Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Terlalu bodoh
Setelah mengetahui semuanya Wijaya bersikap tegas terhadap Asila. Dia yang awalnya peduli berubah menjadi kecewa. Ia masih tak menyangka, ternyata ayah si kembar dikenalinya dengan baik, bahkan berniat untuk dijodohkan dengannya, tapi Asila pura-pura tidak mengenalinya. Sungguh bodoh wanita itu, seharusnya dia berani klarifikasi agar permasalahannya lekas selesai.
"Anda benar-benar jahat ya Tuan! Bisa-bisanya anda melakukan tes DNA tanpa seizin dari saya! Saya ibu dari mereka, tapi anda diam-diam malah mencuri sample anak saya untuk melakukan tes DNA. Apa hak anda melakukan semua itu?"
Setelah orang tuanya pergi, kembali Asila menemui pria itu. Dia masih tak ikhlas pria itu diam-diam melakukan tes DNA dengan anak-anaknya. Ia tak tahu apa yang direncanakan oleh pria itu, tapi yang jelas itu bukan rencana yang baik.
"Hak? Kamu tanya soal hak? Tentu saja aku memiliki hak sebagai ayah mereka. Tanpa aku kamu tak akan memiliki mereka. Mereka itu benihku yang aku titipkan di rahim kamu, jadi wajar kalau aku ingin mendapatkan hakku. Kau tidak boleh serakah nona, kita memiliki hak yang sama."
"Tapi aku yang melahirkan mereka! Aku sengsara sendirian! Kau hanya enaknya saja! Kok bisa-bisanya anda minta hak tanpa harus ikut berjuang!"
Asila masih keukeh untuk mempertahankan apa yang sudah seharusnya menjadi miliknya. Edgar memang yang memiliki benih, tapi dia yang mengandung hingga melahirkannya, tentu saja itu bukan hal yang mudah baginya. Ia tak terima kalau pria itu datang-datang langsung meminta haknya dan ingin merebut anak-anaknya.
"Iya, aku akui memang kamu berjuang sendiri. Kalau saja dulu kamu bilang bahwa dirimu tengah mengandung anakku, tentu saja aku langsung menikahimu! Tapi kau malah pergi tanpa jejak. Perlu kau ketahui saja, selama ini aku tak pernah berhenti mencarimu, tapi hasilnya nihil. Kalau aku tidak ada di saat kamu hamil itu bukan salahku, tapi karena kebodohanmu! Dulu aku menawarkan diri untuk bertanggungjawab kau malah menolakku, dan kau langsung pergi begitu saja. Mungkin orang lain menganggap diriku yang salah ingin lepas dari tanggung jawab, tapi sebenarnya kamu lah yang bersalah. Kamu terlalu bodoh, Nona! Wanita lain berbondong-bondong ingin mencari perhatian padaku, tapi kau malah meninggalkanku. Sudahlah, semua sudah terungkap, lebih baik kita menikah, dengan begitu anak-anak bisa lebih dekat denganku."
Asila tersenyum getir menanggapinya. Begitu mudahnya dia ingin mengajaknya menikah setelah bertahun tahun ia berjuang sendirian. Mana mungkin si kembar mau mengakuinya sebagai ayah mereka, bahkan sejak dilahirkan mereka tak pernah mengenal sosok ayah.
"Anda terlalu percaya diri Tuan. Anda pikir dengan membantu anak saya mereka akan menganggap anda sebagai ayahnya? Ya, menang anda ayah biologis mereka, tapi mereka tidak pernah hidup didampingi ayahnya. Mereka sudah terbiasa hidup seperti ini, tanpa kehadiran ayah pun mereka sudah bahagia!"
Asila menyesal sudah bertemu kembali dengannya. Andai saja boleh meminta, seumur hidupnya tak ingin lagi bertatapan muka dengannya. Setiap melihatnya langsung teringat akan bayangan masa lalu di mana ia dipaksa untuk melayani nafsu bejatnya.
"Menarik."
"Apanya yang menarik?" tanya Asila.
"Sifatmu yang begitu egois cukup membuatku tertarik, aku suka."
Asila bergidik dan langsung mengedarkan pandangannya ke arah pintu. Ia hanya sedang berpikir, bagaimana bisa terlepas dan jauh-jauh dari pria itu. Di sisi lain orang tuanya sudah terlanjur kecewa dan memintanya untuk segera menikah, tapi permasalahannya, ia masih belum siap menjalani kehidupan berumah tangga, apalagi dengan pria yang sudah membuatnya kehilangan harga diri.
