Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan yang Tak Terhapus
Hari-hari berlalu sejak kami kembali ke dunia nyata, namun perasaan yang kami bawa pulang tidak bisa sepenuhnya hilang. Kami berusaha menjalani kehidupan kami seperti biasa, mencoba melupakan pasar setan yang mengerikan, namun setiap kali kami menutup mata, bayangan pasar itu kembali muncul di kepala kami. Tenda-tenda yang gelap, lampu yang redup, dan suara-suara yang mengerikan seperti tawa yang tak pernah berhenti. Semua itu seakan membekas, menghantui pikiran kami meskipun kami sudah mencoba melupakan.
Kami tidak tahu apa yang terjadi setelah kami membuat keputusan itu—melepaskan salah satu dari kami untuk keluar, meskipun itu bukan pilihan yang kami inginkan. Namun, entah kenapa, meskipun kami kembali ke dunia nyata, ada perasaan yang tak bisa kami lepaskan. Seperti ada yang tidak beres, seperti kami tidak benar-benar bebas. Kami merasa terperangkap dalam sebuah mimpi buruk yang tak berujung.
Aku duduk di kamarku, menatap kosong ke luar jendela. Dunia di luar terlihat begitu normal—angin yang berhembus pelan, matahari yang bersinar cerah, dan orang-orang yang berjalan dengan tenang. Tapi aku tahu, di dalam diriku, dunia ini sudah berubah. Aku tak bisa mengabaikan rasa takut yang terus mengikutiku. Pasar itu, arwah-arwah yang terperangkap, suara tawa yang mengerikan—semua itu tidak bisa begitu saja hilang.
“Apa yang kita alami itu nyata, kan?” tanya Indra, suaranya terdengar lemah melalui telepon. “Gue nggak bisa berhenti mikir tentang itu.”
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. “Itu nyata, Indra. Semuanya yang kita lihat di pasar itu, itu nyata. Tapi kenapa rasanya kayak kita nggak sepenuhnya keluar dari sana?”
Indra terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang agak ragu. “Gue nggak tahu, bro. Seolah-olah ada sesuatu yang masih mengikat kita ke pasar itu. Mungkin kita cuma nggak bisa lepas dari kenangan itu. Gue nggak bisa tidur, lo tahu? Setiap kali gue tidur, gue ngerasa kayak di sana lagi.”
Aku merasakan hal yang sama. Setiap malam, ketika aku menutup mata, aku merasa pasar itu kembali hadir dalam mimpi. Ada tenda-tenda yang membayang, arwah-arwah yang mengintai, dan suara tawa yang menggema di telingaku. Semua itu seakan hidup kembali, menuntut perhatian kami. Bahkan setelah kami kembali ke dunia ini, kenangan itu terus menghantui kami.
“Gue rasa, kita harus mulai bergerak maju,” kataku, berusaha memberikan semangat. “Tapi gue ngerti banget perasaan lo. Gue juga nggak bisa berhenti mikirin itu.”
Kami berbicara beberapa lama, saling berbagi kekhawatiran dan ketakutan yang sama. Meskipun kami sudah kembali ke dunia nyata, kami merasa ada sesuatu yang salah. Kami tidak tahu apakah itu hanya rasa takut yang masih menguasai kami, atau apakah pasar setan itu memang masih mengawasi kami, bahkan setelah kami meninggalkannya. Kami terus mencoba menjalani kehidupan normal, tetapi rasanya dunia ini tidak sepenuhnya nyata. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tak bisa kami jelaskan.
Hari-hari berlalu, tetapi ketegangan itu tetap ada. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan bekerja, berusaha untuk melupakan semua yang telah terjadi. Tetapi setiap kali aku menutup mata, bayangan pasar itu kembali menghantui. Wajah-wajah arwah yang kosong, suara tawa yang mengerikan, dan ketakutan yang tak pernah hilang. Semua itu seperti terukir dalam ingatanku, tak bisa dihapus begitu saja.
