Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjenguk
Bima sedang berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan wajah serius. Sejak siang tadi, ia sudah berencana mampir menjenguk Pak Damar setelah jam kantor selesai. Di tengah perjalanan menuju parkiran, ia melihat Clara tengah menata berkas-berkas di meja sekretaris Arga.
“Clara,” panggil Bima dengan nada datar.
Clara menoleh cepat, menegakkan tubuhnya. “Iya, Pak Bima?”
“Pak Damar udah dipindahkan ke ruang rawat inap. Saya mau ke sana sekalian bawa beberapa dokumen buat Arga. Kamu ikut gak?"
Clara menelan ludahnya, gugup. “Saya… saya takut salah tingkah, Pak.”
“Justru karena itu kamu harus ikut,” jawab Bima sambil menatapnya tajam tapi tidak kasar. “Kadang, minta maaf langsung jauh lebih baik daripada pura-pura gak terjadi apa-apa.”
Clara mengangguk pelan. “Baik, Pak.”
Dalam hatinya, ada sedikit kegelisahan. Ia tak pernah berniat menyakiti Alya, hanya saja, kesalahpahaman di kantor kemarin membuat semuanya jadi buruk.
---
Langit di luar mulai berwarna jingga keemasan, cahaya matahari menembus lewat tirai putih yang sedikit terbuka.
Pak Damar tertidur setelah minum obat, Bu Retno duduk di sofa membaca majalah, sementara Alya sibuk melipat selimut tambahan di sisi sofa yang lain.
Suara ketukan pintu pelan memecah kesunyian.
“Permisi, boleh masuk?”
Bu Retno menoleh lebih dulu, tersenyum ketika melihat siapa yang datang. “Oh, Bima. Masuk, Nak.”
Bima melangkah masuk dengan wajah segar, membawa setangkai buah tangan dalam kantong kertas bersama dengan Clara, wanita muda berambut lurus sebahu, tampak sedikit gugup tapi berusaha tersenyum sopan.
Alya yang sedang berdiri di sisi ranjang menoleh. Wajahnya tetap tenang, meski di dalam dadanya ada sesuatu yang bergetar halus.
“Selamat sore, Bu, Pak Arga, Bu Alya,” sapa Clara dengan sopan, nadanya hati-hati.
Arga yang duduk di kursi dekat jendela menatap mereka sekilas, lalu berdiri. “Bima, Clara. Terima kasih sudah datang.”
“Gak apa-apa, Ga, sekalian antar dokumen.” sahut Bima ramah. “Kami dengar Pak Damar udah dipindahin jadi kami ke sini. Gimana kabarnya sekarang?”
“Sudah lebih baik,” jawab Arga singkat.
Clara mengangguk kecil, matanya sesekali melirik Alya yang kini menata bantal di sisi tempat tidur. Ia menarik napas pelan, seolah sedang menyiapkan keberanian.
“Pak, kalau boleh, saya ingin bicara sebentar sama Bu Alya,” ucapnya pada Arga akhirnya, suaranya hampir bergetar.
Arga menatap Alya, lalu. “Silakan. Alya, kamu temani di luar sebentar, ya?”
Alya mengangguk sopan, lalu melangkah keluar bersama Clara. Mereka berhenti di lorong yang tenang, di dekat jendela besar tempat sinar matahari terakhir hari itu jatuh lembut di lantai.
Arga dan Bima memperhatikan pintu ruangan tertutup setelah keduanya keluar.
Bima bersandar di tembok, menyilangkan tangan. “Lo gak khawatir, Ga? Dibiarkan berdua gitu?”
Arga menoleh pelan, wajahnya datar tapi mantap. “Enggak.”
“Kenapa?”
“Karena guep tahu Alya gak akan mempermalukan siapa pun. Dia orang yang selalu bisa ngadepin hal dengan tenang, gak pernah pakai emosi. Dia lebih sabar dari yang orang pikir.”
Bima mengangkat alisnya, sedikit kagum. “Lo ngomongnya kayak orang yang baru sadar punya istri sehebat itu.”
Arga menatap keluar kaca lagi, kali ini matanya melunak. “Mungkin emang baru sadar, Bim. Selama ini gue sibuk sama diri gue sendiru, lupa kalau orang yang paling tenang di sisi gue justru yang paling tulus ngedukung.”
