawab. Dia terdiam keheranan menyadari pria di hadapannya seolah cenayang yang tahu apa yang sudah terjadi padanya.
Reygan tidak melepaskan tangan gadis itu. Sebaliknya, ibu jarinya berhenti menelusuri tepi luka di tangan Nokiami. Sentuhannya yang tadi terasa lembut kini terasa menahan Nokiami di tempat, memaksanya untuk tidak berpaling. Mata gelap pria itu tidak lagi hanya menatap, tetapi seolah membedah, mencari konfirmasi atas kebenaran brutal yang baru saja ia ucapkan.
“Bajingan,” desis Reygan, suaranya rendah dan serak, sebuah getaran amarah yang terkendali.
Nokiami menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Itu … sudah lama,” bisiknya, seolah mencoba meremehkan kenangan tajam dari serpihan pagar yang merobek kulitnya malam itu.
“Lama atau baru, sama saja,” balas Reygan, tatapannya masih terkunci pada goresan di tangan Nokiami. “Orang sepertinya tidak berubah.”
Keintiman yang aneh ini membuat Nokiami gelisah. Kelembutan yang tidak terduga, kemarahan yang bukan untuknya, dan pemahaman diam-diam yang baru saja terbentuk di antara mereka terasa seperti tanah baru yang rapuh. Ia merasa aman, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Dan rasa aman itu memberinya sebersit keberanian.
“Reygan,” panggil Nokiami pelan, suaranya sedikit bergetar.
“Hm?” Ia akhirnya mengangkat kepala, matanya bertemu dengan mata Nokiami. Intensitas di sana membuat Nokiami hampir kehilangan kata-kata.
“Aku … boleh tanya sesuatu?” tanyanya ragu.
Reygan mengangkat sebelah alisnya, topeng sinisnya kembali terpasang, meskipun tidak serapat biasanya. “Tergantung pertanyaannya. Kalau kau mau tanya kenapa aku benci kopi dengan sirup, jawabannya karena itu penistaan.”
Nokiami tersenyum tipis, sebuah senyum gugup. “Bukan itu.” Ia menarik napas dalam-dalam. “Ini tentangmu.”
Kewaspadaan langsung terpancar di wajah Reygan. Ia perlahan melepaskan tangan Nokiami, dan udara di antara mereka seketika terasa lebih dingin. Kehangatan telapak tangannya yang kasar langsung dirindukan Nokiami.
“Tentangku?” ulangnya, nadanya datar.
“Aku ….” Nokiami kembali ragu sejenak, tahu bahwa ia akan melintasi sebuah batas. “Aku sempat cari tahu tentangmu.”
Reygan tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapnya, menunggu.
“Sedikit,” tambah Nokiami cepat-cepat, merasa seperti seorang terdakwa. “Di internet. Waktu itu aku penasaran dan aku melihat profil media sosial lamamu. Yang sudah lama tidak aktif.”
“Jadi penguntit sekarang, selain jadi pelanggan yang menyebalkan?” cibir Reygan, tetapi tidak ada gigitan yang biasa dalam kata-katanya. Lebih seperti refleks.
“Bukan begitu!” sanggah Nokiami. “Aku cuma … aku melihatnya. Kamu … dulu kamu mahasiswa berprestasi. Peringkat teratas di fakultas bisnismu. Ada fotomu menerima penghargaan dekan.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Reygan membuang muka, tatapannya tertuju pada jendela apartemen yang menampilkan pemandangan dinding bata gedung seberang. Otot rahangnya menegang. Ia seperti kura-kura yang merasakan bahaya dan langsung menarik kepalanya ke dalam cangkang.
“Lalu?” tanyanya, suaranya dingin.
Nokiami menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.
“Aku cuma tidak mengerti,” lanjutnya, suaranya kini lebih pelan, lebih tulus. “Seseorang yang sepintar itu, dengan masa depan yang begitu cerah, kenapa … kenapa kamu jadi kurir?”
Pertanyaan itu mendarat di tengah ruangan seperti granat.
Perubahan pada diri Reygan begitu cepat dan total, seolah seseorang baru saja mematikan sebuah saklar. Kelembutan yang tadi ia tunjukkan, amarah yang ia perlihatkan atas nama Nokiami, semua itu lenyap tak bersisa. Yang tersisa hanyalah es.
Ia berdiri dari sofa, gerakannya kaku dan tiba-tiba. Jarak yang ia ciptakan di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam.
