Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Al Cemburu
“Mas, kalau nanti Mas punya anak. Mas mau berapa?” Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari gadis cantik di sampingku.
Anak? Bikin aja belum kok udah ngomongin anak. Aya-aya wae!
Bukannya aku gak tergoda dengan tubuh gadis di sampingku. Aku laki-laki normal yang gak menolak lekuk tubuh Delina. Hanya saja aku gak ingin merusak masa depannya. Dia masih tujuh belas tahun, perjalanannya masih panjang. Dan aku gak mau dia merasa terbebani jika mengandung anakku. Aku ingin dia menikmati masa remajanya dengan puas.
Aku menoleh. Menatap wajah cantik yang masih setia menatap langit penuh bintang di atas sana.
“Kenapa nanya gitu?” Aku balik bertanya.
“Pengen tau aja. Jadi, berapa?” Dia menoleh dengan wajah penasaran.
“Dua belas,” sahutku santai sambil kembali menatap langit.
Malam ini sangat sempurna. Berkat rengekan gadis itu, aku duduk berdua bersamanya di bawah pohon mangga depan rumah. Menatap indahnya bintang yang bertabur di atas sana. Melihat bulan yang iri pada kami berdua.
Romantis sih, tapi banyak nyamuk! Mana udaranya dingin banget. Paling enak sambil peluk istri emang!
Mata berhias bulu mata lentik itu mendelik. “Banyak amat dua belas, mau bikin grub sepak bola apa gimana?” tanyanya setengah protes.
“Saya mau bikin keduabelasan gen gledek. Buat ngalahin gen petir itu.”
Sudah waktunya gen petir tergantikan oleh selusin anak-anakku yang lucu-lucu. Menciptakan klan baru in the world, keduabelasan gen gledek.
“Aku maunya dua aja. Cowok semua.”
“Kenapa cowok semua? Biasanya perempuan itu paling suka anak cewek.”
“Kalau cewek nanti caper sama Mas Al, aku gak suka. Biar aku yang jadi satu-satunya ratu di rumah ini,” ucapnya seraya tersenyum manis.
Aku menyentil pelan keningnya. Dasar perempuan! Di mana-mana selalu pengen menang sendiri.
“Mas,” panggilnya.
“Hmm."
Delina menggeser duduknya lebih dekat. Harum shamponya tercium saat ia merebahkan kepalanya di pundakku. Aku mengelus rambut halusnya yang terurai. Sesekali mencium pucuk kepalanya. Wangi banget, aku suka.
“Mas, apa kita bisa terus kayak gini? Duduk berdua menatap indahnya langit malam sambil ngomongin masa depan.”
Aku juga bertanya, apa bisa kita terus seperti ini? Seandainya aku bisa menggambar masa depan pasti akan kulukis gambar terindah yang hanya ada kita berdua. Diwarnai oleh pelangi tanpa hujan ataupun badai yang menyesakkan. Tapi, kembali lagi itu semua hanya dalam kata seandainya.
Tapi, tetap saja aku menjanjikan sesuatu yang semu. Janji yang bahkan aku gak tahu apa aku bisa menepatinya. Janji yang mungkin menjadi luka terdalam untuk hatinya.
“Kita akan terus kayak gini dalam tiga waktu. Esok, lusa dan selamanya.”
Delina menegakkan kepalanya. Manik hazelnya menatapku. Binar cinta penuh harap terlihat di sana.
“Janji?” Ia mengangkat kelingkingnya.
Tanpa ragu aku ikut mengangkat kelingkingku dan menautkannya dengan kelingkingnya. Dia tersenyum lantas masuk ke dalam pelukku.
Masa depan emang gak ada yang tahu. Tapi, berharap masa depan yang indah bukan hal yang salah, bukan?
.
“Kamu kenapa, Del?” tanyaku lantaran sejak tadi gadis itu terus bergerak di atas ranjang.
Miring ke sana miring ke sini sampai tengkurap pun dia masih gak mau diam. Membuat ranjang berderit terus-menerus.
Selimut yang membungkus tubuhnya ia tendang dengan kesal. “Gak bisa tidur,” keluhnya.
Aku merentangkan tanganku, “Sini,” ucapku menepuk-nepuk pelan dadaku.
Delina mendekat kemudian merebahkan kepalanya di atas dadaku sebelah kanan. Tangannya melingkari pinggangku, aku pun memeluknya erat. Mengecup singkat pucuk kepanya sambil mengusap pelan punggungnya.
Sepasang mata itu perlahan menutup disusul dengan dengkuran napasnya yang mulai teratur. Aku mengamati wajah tenang dan damai itu. Sangat cantik. Kenapa aku gak sadar selama ini jika Adelina memiliki garis wajah yang nyaris sempurna?
Posisi itu bertahan sampai pagi tiba. Bangun-bangun tanganku gak bisa digerakan karena kesemutan. Dan sialnya, gadis itu malah ketawa ngakak.