Bima tersenyum simpul. “Lo beruntung, Ga. Istri lo punya hati yang gak banyak dimiliki orang zaman sekarang. Kalau gue punya pasangan kayak dia, mungkin gue gak bakal khawatir apa pun di dunia ini.”
Arga menatap Bima sesaat, "Ketahui batasan lo, Bima. Dia istri gue." Ucap Arga.
Bima terkekeh pelan, "udah punya cemburu ya, pak? Sorry deh."
Arga tertawa kecil. “Gue tahu. Dan mulai sekarang, gue gak mau sia-siain itu lagi.”
Mereka berdua terdiam sejenak, sebelum akhirnya Arga melihat dokumen yang dibawa Bima, sedangkan Bima berbincang dengan bu Retno dan pak Damar yang baru saja terbangun.
---
Clara berdiri di hadapan Alya dengan posisi canggung, kedua tangannya saling menggenggam di depan dada. Wajahnya tampak menyesal.
Clara tersenyum kikuk, menunduk sopan. “Saya… saya beneran minta maaf, Bu Alya, soal kejadian di kantor kemarin. Saya salah paham, dan saya seharusnya gak bersikap seperti itu. Saya minta maaf.”
Alya memandangnya tenang, lalu tersenyum lembut. “Gak apa-apa. Semua orang bisa salah paham, yang penting gak menyimpan benci. Saya juga mohon maaf kalau ada kata-kata saya yang bikin kamu gak nyaman.”
Clara terdiam sejenak, lalu menunduk dalam. “Terima kasih, Bu… Saya gak nyangka Bu Alya sesopan ini. Saya pikir ibu bakal marah.”
Alya tertawa kecil, matanya teduh. “Marah cuma bikin hati capek, kan? Hidup udah cukup berat buat ditambah dendam.”
Ucapan itu sederhana, tapi menusuk pelan ke hati Clara.
Clara menelan ludah. “Itu semua salah paham. Saya gak bermaksud… membuat pak Arga dalam posisi seperti itu. Beliau cuma nolong saya waktu saya hampir jatuh. Tapi kebetulan waktu itu pintunya kebuka, dan—” ia berhenti, menunduk. “Saya tahu dari sudut pandang orang lain, semuanya kelihatan buruk. Apalagi ibu yang lihat langsung.”
Alya terdiam beberapa detik. Ia menatap Clara, menimbang-nimbang kata-katanya dengan hati yang tenang.
“Aku tahu,” ujarnya akhirnya.
Alya mengangguk pelan. “Saya percaya pada penjelasan suami saya sebelumnya. Dan dari caramu bicara sekarang, saya yakin memang gak ada niat buruk.”
Suara Alya lembut, tapi tegas. Tidak ada sindiran, tidak ada luka yang dilontarkan kembali. Hanya ketenangan yang membuat Clara justru semakin merasa bersalah.
“Tidak semua harus dibalas dengan emosi, Clara. Kadang, Allah tunjukkan sesuatu bukan untuk melukai kita, tapi untuk menguji bagaimana kita menyikapinya.”
Clara terdiam. Kalimat itu seperti menampar lembut, tapi penuh makna.
Alya melanjutkan, “Hati kita bersih, Allah sendiri yang akan jelaskan kebenarannya. Jadi aku gak perlu marah atau curiga berlebihan.”
"Sekarang, ayo kita masuk. Yang lain pasti sudah menunggu." Ucap Alya.
Mereka berdua berjalan kembali ke dalam ruangan.
Di sana, Arga, Bima, bu Retno dan pak Damar sedang berbicara pelan. Begitu melihat mereka, Bu Retno tersenyum. “Sudah selesai ngobrolnya?”
“Sudah, ma,” jawab Alya sambil duduk di kursi dekat tempat tidur.
Clara menunduk sopan. “Terima kasih, Bu. Mohon maaf mengganggu waktunya.”
Bu Retno mengangguk ramah. “Tidak apa-apa. Justru terima kasih sudah sempat datang.”
Bima ikut menimpali, “Kami pamit dulu, ya. Semoga pak Damar lekas sembuh.”
"Terimakasih ya, Bima." Ucap pak Damar lirih.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