“Kita nggak bisa terus hidup dengan ketakutan,” kata Fandi suatu hari, saat kami berkumpul di sebuah kafe. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun matanya masih menyimpan kecemasan yang dalam. “Gue tahu kita semua ngerasa takut, tapi kita harus mulai bergerak maju.”
Kami semua terdiam. Memang, apa yang kami alami di pasar setan itu terlalu besar untuk dipahami, dan semakin kami berusaha untuk melupakan, semakin kami merasa terperangkap dalam kenangan itu. Tapi Fandi benar—kami tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Kami harus mencoba untuk melanjutkan hidup, meskipun bayangan pasar itu terus mengikuti kami.
“Apa kalau kita cuma berpura-pura nggak ingat, itu bakal hilang?” tanya Rudi dengan suara berat. “Atau memang pasar itu masih mengikat kita dengan cara yang nggak kita pahami?”
“Gue rasa, pasar itu nggak akan pernah benar-benar hilang dari kita,” jawab Indra. “Kenangan itu... terlalu nyata. Kita mungkin bisa melupakan, tapi nggak bisa menghilangkan begitu saja.”
Kami semua merasa terjebak dalam kebingungannya. Kami mencoba menjalani hidup seperti biasa, tetapi di balik setiap langkah kami, di balik setiap percakapan yang terasa normal, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Seperti ada bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Seperti pasar itu tidak benar-benar menghilang. Mungkin itu hanya ada di pikiran kami, atau mungkin itu lebih dari sekadar kenangan.
Suatu malam, aku terbangun di tengah tidurku. Tiba-tiba, aku merasa sangat terjaga, seolah ada sesuatu yang sangat salah. Aku menatap jam di meja samping tempat tidur—jam itu menunjukkan pukul tiga pagi. Namun, entah kenapa, aku merasa seperti tidak bisa bergerak. Tiba-tiba, bayangan pasar setan itu muncul di hadapanku. Tenda-tenda yang gelap, arwah-arwah yang terperangkap, dan suara tawa yang menghantui. Semua itu muncul dalam pandanganku, seolah hidup kembali. Aku bisa mendengarnya jelas, bisikan yang menyuruhku untuk kembali ke tempat itu.
Aku terbangun dengan keringat dingin di tubuhku, merasakan jantungku berdegup kencang. Itu bukan mimpi. Itu seperti perasaan yang nyata, seperti aku masih berada di pasar itu. Aku merasakan ketakutan yang begitu nyata, meskipun aku tahu itu hanya kenangan.
Aku mencoba untuk menenangkan diri, berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanya mimpi. Tapi saat aku menutup mata lagi, aku merasa bahwa perasaan itu kembali. Bayangan pasar setan itu terus mengganggu setiap malamku. Seperti ada sesuatu yang tidak bisa aku lepas dari sana.
Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kami semua merasakannya—kenangan tentang pasar itu tidak bisa dihapus, dan semakin kami mencoba melupakan, semakin perasaan itu menguasai kami. Kami sudah kembali ke dunia nyata, tetapi entah kenapa, pasar itu tidak bisa kami lupakan. Kami kembali ke kehidupan yang tampak normal, tetapi di dalam hati kami, ada perasaan bahwa kami tidak benar-benar bebas. Kami masih terperangkap dalam mimpi buruk itu, dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar.
“Kita nggak akan bisa lari dari ini,” kata Danang dengan suara yang berat, ketika kami berbicara lagi beberapa hari kemudian. “Pasar itu udah mengubah kita. Kita nggak akan bisa jadi sama lagi.”
Kami semua merasa itu. Pasar setan itu, dengan segala kegelapannya, telah mengubah kami. Kami mungkin sudah keluar, tetapi ketakutan itu tetap membekas. Dunia ini mungkin tampak normal, tetapi kami tidak bisa menghilangkan rasa takut yang datang bersamanya. Kami tidak tahu apakah kami benar-benar bebas, atau apakah kami hanya terjebak dalam mimpi buruk yang berulang.