Kampret emang!
...🍉🍉...
Siang ini setelah pulang kampus, aku berencana untuk membawa Delina melihat sekolah barunya. Berkat bantuan Ardan, aku bisa menemukan satu sekolah yang tak terlalu peduli dengan gosip-gosip murahan. Sekolah yang lebih mengutamakan pendidikan daripada ketenaran.
Mobilku berhenti tak jauh dari pagar rumahku. Tepat di belakang motor besar yang terparkir di depan pagar. Dahiku mengernyit heran. Motor siapa di sana?
Mataku menatap tajam ke arah dua orang berbeda gender di depan rumah. Delina dan seorang cowok. Wajahnya gak asing, aku seperti pernah melihat wajah itu. Mereka tengah mengobrolkan sesuatu.
Dadaku terasa panas saat kulihat laki-laki itu menyentuh rambut Delina. Mengais selembar daun yang nyangkut di rambutnya. Tanganku terkepal kuat hingga kuku jariku memutih. Berani-beraninya cowok sialan itu menyentuh istriku.
Langkah lebarku menghampiri mereka berdua. Tangan yang telah terkepal melayang begitu saja menghantam wajah kecoklatan itu tanpa ampun.
“Aww ...” ringisku saat Delina menekan memar di pelipis mata.
“Nah, nah, sakit kan? Masih bisa ngerasain sakit, sok-sok berantem segala,” omelnya dengan raut kesal.
Perkelahian beberapa menit tadi memang menghasilkan beberapa memar di wajahku. Tapi, itu semua gak sebanding dengan apa yang didapat cowok itu. Dia lebih babak belur dariku dan itu membuatku sangat puas bisa menghajarnya. Siapa suruh dia menyentuh milikku.
“Saya gak suka liat orang lain nyentuh kamu. Itu bikin hati saya panas,” terangku.
“Mas cemburu?” selidiknya.
Aku bergeming. Cemburu? Apa yang seperti ini juga dikatakan cemburu?
“Enggak. Saya cuma gak suka aja milik saya disentuh orang lain,” kilahku.
Delina menowel daguku, tertawa puas sambil terus mengejek, “Cie ... yang cemburu.”
Aku membungkam mulutnya dengan bibirku. Menyesap lagi rasa manis dari bibir ranumnya. Ciumanku berpindah ke pipi, hidung dan berakhir di keningnya.
“Itu semua milik saya. Jangan sampai ada orang lain yang menyentuhnya, mengerti?” tegasku.
Dia masih bergeming dengan mulut setengah terbuka. Masih dalam mode kaget karena mendapat ciuman dadakan dariku. Delina mengangguk pelan. Antara sadar dan gak sadar. Aku benar-benar ingin tertawa melihat tampang blo’onnya.
...🍉🍉...
Pulang dari calon sekolah baru Delina, aku mengajaknya ke supermarket. Kali ini dia gak meminta naik troli lagi. Pegel katanya. Salah sendiri, troli kan bukan mobil ngapain dinaikin. Ada-ada aja emang tingkahnya.
Dengan satu tangan yang kugenggam dan satu tangan yang memegang es krim strawberry, gadis itu nampak anteng. Mengikuti ke mana pun aku melangkah menyusuri supermarket. Rasanya gak seperti belanja bulanan bareng istri, tapi bareng bocah pecinta es krim.
“Al,” panggilan itu membuatku berhenti.
Padahal aku udah mau bodo amat. Tapi kenapa tetep gak bisa pas ketemu dia. Aku masih bergeming di tempatku sementara genggaman tanganku di tangan Delina semakin mengerat.
“Naya?” panggil Delina saat tahu siapa yang ada di hadapannya saat ini.
Anaya mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ternyata beberapa bulan gak ketemu dia udah hamil aja. iya. Hamil anak papa. Atau harus aku memanggilnya calon adikku?
Cih!
Dia tersenyum. Senyumnya masih sama, senyum yang dulu adalah senyum paling cantik yang pernah kulihat. Dia mendekat, mengelus lengan Delina.
“Kalian kenapa gak pernah maen lagi ke rumah?” tanyanya lembut.
Delina menatapku. Rahangku mengeras, aku mencengkram kuat besi troli dalam genggamanku. Untuk apa aku datang ke rumah itu? Aku sudah berniat untuk menghapus dendam dan rencana sialan itu. Membuka lembaran baru bersama Delina dan bahagia dengannya.
Jika aku kembali lagi ke rumah itu, aku gak tau sejauh mana aku akan bertindak. Dendam itu masih ada, tapi rencanaku sudah berantakan.
“Saya sibuk. Ayo, Sayang, kita pergi,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya.
Aku menarik Delina cepat. Malas sekali kalau harus terus-terusan dekat dengan wanita pengkhianat itu. Wajah yang dulu sangat suka aku tatap itu, kini justru terasa memuakkan.