Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penolakan
Sudah sebulan berlalu sejak malam itu di pantai. Waktu berjalan dengan tenang, membawa perubahan kecil yang terasa hangat di antara mereka. Taeri kini tampak lebih ringan dalam langkahnya, tidak lagi menyimpan pandangan ragu saat menatap Azey. Ia mulai terbiasa dengan kebersamaan yang tidak menekan, hanya menenangkan.
Taeri menyusuri jalan setapak di antara hamparan bunga yang tertata rapi di taman. Jari-jarinya menari lembut di antara kelopak bunga, seolah memastikan setiap kuntum mendapatkan sentuhan kasih sayang.
"Wah, kalian tumbuh begitu pesat," gumamnya seraya menunduk, kemudian mengecup mawar merah yang baru merekah. "Semoga kali ini kamu tidak layu sebelum sempat kunikmati keindahanmu."
Dari gazebo, Azey duduk bersantai dengan ekspresi datarnya yang khas. Dengan nada suara berat namun menggoda, ia memanggil Taeri, "Sayang."
Taeri menoleh, matanya langsung bersirobok dengan tatapan intens Azey yang tampak malas.
"Beristirahatlah sejenak. Kamu sudah berkeliling taman sejak tadi. Atau..." bibirnya menyunggingkan senyum tipis, "...semua bunga ini akan kubuang saja."
Taeri mendengus kesal. Ia bergegas menghampiri gazebo, lalu tanpa ragu duduk di pangkuan Azey.
"Jangan mengancam seperti itu, jahat sekali," protesnya seraya mengerucutkan bibir.
Azey terkekeh pelan, kemudian mengecup pipi Taeri yang merengut.
"Jika tidak ada bunga, taman ini akan tampak seperti kuburan. Mama Bella pasti enggan datang ke sini."
Senyum Azey memudar saat mendengar nama itu. Tangannya yang semula santai kini mengusap lembut rambut Taeri.
"Apa saja yang kalian bicarakan kemarin dengan Mommy?" tanyanya datar, meski jemarinya tetap bermain-main di paha Taeri. "Sepertinya sangat menyenangkan, hingga wajahmu berseri-seri seperti itu."
Taeri menunduk, pipinya merona merah. Ia menggigit bibir sebelum menjawab dengan suara pelan.
"Kemarin kami memasak bersama, lalu berlatih yoga juga. Mama sangat pandai memasak, aku bahkan diajari resep baru." Suaranya terdengar antusias, meski tubuhnya sedikit bergetar karena Azey yang terus mengecupi lehernya. "Tapi tahukah kamu... aku merasa gugup sekali saat pertama kali bertemu Mama."
Azey tersenyum tipis, lalu menghentikan ciumannya. Ia menatap Taeri sejenak, seolah puas dengan jawaban itu, kemudian berdiri sambil menggandeng tangannya.
"Cukup bermainnya. Ayo masuk, kita sarapan. Kamu pasti lapar setelah berkebun."
Di sebuah restoran modern dengan pencahayaan temaram, Yuna duduk berhadapan dengan Marcelo. Gurat kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya saat menatap pria di hadapannya itu.
"Pak Marcelo, apakah Bapak masih terus memikirkan Taeri?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Marcelo tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. Ia menangkap tatapan iba Yuna, namun berusaha mengabaikannya.
"Bapak tahu sendiri, bukan? Terlepas dari semua isu tentang Tuan Azey... Taeri tampak bahagia bersamanya." Yuna mencoba menyampaikan pendapatnya, meski hatinya terasa nyeri.
Senyum Marcelo memudar. Ia menatap Yuna dengan intens, seolah tidak setuju dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku tidak yakin, Yuna. Bisa jadi Taeri hanya berpura-pura bahagia, menyembunyikan sesuatu dari kita." Rahangnya mengeras, nada bicaranya bergetar menahan gejolak emosi. "Kau tidak tahu bagaimana perasaanku, Yuna. Setiap malam aku memikirkannya... membayangkan keadaannya di sana."
Yuna terdiam, dadanya terasa sesak. Pengakuan itu bagaikan pisau yang mengiris hatinya, pria yang dicintainya justru mengungkapkan cinta untuk wanita lain. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berucap, "Saya... saya lelah mendengar nama Taeri dari bibir Bapak. Jujur saja, saya kecewa. Apa Bapak tidak pernah melihat wanita lain di sekitar Bapak yang mungkin... mencintai Bapak? Apakah Bapak terlalu dibutakan oleh Taeri?"
Marcelo menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah baru menyadari keberadaan Yuna. Namun, ia tidak berupaya menahan Yuna ketika gadis itu beranjak dari kursinya.
Yuna bergegas keluar dari restoran, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenangi pelupuk matanya. Langkahnya sedikit goyah, namun ia mencoba tegar di hadapan orang-orang yang memperhatikannya. Apakah Bapak benar-benar tidak menyadari perasaanku? Atau Bapak hanya memilih untuk pura-pura tidak tahu? batinnya merintih.
Sesampainya di parkiran, ia segera masuk ke mobilnya. Air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. Dengan suara serak, ia bergumam penuh kekecewaan, "Saya sudah mencoba berkali-kali menunjukkan perasaan ini, Pak... tapi Bapak selalu mengabaikannya. Mungkin... mungkin setelah ini, saya harus mengubur dalam-dalam perasaan ini. Sekalipun suatu hari nanti Bapak membuka hati, saya tidak akan kembali."
Mesin mobil meraung, menelan sunyinya malam dengan suara beringas. Yuna melaju meninggalkan restoran, membawa luka yang hanya ia sendiri yang tahu. Pedal gas diinjak semakin dalam, seolah kecepatan mampu menghapus air mata yang masih membasahi pipinya.
