Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Studi Kasus Pengendalian Emosi
Mobil Gus Ammar Fikri melaju kencang, meninggalkan kampus dan Revan yang kini sudah hancur lebur secara emosional. Keheningan di dalam mobil terasa memekakkan telinga, namun kali ini, ketegangan itu tidak hanya berasal dari Ammar, tetapi juga dari rasa malu yang membakar diriku.
"Tarik napas, Saudari Indira. Lalu keluarkan perlahan," perintah Ammar, tanpa menoleh, suaranya tenang dan teruku.
"Baik. Sekarang, mari kita mulai Studi Kasus Pengendalian Emosi yang saya siapkan hari ini," lanjut Ammar, terdengar seperti seorang profesor yang akan menguji mahasiswanya. "Kasus hari ini adalah Intervensi Variabel Non-Produktif."
Aku tahu dia sedang membicarakan Revan.
"Tujuan utama taaruf kita adalah menciptakan stabilitas. Dan hari ini, Anda gagal total dalam menjaga stabilitas emosional Anda di lingkungan yang berisiko."
"Saya... saya tidak gagal, Gus," belaku, suaraku bergetar. "Saya sudah memegang janji saya. Saya tidak menghubunginya. Dia yang datang kepada saya."
Ammar mendengus pelan, sebuah suara yang terdengar seperti evaluasi negatif. "Itu pembelaan yang lemah. Seorang manajer yang baik tidak menyalahkan variable eksternal. Dia harus memiliki sistem pertahanan yang kokoh."
"Pertahanan seperti apa yang Anda inginkan, Gus? Saya sudah menundukkan pandangan dan menjaga jarak!"
"Pertahanan intelektual, Saudari Indira. Saat Bapak Revan mengajukan klaim tentang cintanya yang suci karena ia tidak menyentuh Anda, Anda justru terdiam," kata Ammar, suaranya kini meninggi sedikit. "Keheningan Anda adalah konfirmasi yang disalahartikan. Itu menunjukkan Anda masih membenarkan ide pacaran syar'i yang ia usung."
Aku terhenyak. Ammar benar. Aku terdiam karena aku sendiri masih bingung harus meletakkan di mana nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru ini.
"Pacaran syar'i, Gus?" tanyaku.
Ammar menghela napas, seolah berhadapan dengan murid yang lambat mencerna. "Jangan ulangi istilah bodoh itu. Tidak ada pacaran dalam Islam, syar'i atau tidak syar'i. Ada ikatan halal atau pelanggaran. Titik."
Ammar memperlambat laju mobilnya di tepi jalan yang sepi. Ia menoleh ke arahku, tatapannya menusuk ke dalam jiwaku.
"Dengar saya baik-baik, Saudari Indira. Anda harus berhenti bersikap abu-abu. Anda tidak bisa berdiri di dua garis batas yang berbeda. Anda sudah memilih saya, yang mewakili Garis Batas Keyakinan yang mutlak."
"Maka, konsekuensinya, Anda harus benar-benar meninggalkan ideologi lama Anda. Anda membiarkan pria itu bangga dengan cintanya yang tanpa sentuhan, padahal Anda dan dia sama-sama melakukan zina hati yang diharamkan. Itu adalah penghinaan terhadap Islam, dan itu adalah penghinaan terhadap saya sebagai calon imam Anda."
"Saya tidak bermaksud begitu, Gus!"
"Maksud dan hasil seringkali berbeda, Saudari Indira. Hasilnya adalah: Anda terlihat goyah, dan dia merasa terlegitimasi. Dan itu sangat merusak citra publik dan stabilitas taaruf kita."
Ammar kembali menyalakan mobil, melanjutkan perjalanan. Suasana kembali dingin, dan kali ini, ada sindiran tajam dalam suaranya.
"Anda ingin tahu bagaimana seharusnya Anda merespons tadi?" tanya Ammar.
"Bagaimana, Gus?"
"Anda seharusnya menjawab: 'Terima kasih atas kepedulian Anda, Bapak Revan, tetapi saya sekarang mengikuti tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah, di mana saya tidak memerlukan pacar karena saya sedang menuju suami.' Anda harus bersikap setegas dan sejelas itu."
Ammar kemudian tersenyum tipis, senyum mengejek yang membuatku ingin menangis.
"Tapi, Anda tidak bisa. Karena Anda lebih menghargai perasaan pria itu daripada ketegasan syariat. Anda lebih peduli pada drama romansa, daripada kepastian halal."
"Jangan anggap saya tidak peduli pada hati Anda, Saudari Indira. Justru karena saya peduli, saya ingin Anda segera membersihkannya. Hati yang bersih adalah aset terbesar seorang istri. Hati yang penuh variable adalah beban. Dan saya tidak suka membawa beban."
Ammar mengakhiri sesi coaching yang kejam itu dengan perintah yang sangat jelas.
"Mulai sekarang, setiap kali Anda merasa goyah, atau setiap kali ada variable dari masa lalu yang muncul, segera hubungi saya," perintahnya. "Laporkan. Jangan diam. Saya adalah Manajer Risiko Anda. Saya ada untuk mengendalikan krisis sebelum terjadi."
"Atau," tambahnya, melirik spion, "Anda bisa memilih untuk terus bermain-main dengan drama, dan saya akan menarik diri dari perjanjian taaruf ini. Pilihan ada di tangan Anda, Saudari Indira."
Aku menundukkan kepala. Aku kalah telak dalam sesi coaching ini. Ammar tidak hanya menaklukkan Revan, tetapi juga menaklukkan sisa-sisa idealismeku yang rapuh.
"Saya mengerti, Gus. Saya akan melaporkan setiap variable yang muncul," janjiku, suaraku kini sepenuhnya tunduk.
Taaruf yang dingin ini kini berubah menjadi sebuah pelatihan militer untuk membersihkan hati dan menguatkan iman.