Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Tak Berhenti Memikirkan
Begitu Vexia melangkah ke lobi kantor, beberapa pegawai yang lewat refleks menoleh.
“Gila, itu staf bagian mana? Cantik. Badas,” gumam seorang karyawan pria.
“Bukannya dia staf baru di divisi administrasi? Katanya cuma lulusan SMA, tapi gak lama langsung dipercaya ngurus dokumen lintas divisi.”
“Iya, aku juga dengar. Tapi hari ini penampilannya beda banget.”
Aura yang dibawanya memang berbeda. Bukan lagi gadis manis yang dulu sering menunduk sopan. Kini langkahnya mantap, tenang, dan pasti.
Saat Vexia masuk ke ruang administrasi tempatnya bekerja, semua kepala serempak menoleh.
Beberapa rekan prianya sampai terpaku. Penampilannya yang semakin badas hari ini membuat mereka tak bisa mengalihkan pandangan, terutama Bira.
Pria yang dulu sempat meremehkannya itu kini hanya bisa menatap kagum.
“Penampilannya hari ini beda banget… menarik,” batinnya, dengan senyum kecil yang tak sempat ia sembunyikan.
“Woah, Xia…” seru Hana dengan mata membulat. “Hari ini kamu beda banget.”
“Badas bet,” timpal Hani kagum.
Vega mendengus pelan dari meja sebelah, melirik sekilas.
“Sok-sokan,” gumamnya lirih. Tapi cukup keras untuk terdengar.
Rasa iri menjalar di dadanya.
Vexia hanya menatap sekilas, senyum tipis terbit di bibirnya. Senyum yang lebih dingin dari biasanya.
Tanpa komentar, ia duduk di kursinya, menyalakan komputer, dan mulai bekerja.
Suara ketikan keyboard terdengar ritmis di tengah keheningan ruangan. Tenang, mantap, berwibawa.
Dan saat itu, semua orang sadar…
Gadis kampung yang dulu mereka remehkan sudah bukan gadis yang sama lagi.
Sementara itu, langkah sepatu kulit bergema pelan di lantai marmer lobby.
Rayno melangkah masuk. Tubuh tegapnya tetap anggun, tapi auranya tajam, dingin, seperti menyimpan badai yang baru saja reda.
Setitik darah masih terlihat di sudut bibirnya, tersapu setengah oleh jari yang kini berlumur merah. Tangannya yang berdarah masih terkepal rapat di sisi tubuh.
Beberapa pegawai yang melintas spontan menunduk sopan, pura-pura sibuk dengan berkas atau layar ponsel.
Tak ada yang berani bertanya, meski tatapan mereka diam-diam mengikuti sosok pria itu.
Di meja resepsionis, Dani, sekretaris sekaligus asisten pribadinya, langsung bangkit berdiri.
“Tu–Tuan, bibir Anda—”
“Tak apa.”
Rayno memotong tenang, nada suaranya dalam tapi dingin. Ia mengusap bibirnya sekali lagi, membuat Dani melihat jelas luka di tangannya.
Dani menelan ludah.
“Tuan, saya akan mengambil obat.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berlari kecil ke ruang medis. Saat mengambil kotak obat, gumam kecil lolos dari bibirnya:
“Setahuku Tuan jago bela diri… tapi kenapa bisa terluka? Dan pagi-pagi begini… siapa yang nekat?”
Beberapa menit kemudian, ia sudah berdiri di depan meja kerja Rayno.
“Tuan, izinkan saya mengobati bibir Anda,” ujarnya hati-hati.
Rayno hanya mengangguk kecil.
“Hm.”
Dani menatap wajah majikannya diam-diam saat membersihkan luka itu.
Wajah Rayno tetap datar, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya, seperti seseorang yang sedang menahan perih yang lebih dalam dari sekadar luka fisik.
Setelah membalut tangan Rayno dengan perban tipis, Dani membereskan kotak obat dan bersiap membacakan jadwal rapat.
Namun sebelum sempat membuka mulut, suara Rayno memecah keheningan.
“Di lantai berapa… divisi administrasi?”
Pertanyaan itu membuat Dani tertegun sejenak.
“Di lantai tiga, Tuan.”
Tanpa menjawab, Rayno membuka laptopnya. Jari-jarinya yang berbalut perban menekan keyboard cepat.
