Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Pesan Selir Agung
“Bunuh diri,” bisik Bi Lan lagi, seolah mengucapkan kata itu akan membuatnya terbakar. “Mereka bilang dia meninggalkan surat yang isinya mengaku telah mencuri perhiasan dari kamar Selir Agung karena terlilit utang judi. Katanya dia malu, makanya…”
Napas Swan terasa seperti serpihan es di paru-parunya. “Utang judi?” Suaranya datar, tanpa emosi, sebuah kekosongan yang mengerikan. “Xiao Ju bahkan gak tahu cara menghitung dadu. Dia memberiku seluruh simpanan uangnya hanya untuk sepotong jepit rambut giok.”
“Tentu saja itu bohong, Nona!” isak Bi Lan. “Semua orang tahu itu bohong! Tapi tidak ada yang berani bilang apa-apa! Selir Agung… dia yang melakukannya! Dia membunuh gadis malang itu untuk menutupi jejaknya!”
Kuas di tangan Swan akhirnya terlepas dari jemarinya yang kaku. Benda itu jatuh tanpa suara di atas meja, meninggalkan goresan hitam panjang di atas kertas nasi, seperti luka yang menganga. “Bukan.”
“Nona?” Bi Lan menatapnya bingung.
“Dia tidak membunuh Xiao Ju untuk menutupi jejaknya,” kata Swan pelan, matanya menatap kosong pada noda tinta itu. “Dia membunuhnya… untukku.”
“Untuk Anda?” Bi Lan mundur selangkah, kengerian terpancar di wajahnya.
“Ini pesan.” Swan akhirnya mengangkat kepalanya, dan mata yang menatap Bi Lan bukanlah mata majikannya yang biasa. Mata itu dingin, mati, dan dipenuhi oleh sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap daripada kebencian. Itu adalah jurang kepastian. “Pesannya sangat jelas. ‘Aku tahu apa yang kau lakukan. Dan aku bisa menjangkau siapa saja yang dekat denganmu’.”
“Ya Tuhan…” Bi Lan merosot ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. “Kalau begitu… kita… kita berikutnya, Nona!”
“Berdirilah, Bi Lan,” perintah Swan, suaranya setajam baja. Tidak ada kepanikan, tidak ada rasa takut. Hanya ada keheningan yang mematikan. “Menangis tidak akan membantu apa-apa sekarang.”
“Tapi, Nona, kita harus gimana?” rintihnya. “Kita harus lari! Kita harus minta perlindungan dari Guru Besar Wen!”
“Lari ke mana?” Swan tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor. “Ini Istana Naga. Tidak ada tempat untuk lari.” Dia berdiri, berjalan ke arah jendela, dan menatap ke arah Paviliun Anggrek Emas yang tampak damai di bawah sinar matahari sore. “Aku yang memulai ini. Aku menyeret gadis itu ke dalam permainanku. Aku yang menjadikannya pion.” Dia berbalik, menatap lurus pada Bi Lan. “Dan pion yang mati harus dibalaskan.”
“Dibalaskan?” ulang Bi Lan ngeri. “Nona, jangan berpikir untuk…”
“Aku tidak berpikir, Bi Lan,” potong Swan. “Aku sudah memutuskan. Malam ini… aku akan mengunjungi Selir Agung.”
“Jangan, Nona! Kumohon jangan!” Bi Lan beringsut di lantai, mencoba memeluk kaki Swan. “Dia akan membunuh Anda! Dia hanya menunggu alasan untuk melakukannya!”
“Dia tidak butuh alasan.” Swan melangkah menghindar. “Tapi aku butuh jawaban. Aku ingin melihat matanya saat aku menanyakannya. Aku ingin melihat kebohongan itu dari dekat.”
Malam itu datang dengan keheningan yang mencekik. Swan tidak mempersiapkan pakaian hitam atau belati. Ia hanya duduk di depan meja tehnya yang dingin, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih pucat. Ia tampak seperti hantu yang sedang menunggu fajar. Bi Lan telah menangis hingga tertidur di kamarnya, meninggalkan Swan sendirian dengan pikirannya.
Bunyi *klik* yang sangat pelan dari jendela di belakangnya nyaris tidak terdengar. Swan tidak menoleh. Ia sudah menunggunya.
“Kau dengar beritanya?”
Suara rendah dan dingin itu memecah keheningan, datang dari bayang-bayang di dekat lemari. Pangeran San Long melangkah keluar, wajahnya lebih keras dari batu pualam di bawah cahaya bulan yang tipis.