“Itu bukan urusanmu,” katanya, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang dingin dan tajam.
“Bukan begitu maksudku,” kata Nokiami, ikut berdiri, merasa panik karena telah menghancurkan momen rapuh di antara mereka. “Aku cuma … penasaran. Aku ingin mengerti.”
“Mengerti apa?” Reygan berbalik menghadapnya, matanya menyala dengan kemarahan yang dingin. Ini bukan amarah yang meledak-ledak seperti yang pernah Nokiami lihat sebelumnya. Ini lebih buruk. Ini adalah kemarahan yang terkunci rapat, kemarahan yang membekukan. “Apa hakmu mengorek-ngorek masa laluku? Apa kau pikir karena aku mengantarkan makananmu dan membersihkan lukamu, kau jadi punya akses ke seluruh hidupku?”
Kata-katanya menusuk, dan Nokiami meringis.
“Bukan! Reygan, dengar dulu—”
“Dengar apa?” potong Reygan.
“Kau pikir kita ini apa, Nokia? Teman? Kau adalah pelanggan. Masalah. Sebuah gangguan dalam rutinitasku yang sudah cukup rumit. Jangan pernah berpikir lebih dari itu.”
“Tapi kamu membantuku!” seru Nokiami, suaranya meninggi, campuran antara rasa sakit dan frustrasi. “Kamu menciumku di lobi untuk melindungiku! Kamu membersihkan lukaku! Itu bukan tindakan seorang kurir pada pelanggannya!”
“Itu namanya pengendalian kerusakan!” bentak Reygan. “Aku melakukannya karena masalahmu sudah tumpah ke dalam hidupku! Aku tidak mau berurusan dengan tunangan psikopatmu atau polisi yang mungkin akan dipanggil ayahmu! Semua yang kulakukan adalah untuk kepentinganku sendiri, mengerti? Agar aku bisa kembali bekerja dengan tenang!”
Setiap kata terasa seperti tamparan. Nokiami menatapnya tak percaya. Di balik semua benteng sarkasme dan sikap kasarnya, ia mulai berpikir ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang tulus. Tapi sekarang, Reygan merobohkan semua harapan itu dengan tangannya sendiri.
“Jadi semua itu bohong?” bisik Nokiami, hatinya terasa perih. “Semua kepura-puraan itu ... hanya untuk kepentinganmu sendiri?”
“Apa lagi yang kau harapkan?” Reygan tertawa, sebuah tawa pahit yang menusuk.
“Kau hidup di dunia dongeng, ya? Di mana kurir pengantar makanan jatuh cinta pada putri yang terkunci di menara apartemen? Selamat datang di dunia nyata, Tuan Putri. Di sini, orang bekerja untuk bertahan hidup, bukan untuk mencari drama romantis.”
Ia menyambar jaket hijaunya yang tergeletak di sandaran kursi.
“Aku tidak memintamu untuk jatuh cinta padaku,” balas Nokiami, suaranya bergetar karena amarah yang kini mulai bangkit.
“Aku hanya bertanya! Sebuah pertanyaan sederhana! Kenapa kau begitu marah hanya karena aku ingin tahu sedikit tentangmu? Setelah semua yang kita lalui, apa itu terlalu berlebihan?”
“Ya, itu terlalu berlebihan!” Reygan kini berdiri di ambang pintu, tangannya sudah di gagang. Ia menatap Nokiami lekat-lekat, tatapannya begitu tajam seolah ingin menguliti Nokia hidup-hidup. “Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku. Tentang apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan setiap rupiah dari pekerjaan ini. Kau duduk di sini, di apartemen nyaman ini, memesan makanan mahal, dan mengeluh tentang tunangan kayamu, seolah itu masalah terbesar di dunia.”
“Itu memang masalah terbesarku!”
“Bagus untukmu,” sahut Reygan sinis. “Tapi aku punya masalah yang lebih nyata.”
Ia berhenti, keheningan yang tegang menggantung di antara mereka. Nokiami menahan napas, menunggu pukulan terakhir.
Reygan menatapnya sekali lagi, dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah sedang menilai semua hal tentangnya yang ia benci. Wajahnya mengeras menjadi topeng tanpa emosi.
“Kau mau tahu kenapa aku melakukan ini?” tanyanya, suaranya turun menjadi bisikan yang dingin dan mematikan. “Aku butuh uang tunai, bukan gelar. Dan aku tidak punya waktu untuk drama orang kaya.”