Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bianca Pingsan
Setelah kemarin Kaivan menjalani pemeriksaan pada bagian matanya, hari ini, Kaivan akan melangsungkan transplantasi kornea mata, dan itu mungkin akan berlangsung lama, Bianca bahkan sudah berkeringat dingin ketika Kaivan sudah di bawa ke dalam ruang operasi, jantungnya berdetak begitu cepat, pandangannya tidak fokus, ia mereka tangannya, rasanya sangat campur aduk, senang, sedih, khawatir, dan juga takut, semuanya bercampur menjadi satu.
Bianca berusaha menetralkan napasnya, karena selain jantungnya yang berdetak sangat cepat, ternyata pernapasannya juga sedikit terganggu, ia seperi habis lari maraton.
Bianca sendiri tidak paham apa yang terjadi dengan dirinya, ia tidak pernah mengalami hal seperti ini, cemas berlebihan sehingga membuat tubuhnya bereaksi terhadap rangsangan dari pikirannya.
Bianca berkali-kali mencoba bernapas dengan benar, mencoba menetralkan detak jantungnya,sampai akhirnya Bianca bisa bernapas secara normal juga detak jantungnya yang berangsur normal.
Bianca menghela napas lega, ia jadi heran dengan dirinya yang bisa cemas terlalu berlebihan, bahkan tubuhnya sangat responsif terhadap rangsangan dari otaknya.
Kali ini, Bianca bisa merasakan tenang, karena sejak tadi Nancy sibuk mengurusi pekerjaannya di kantor yang sudah menumpuk, ia bahkan pamit lebih dulu untuk ke kantor dan menyelesaikan masalah yang terjadi di sana, Nancy tidak mengatakan masalah yang telah terjadi di kantor, ia hanya mengatakan akan kembali secepatnya setelah masalah di kantor selesai.
Bianca bahkan berdoa agar masalah yang Nancy hadapi tidak kunjung selesai, katakanlah ia jahat karena berdoa yang tidak baik, tapi jujur saja, Bianca akan lebih senang jika Nancy tidak selalu mengikuti dirinya dan Kaivan.
Bahkan mengedarkan pandangannya ke sekitar lorong rumah sakit, banyak orang yang berlaku lalang, entah itu seorang perawat yang mondar mandir membawa alat-alat rumah sakit, entah itu suster yang sedang mendorong seorang pasien yang duduk di kursi roda, atau bahkan seorang dokter yang berjalan dengan langkah buru-buru seperti ada hal darurat yang harus segera ia tangani.
Bianca juga memperhatikan orang-orang yang mungkin keluarga dari pasien yang berada di rumah sakit sibuk membawakan buah tangan di kedua tangan mereka, bahkan Bianca juga dapat melihat mimik wajah mereka yang terlihat kosong, tidak ada raut bahagia ataupun senang dalam wajahnya, hanya datar juga kosong.
tiba-tiba saja bau menyengat masuk ke dalam indra penciuman Bianca. Bau amis. Bianca menoleh, dan berapa terkejutnya ia ketika melihat ada seorang pria bertubuh gemuk sedang di dorong di atas brankar rumah sakit, wajah pria itu di penuhi darah yang warnanya sangat pekat, belum lagi suara rintihannya yang mengatakan 'sakit' terus menerus, Bianca mencoba memfokuskan lagi pandangannya agar ia bisa tahu bagian wajah mana yang membuat pria itu mengeluarkan darah banyak, tapi Bianca langsung menyesali sifat dirinya yang penasaran, karena sekarang ia menjadi mual, bagaimana tidak, Bianca melihat dengan jelas ketika pria yang di dorong oleh banyak orang itu dan melewati dirinya, darah itu ternyata masih terus keluar dari tempat yang terluka, dan itu berasal dari kedua mata pria itu.
Tubuh Bianca tiba-tiba saja bergetar, ia takut, ia menyesal telah melihat pria yang matanya masih mengeluarkan darah banyak, air matanya turun, ia ingin mengusapnya agar tidak dilihat oleh orang-orang, tapi tidak bisa, tangannya bergetar hebat sehingga tidak bisa Bianca gerakkan.