“Aku mendengarnya,” jawab Swan tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada cangkir teh kosong di hadapannya.
“Aku sudah memperingatkanmu,” kata San Long, nadanya tajam dan tanpa simpati. “Aku bilang kau sembrono. Aku bilang kau akan membuat dirimu terbunuh.”
“Kau salah.” Swan akhirnya menoleh, menatap lurus padanya. Tidak ada air mata di matanya. Hanya kekosongan yang membakar. “Bukan aku yang terbunuh. Seorang gadis yang tidak bersalah. Dan itu… karena aku.”
San Long terdiam sesaat, tampak sedikit terkejut dengan pengakuan yang blak-blakan itu. “Jadi, kau akhirnya sadar, ya? Bahwa ini bukan permainan catur di atas papan?”
“Aku tahu ini bukan permainan sejak umurku sepuluh tahun,” balas Swan getir. “Aku hanya lupa… bahwa pion dalam permainan ini terbuat dari daging dan darah.”
“Kau puas sekarang?” tanyanya dingin. “Kau sudah mengusik sarang ular, dan ular itu menggigit. Apa rencanamu selanjutnya? Menangis di pojokan sampai mereka datang untukmu juga?”
“Aku tidak akan menangis,” sahut Swan. “Dan aku tidak akan menunggu.”
San Long melangkah lebih dekat, matanya menyipit. “Apa maksudmu?”
“Aku akan menemuinya.”
“Jangan bodoh,” desis San Long. “Kau mau bunuh diri?”
“Mungkin,” jawab Swan acuh tak acuh. “Setidaknya aku mati karena keputusanku sendiri, bukan karena menunggu seperti domba yang siap disembelih.”
“Kau pikir hanya itu pilihannya?” bentaknya, suaranya kini sedikit meninggi karena frustrasi. “Mati sekarang atau mati nanti? Tidak ada pilihan ketiga, di mana kau menggunakan otakmu dan tetap hidup?”
“Otakku yang membunuh Xiao Ju!” sentak Swan, untuk pertama kalinya emosinya pecah. “Kelicikanku! Kesombonganku!” Ia berdiri, menatap San Long dengan tatapan menantang. “Jadi, jangan ceramahi aku soal tetap hidup, Pangeran. Anda tidak tahu apa-apa.”
“Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira,” balasnya, suaranya kembali rendah dan intens. “Aku tahu ini bukan bunuh diri. Aku tahu itu pembunuhan yang rapi. Dan aku tahu itu bukan sekadar untuk menutupi jejak.”
“Lalu untuk apa?” desak Swan.
“Untuk mengirim pesan.” San Long menatapnya tajam. “Pesan yang sama yang kucoba sampaikan padamu sejak hari pertama. Mundur. Berhenti. Atau kau berikutnya.”
“Kalau begitu pesannya sudah sampai,” kata Swan. “Dan jawabanku adalah tidak.”
Mereka berdiri berhadapan, keheningan yang tegang kembali mengisi ruangan. Di luar, angin malam menderu pelan.
“Kau benar-benar keras kepala,” gumam San Long, lebih pada dirinya sendiri. Ada nada kekaguman yang enggan dalam suaranya. “Persis seperti Ibumu.”
Napas Swan tercekat. “Anda… Anda kenal Ibuku?”
San Long tampak menyesal telah mengatakannya. Ia membuang muka. “Hanya pernah dengar cerita.”
“Cerita apa?”
San Long menghela napas, sebuah suara lelah yang seolah membawa beban seluruh dunia. Ia berjalan ke arah jendela, memunggungi Swan. “Kau pikir Selir Agung melakukan ini semua hanya karena kau?”
“Lalu karena apa lagi?” tanya Swan bingung.
“Karena dia sedang latihan,” jawab San Long pelan, suaranya terdengar hampa. “Dia sedang mempraktikkan kembali sebuah metode lama.”
“Metode apa?” desak Swan, firasat buruk mulai merayap di kulitnya.
San Long berbalik perlahan. Di bawah cahaya bulan yang pucat, wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini dipenuhi oleh kesedihan yang begitu dalam dan kuno, kesedihan yang sama yang pernah Swan lihat di mata Prajurit Bayangan di luar gua bertahun-tahun yang lalu. Tatapannya menembus Swan, melihat hantu yang hanya bisa ia lihat sendiri.
“Metode yang pernah berhasil,” bisiknya, setiap kata terasa seperti serpihan kaca. “Metode yang sama… yang dia gunakan untuk menyingkirkan Ibundaku.”
trmkash thor good job👍❤