"Oh ya, nanti malam aku akan menemani putriku di sini. Sekarang aku harus kembali ke kantor karena ada jadwal meeting."
Dengan cepat Asila menyahut. "Tidak perlu! Saya bisa menemaninya sendiri. Orang tua saya juga akan ke sini. Saya harap setelah ini lebih baik anda tidak pernah muncul lagi."
"Kamu nggak boleh egois gitu! Bagaimana aku tidak datang, mereka itu anak-anakku! Kamu nggak berhak untuk melarangku bertemu dengan mereka!"
Niatnya pergi ke rumah sakit hanya ingin mengambil hasil tes DNA malah berakhir di berankar dan mendonorkan darahnya. Tapi tak masalah, setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa putrinya. Tapi sayangnya, Asila terlalu egois, dia tidak ingin anaknya mengenalinya sebagai ayah mereka.
"Tuan, anda mengerti bahasa manusia kan? Kalau saya bilang tidak perlu ya tidak perlu! Anda tidak usah cari perhatian di depan anak-anak. Anak-anak tidak butuh anda, bahkan mereka tidak mengenali anda. Saya berterimakasih karena anda sudi mengulurkan bantuan buat Sheila, saya berharap anda membantunya dengan iklas. Untuk balas budi saya rasa nggak harus menjadikan saya sebagai asisten pribadi apalagi sampai mengajak saya menikah, karena itu tidak akan terjadi."
Di situ Edgar hanya terbengong tak berkomentar banyak. Baru kali ini didapati wanita yang begitu angkuh dan tak peduli dengan niat baiknya, padahal di luar sana banyak wanita yang ngantri untuk menjadi kekasihnya, tapi sayangnya ia tak pernah berpikir untuk menjalin hubungan serius dengan mereka.
"Mommy ini dicariin ternyata ada di sini! Ngapain mommy di sini? Lagi pacaran ya?!"
Asila menoleh pintu yang terbuka dan mendapati sosok anak kecil berdiri sembari mengomel di depan pintu. Dia mengulas senyuman tipis dan bergegas untuk mendekatinya.
"Kamu kok tahu kalau mommy ada di sini?"
"Ya tahu lah, aku dari tadi muter muter nyariin mommy, eh ternyata ada di sini. Ngapain mommy di sini, bersama dengan orang jahat pila! Memangnya mommy nggak takut dicelakai sama dia?"
Sengaja Asila tidak memberikan penjelasan mengenai ayah kandung mereka, mungkin akan lebih baik jika mereka tidak pernah mengenali sosok ayahnya. Asila yakin anak-anaknya tidak akan peduli dengan kehadiran ayahnya, apakah mereka sebelumnya pernah cekcok, sudah pasti jika sampai mereka tahu bakalan semakin membencinya.
"Udah, kamu nggak usah khawatir, mommy bisa jaga diri kok," jawab Asila.
"Kamu sudah salah paham sayang! Daddy bukan orang jahat. Daddy hanya ingin mengobrol sebentar dengan mommy kamu."
Kening Dylan mengerut. Dia tercengang saat mendengar penjelasannya.
"Mom, bisa dijelaskan? Sebenarnya om jahat itu siapa sih? Kok dia bilang Daddy? Apa dia itu Daddy kami? Tapi bukannya mommy selalu bilang kalau Daddy sudah meninggal? Apa jangan-jangan selama ini mommy sudah membohongi kami?"
'sial! Jadi selama ini aku sudah dianggap mati. Benar-benar keterlaluan Asila!' Edgar mendumel mendengar ocehan anaknya yang ternyata selama ini sudah menganggapnya mati. Asila cukup keterlaluan, bahkan dia tega menutupi rahasia sebesar ini dari anaknya.
Asila berjongkok mensejajarinya. Di situ ia nampak kebingungan untuk memberikan penjelasan, haruskah ia mengaku bahwa pria yang tengah bersamanya itu ayah kandung mereka?
"Mom! Kok mommy ditanya malah diam sih? Ayo jelasin siapa om jahat ini mom! Apa benar yang dikatakannya itu?"
Dengan cepat Edgar menyahut, dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Sudah bertahun-tahun ia hidup dalam kegelisahan dan rasa berdosa, kini sudah waktunya ia mendapatkan pengakuan.
"Ya, tentu saja benar sayang, aku ini Daddy kamu, ayah kandung kamu. Aku belum mati, tapi mommy kamu sudah menganggapku mati!"