Bianca terisak, otaknya tiba-tiba teringat dengan Kaivan, apakah Kauvan dulu juga seperti itu ketika ia kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan kedua penglihatannya? Dengan darah yang terus keluar dari matanya? Atau lebih parah dari pria yang ia lihat tadi?
Bianca tidak bisa berpikir jernih lagi, ia hanya diam sambil terisak, ia tidak tau jika kecelakaan dan luka di area mata akan semenyeramkan itu.
Lagi-lagi dadanya seperti ada yang menekannya kuat, sakit, sangat sakit, perasaan bersalah itu kembali muncul dalam pikirannya, semua kata-kata kasar yang pernah ia lontarkan kepada Kaivan, kembali memenuhi kepalanya.
"Ada apa ini?" lirih Bianca dengan tangan yang menekan kuat dadanya. Sungguh rasa bersalah itu terus saja menekan kuat dadanya.
"Maaf," lirih Bianca sebelum akhirnya dirinya kehilangan kesadaran.
***
Bianca mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya, Bianca bingung, karena dirinya berada di ruangan seba putih dan juga bau obat yang menyengat.
"Bianca,"
Bianca menoleh dan mendapati mama dan papanya berjalan menghampiri dirinya. Tunggu? Ada di mana dirinya? Kenapa ada mama dan papanya?
Bianca mencoba mengingat-ngingat kenapa kedua orang tuanya bisa berada di dalam ruangan yang sama dengannya, tapi sekeras apapun Bianca mencoba mengingat, ia tak kunjung mendapatkan jawabannya.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Bianca ketika mamanya mengusap baju dirinya.
"Harusnya mama yang tanya kayak gitu sama kamu, Kenapa ada di rumah sakit, udah gitu kamu pingsan lagi?" ujar mamanya membuat Bianca semakin bingung dengan keadaannya.
Pingsan? Sejak kapan ia pingsan? Tidak mungkin dirinya kehilangan ingatan hanya karena pingsan?
"Maksud mama apa? Aku pingsan?" tanya Bianca.
Mina mengangguk, "seorang suster menelpon mama menggunakan ponselmu, dia bilang kamu pingsan di lorong dekat ruang operasi," cerita mamanya.
Rumah sakit? Ruang operasi? Sepertinya ingatan Bianca kembali, ia langsung bangun sehingga jarum infus yang masih menancap di kulit nya terlepas begitu saja dan mengeluarkan darah.
"Ya ampun Bianca, ada apa?" tanya Davion terkejut dengan gerakkan tiba-tiba dari putrinya.
"Antarkan aku ke lorong itu, ma, ma!" pinta Bianca menatap melas kedua orang tuanya.
"Ada apa?" tanya papanya yang kebingungan dengan tingkah putrinya.
"Kaivan sedang transplantasi kornea mata, dan aku harus menunggunya di sana, aku gak mau ketika nanti Kaivan selesai dia tidak menemukan aku," ucap Bianca.
"Apa maksudmu, Bianca? Kaivan? Operasi? Mama tidak salah dengar, kan?" tanya Mina terkejut karena tiba-tiba saja Bianca terlihat begitu khawatir dengan keadaan Kaivan, padahal Mina tau, jika putrinya tidak pernah menyukai pernikahannya dengan pria buta itu.
"Tolong jangan bertanya dulu, bawa saja aku ke sana!" teriak Bianca sedikit kesal karena mama dan papanya malah bertanya hal-hal yang menurutnya sangat tidak penting dan buang-buang waktu.
Davion mengangguk, lalu ia membantu Bianca untuk turun dari atas brangkar dan membantunya berdiri, beberapa tetes darah mengotori pakaian yang sedang ia kenakan.
"Mama panggil dokter dulu ya, lihat tangan kamu mengeluarkan darah!" tunjuk mamanya ke arah punggung tangan Bianca yang masih mengeluarkan darah.
Bianca hendak menolaknya, tapi ucapan mamanya mampu membuat Bianca mengangguk pasrah dan kembali duduk di atas brangkar.
"Obatin dulu, setelah itu mama antar kemanapun kamu mau,"