Satu jendela terbuka. Tampilan kamera CCTV kantor.
Gambar dari lantai tiga muncul di layar.
Ruang administrasi.
Deretan meja. Pegawai yang sibuk mengetik.
Dan di salah satu sudut, Vexia.
Duduk tegak, rambutnya terikat rapi, wajah fokus menatap layar komputer.
Rayno terdiam lama.
Cahaya monitor memantulkan wajahnya yang muram. Dada yang tadi sesak kini seperti makin berat, menekan dari dalam.
Dani berdiri canggung di samping.
“Apakah… ada masalah di divisi administrasi, Tuan?” tanyanya hati-hati.
Rayno sedikit tersentak dari lamunannya.
“Tidak,” jawabnya datar.
Lalu menutup setengah layar laptop, seolah ingin menolak kenyataan yang barusan ia cari sendiri.
“Bacakan saja jadwalku.”
“Baik, Tuan.”
Dani menunduk, tapi dari sudut matanya ia sempat melihat refleksi di layar yang belum sepenuhnya tertutup,
seorang wanita bernama Vexia, dan tatapan seorang pria yang bahkan dalam diamnya… tampak seperti sedang menyesali seluruh hidupnya.
Setelah Dani pergi, Rayno masih duduk di balik meja kerjanya. Layar laptop menyala, tapi matanya tak benar-benar melihat.
Pikirannya tertinggal pada kejadian pagi tadi. Istrinya yang lembut, manis, dan penurut berubah jadi sosok badas.
Pukulan di wajahnya yang membuat bibirnya berdarah. Kata-kata yang menohok lebih tajam dari tinju itu sendiri.
Sosok Vexia dengan jaket kulit dan wajah dingin di balik helm masih terbayang jelas.
Ingatan tentang bagaimana perempuan itu menyalip di antara dua truk besar membuat tubuhnya refleks menegang.
“Sejak kapan dia seperti itu…?” gumamnya pelan.
Kalimat itu terus berputar di kepalanya, membuatnya sulit fokus bahkan sebelum rapat dimulai.
Ketukan di pintu memecah lamunannya.
“Tuan, rapat dengan dewan direksi mulai lima menit lagi,” ujar Dani, sekretarisnya.
Rayno berdiri, menarik napas dalam. “Hmm. “Kau sudah menginformasikan agar admin menyerahkan laporan langsung ke ruang rapat. Aku ingin menerimanya sendiri.”
“Sudah, Tuan,” jawab Dani cepat.
Rayno mengangguk pelan. “Baik. Biar aku lihat sendiri hasil kerja mereka.”
Ia berjalan keluar ruangan. Namun langkahnya terasa berat.
Pikirannya masih terikat pada wajah Vexia pagi tadi.
Bukan lagi Vexia yang ia kenal.
Dani yang berjalan di belakangnya melirik heran.
“Kenapa Tuan kelihatan risau? Biasanya wajahnya datar-datar aja…” gumamnya pelan.
Ia menelan ludah diam-diam, menatap punggung Rayno yang tampak tegang saat keluar ruangan.
“Jangan-jangan ini masalah pribadi… Apa berhubungan dengan luka di bibir dan tangannya tadi? Semoga aja gak berimbas ke aku,” desisnya pelan.
Saat Rayno tinggal beberapa langkah lagi menuju ruang rapat, ia melihat para petinggi perusahaan berdiri di lobi kecil depan ruang rapat, di antara lift dan dinding kaca besar.
Dan di sanalah, Vexia melangkah masuk.
Langkahnya mantap, sepatu loafers hitamnya berderap ringan di lantai marmer.
Penampilannya sederhana, namun memancarkan wibawa yang sulit dijelaskan.
Seolah waktu berhenti.
Pandangan semua orang otomatis tertuju pada wanita yang baru masuk ke lobi. Tenang, percaya diri, dan sama sekali bukan Vexia yang dulu.
Rayno tanpa sadar berhenti melangkah. Terpaku.
Pikirannya penuh oleh sosok istrinya itu.
Dani yang ikut berhenti menatap Rayno, lalu menoleh ke arah Vexia, ikut terpaku tanpa sadar.
Bu Ratri, kepala bagian administrasi, menatap Vexia sedikit terkejut.
“Vexia? Kamu merubah penampilanmu?” tanyanya, suaranya datar namun berwibawa.
