Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak ingin berpisah
Luna sedang menggantung cucian di belakang rumah, sementara Orion duduk di teras, memperhatikan diam-diam.
“Aku nggak nyangka kamu bisa betah di sini,” kata Luna dari jauh.
“Kenapa? Kamu pikir aku nggak bisa hidup tanpa tempat mewah?”
“Bukan. Aku cuma pikir kamu bakal bosan.”
Orion tertawa kecil. “Aku nggak butuh tempat besar. Aku cuma butuh tempat di mana aku bisa tenang.”
“Dan kamu tenang di sini?”
Orion mengangguk. “Tentu saja, bahkan lebih dari tenang, disini hangat, terasa memang seperti rumah."
Luna tersenyum, tapi dalam hati dia sedikit takut.
Beberapa blok dari rumah kecil itu, di seberang jalan, sebuah mobil hitam berhenti di antara bayangan pepohonan. Jendela mobil terbuka sedikit, dan dari sana, lensa kamera panjang menyorot ke arah rumah mereka.
Suara klik terdengar berulang kali.
Satu… dua… tiga…
Gambar demi gambar tertangkap jelas:
Luna sedang tertawa di dapur. Orion memegang pundaknya dari belakang. Mereka menonton film di sofa kecil. Saling tersenyum. Sebuah foto terakhir memperlihatkan keduanya di jendela kamar berdua, tampak begitu dekat, begitu pribadi.
Sosok di dalam mobil menurunkan kameranya, tersenyum kecil, lalu menatap layar.
“Perfect,” gumamnya.
Dia menyalakan mesin mobil, lalu menekan tombol kirim di ponselnya. Foto-foto itu terkirim ke sebuah alamat email tanpa nama.
Di layar ponsel muncul balasan otomatis:
From: S.MediaProject@confidential.net
Message: Good job. Publish secepatnya.
Di rumah kecil itu, Luna dan Orion masih tidak tahu apa pun. Mereka hanya tahu bahwa hari itu berakhir dengan tawa, hangat dan rasa damai yang jarang mereka punya.
Mereka tidak tahu, bahwa mulai malam itu, dunia luar kembali menatap mereka.
Mereka berdua kembali kedalam rumah, Luna menyiapkan sarapan, sementara Orion duduk di kursi dekat jendela, membaca berita di ponsel.
“Ada yang aneh,” gumamnya tiba-tiba.
Luna menoleh sambil menata piring. “Apa?”
Orion tidak menjawab. Dia menatap layar ponselnya lama, ekspresinya berubah tegang.
Luna berjalan mendekat. “Kenapa, Rion?”
Orion menyerahkan ponselnya pelan.
Di layar, muncul halaman berita dengan judul besar:
“Skandal Baru Luna Carter: Bersama Mantan Pembalap Orion Delvano di New York.”
Tangan Luna refleks gemetar.
Di bawah judul itu, terpampang serangkaian foto mereka berdua di rumah kecil itu.
Tertawa di dapur. Menonton film bersama.
Dan satu foto yang paling mematikan,mereka berdua di jendela kamar, terlihat sangatdekat.
“Tidak…” Luna berbisik lirih, suaranya bergetar. “Itu… itu privasi kita.”
Orion menatap layar itu dengan rahang mengeras. Dia tahu persis apa arti ini.
Dan yang lebih buruk, dia tahu siapa yang mungkin ada di balik semua ini.
Selene.
“Rion…” Luna mulai panik, suaranya gemetar. “Aku—aku nggak bisa lagi…”
Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Air mata jatuh begitu saja, bukan hanya karena takut, tapi karena kenyataan bahwa mimpi kecil mereka untuk hidup tenang kini hancur lagi tepat di depan mata.
Orion bangkit cepat dari kursi, menahan rasa nyeri di kaki kirinya. Dia mendekati Luna, lalu duduk di depannya, memegang bahunya dengan hati-hati.
“Lihat aku,” katanya pelan.
Tapi Luna tidak berani mengangkat wajah.
“Luna…” suaranya lebih lembut. “Kita nggak salah. Dengar aku,kita nggak salah.”
“Tapi dunia nggak peduli!” bentak Luna akhirnya, suaranya pecah di ujung tangis.
“Mereka cuma butuh berita, dan aku..aku cuma bahan gosip lagi, Rion!”
Orion tidak membalas. Dia hanya menarik Luna ke dalam pelukannya, memeluknya erat.
Dadanya terasa sesak saat mendengar isak gadis itu di bahunya. Tapi di antara kekacauan itu, tekad di matanya perlahan mengeras.
“Kali ini,” katanya pelan, “aku nggak akan biarkan mereka ngambil apa pun dari kamu lagi.”
⸻
Beberapa jam kemudian, telepon Damian berdering di tengah pertemuan dokter di Jakarta.
Begitu melihat nama Luna di layar, dia langsung keluar dari ruangan.
“Luna? Ada apa?”
Suara Luna di seberang sana parau. “Kak Dami, mereka… mereka nyebarin foto kami.”
Damian membeku. “Foto apa maksudmu?”
“Foto aku sama Rion. Di rumah. Semuanya, Kak…”
Damian menatap kosong ke depan.
Di pikirannya, satu nama langsung muncul,Selene.
“Dengar aku, Luna,” katanya pelan tapi tegas. “Kamu jangan ke mana-mana dulu. Aku akan cari tahu siapa yang di balik ini.”
“Aku takut, Kak,” suara Luna nyaris bergetar.
"Gak usah takut, kakak pasti akan bantu kamu ya. Sekarang kamu gak sendiri lagi."
Damian terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang.
“Apa Orion masih disana?"
"Iya.."
"Bisa berikan teleponnya pada Orion?"
Luna memberikan ponselnya pada Orion.
"Ini, kak Dami mau bicara."
"Halo.."
"Rion,aku tahu keadaan disana sedang tidak baik. Tapi, bisa untuk sementara waktu jaga Luna, untuk terapimu, aku akan minta perawat disana membantu sementara. Jangan biarkan dia keluar dari rumah."
"Aku mengerti." jawab Orion singkat, padat.
Setelah sambungan ditutup, Damian langsung menghubungi seseorang.
“Rafa, tolong cari tahu siapa yang pertama kali nyebarin artikel soal Luna Carter dan Orion Delvano. Aku mau tahu nama medianya, redakturnya, dan siapa yang kirim foto itu.”
“Siap, Dok.”
Damian menatap layar ponselnya lama. Matanya dingin, bukan karena marah tapi karena kecewa.
Semuanya mulai jelas sekarang. Selene sudah bergerak terlalu jauh.