Vexia hanya tersenyum kecil dan menunduk sopan.
“Ini penampilan saya yang sebenarnya, Bu,” jawabnya tenang.
Wakil kepala HRD, Pak Dika, menimpali, “Saya dengar performa kamu luar biasa akhir-akhir ini. Tetap pertahankan, ya.”
“Terima kasih, Pak,” balas Vexia dengan nada datar tapi berkelas.
Pak Dika menyiku pelan Pak Arman, kepala HRD.
“Saya sempat meragukan Vexia, tapi ternyata orang yang Bapak bawa memang kompeten,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Pak Arman mengangguk ringan. “Syukurlah,” ucapnya, meski dalam hati bertanya-tanya,
“Siapa sebenarnya gadis ini? Tuan Mandala sendiri yang menitipkannya padaku… apa dia keluarga beliau?”
Rayno hanya bisa menatap tanpa suara.
Matanya mengikuti tiap gerak kecil istrinya, seolah sedang melihat orang asing yang dulu begitu ia kenal.
“Ehem…” Dani berdehem pelan.
Para petinggi itu tersadar dan langsung menoleh.
Spontan, mereka menunduk hormat.
“Selamat pagi, Tuan Rayno.”
Vexia ikut menoleh. Tatapan mereka bersirobok sepersekian detik. Dingin, tajam, berjarak.
Di mata Vexia, Rayno hanyalah atasan. Bukan lagi suami.
Ia menunduk singkat, sekadar bentuk penghormatan profesional.
Rayno terpaku. Bahkan tak benar-benar mendengar percakapan Bu Ratri, Pak Dika dan Pak Arman.
Pandangannya hanya tertuju pada Vexia. Wanita yang dulu menyambutnya di rumah dengan senyum dan teh hangat.
Dan saat napasnya tercekat, Rayno sadar,
ia sudah kehilangan sesuatu, bahkan sebelum perceraiannya dimulai.
“Ini dokumen yang Anda minta, Tuan,” ucap Vexia tenang.
Rayno menerima dokumen itu.
“Terima kasih,” suaranya nyaris tak terdengar.
Vexia mengangguk kecil. “Saya permisi.”
Ia memberi hormat singkat pada para petinggi, lalu melangkah pergi.
Rayno menatap punggung istrinya yang menjauh, seolah tak ada orang lain di tempat itu selain mereka berdua.
Semua orang saling pandang, heran melihat Rayno yang masih terpaku.
“Tuan,” panggil Dani hati-hati.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Kepo banget sampai mengecek rekaman lain. Bukan urusan Dani - apa yang terjadi diantara Rayno dan Vexia.
Rayno sekarang silahkan menikmati sikap Vexia yang dingin, tak begitu peduli dengan keberadaanmu.
Istri yang dulu begitu ia abaikan - sekarang mengabaikan Rayno.
Vexia masak di dapur - Rayno tertegun - matanya tak berkedip terpaku melihat tampilan istrinya yang sedang memasak.
Rasain - memang enak makan sendiri.
Vexia sudah makan - pemberitahuan lewat kertas - tak mau bicara sama Rayno.
Hari ini gajian pertama Vexia.
Salah satu staf menanyakan janjinya Vexia yang mau traktir makan setelah gajian.
Vexia bilang tak akan ingkar janji.
Vega semakin sirik ajah.
Vega punya rencana jahat apa ini kepada Vexia.
Yang benar motor sport hitam berkilat atau motor sport merah nih Author 😄.
Dani jadi kepo - menyelidiki Bos-nya yang belakangan ini, sebelum jam kantor berakhir sudah pergi.
Dani mengekor mengikuti mobil Rayno - sayangnya dia tak tahu siapa yang di kejar Rayno. Tak tahu siapa pemilik motor sport.
Rayno, rasakan - Vexia bersikap dingin sekarang.
Dani kaget juga kagum tak percaya - setelah mengecek CCTV kantor ternyata yang membawa motor sport - Vexia.
Tuh kan Rayno jadi kesepian, emang enak makan sendiri, masih untung ga masak sendiri jg.
si Vega itu sangat iri sama Xia...mau main² dengan Vexia lagi kamu di klub...
semoga Vexoa dapat menghindar dari tuk itu dan selamat....seorang Pembalap kamu Xia...pasti bisa menghindar dari bahaya