Lampu merah menyala. Dari arah kanan, sebuah mobil hendak menyeberang. Yuna tersentak, membanting setir ke kiri. Namun, sisi mobilnya tetap menghantam bagian belakang kendaraan di depannya. Dentuman keras mengguncang tubuhnya, membuat kepalanya terbentur dasbor. Darah hangat mengalir di pelipisnya. Dengan pandangan kabur, ia sempat melihat sosok pria tampan keluar dari mobil yang ditabraknya. "Tu... tuan... maafkan aku," bisiknya, nyaris kehilangan kesadaran.
Leonardo melangkah keluar, wajahnya serius, dingin, namun tetap tenang. Tatapan matanya menusuk, seolah menilai sekaligus menghukum. Ia mendekati Yuna yang terhuyung dengan darah mengalir di kepalanya. Tanpa ragu, ia mengangkat tubuh Yuna dengan kasar, seakan gadis itu hanya sebuah beban. "Gadis merepotkan. Harus kubawa ke mana sekarang? Hm... sepertinya tidak terlalu parah," gumamnya, dengan nada suara dingin namun terkendali.
Yuna membuka mata setengah, suaranya lemah dan tercekat, sebelum akhirnya pingsan di kursi mobil Leonardo.
"Nah, begini lebih baik. Diam saja, jangan menambah masalah," ucapnya singkat. "Aku bawa kau ke penthouse-ku. Di sana aku bisa mengurus lukamu... dengan caraku."
Sepanjang perjalanan, Leonardo sesekali memeriksa napas dan denyut nadi Yuna. Wajahnya tetap tenang, meski ada kilatan kesal yang tersembunyi di balik sorot matanya.
Setibanya di penthouse, ia mengangkat Yuna masuk dengan langkah cepat. Tubuh rapuh itu diletakkan di sofa, lalu Leonardo mencari kain bersih untuk membersihkan darah. Tangannya cekatan, namun kata-katanya beracun.
"Jangan sampai kau menyeretku ke dalam masalah, merpati kecil. Atau akan kusingkirkan kau dari dunia ini," bisiknya dingin, sambil merawat luka Yuna. "Masalah di organisasiku sudah menumpuk... dan kau bisa menjadi tambahan yang tidak kuinginkan."
Taeri baru saja tiba di kampus. Azey membantunya turun dari mobil, dan senyum manis menghiasi wajahnya. Udara pagi terasa dingin dan segar, bercampur dengan riuh langkah mahasiswa yang memenuhi halaman. Taeri menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk hari yang melelahkan, ketika suara Azey memecah lamunannya:
“Little girl, jangan lupa hubungi aku nanti. Aku tidak menerima alasan apa pun. Jika melanggar, bersiaplah menerima hukuman.”
Taeri mendengus, enggan menanggapi nada berlebihan itu. “Sayang, jangan posesif,” bisiknya sambil mengusap pipi Azey. “Tidak ada yang cukup gila untuk menyentuhku. Mereka akan berpikir seribu kali.” Ia tersenyum tipis, lalu mengecup bibirnya singkat. “Dadah, my boy.”
Namun, Azey menariknya kembali. Senyumnya berubah menjadi lebih gelap, dan tanpa peringatan, ia menciumnya dalam-dalam. Taeri terkejut, matanya melebar, tetapi ia tidak menolak. Perlahan, Taeri membalas ciuman itu di depan orang-orang yang lewat. Nafas mereka bertubrukan, seolah waktu berhenti.
“Jangan pernah bilang aku posesif,” bisik Azey, suaranya rendah, seperti ancaman yang dibungkus cinta. “Aku melakukan ini demi kamu. Musuhku ada di mana-mana, dan mereka bisa menjadikanmu target.”
Ia mengusap bibir Taeri, lalu melepaskan pelukan dengan enggan. Taeri tersenyum, menepuk dada Azey lembut. “Tenang. Aku tahu di mana aku berdiri dan dengan siapa aku hidup. Jangan khawatir, aku tidak akan pulang sendirian.”
Azey menatapnya penuh perhatian dan gelisah. Akhirnya, ia membiarkan Taeri masuk ke kampus, lalu pergi ke kantornya.
Taeri melangkah ke kelas, mencari Yuna, tetapi kursi itu kosong. Yuna belum datang? pikirnya. Ia menoleh pada temannya.
“Eh, ada yang tahu Yuna ke mana? Kok tidak kelihatan?”
Temannya menjawab, “Tidak tahu, Tae. Kemarin dia sedih banget. Mungkin sakit, istirahat di asrama atau di rumah. Coba telepon saja.”
Taeri mengangguk. Ia hendak menekan nomor Yuna, tetapi Pak Marcelo masuk dengan tatapan kecewa. Taeri mengangkat alis, tak peduli, lalu duduk santai di mejanya, menyiapkan buku pelajaran dengan tenang.
Tepat saat pelajaran dimulai, Taeri merasa jurang ketertinggalannya semakin dalam. Sejak tinggal bersama Azey, beberapa daftar pelajaran penting bahkan nyaris lenyap dari ingatannya. Dengan ekspresi sedingin es, ia menatap Pak Marcelo dan bertanya dengan nada pelan namun menusuk, "Pak, untuk Seni Rupa besok, materi apa yang harus saya kuasai? Ada bagian yang kurang saya pahami."
Pak Marcelo menghela napas panjang, seolah menahan beban dunia di pundaknya. Kekecawaan terpancar jelas di wajahnya, luka yang tak mampu disembunyikan. "Kita akan membahas teknik menggambar bayangan dan perspektif. Sangat penting untuk mengasah kemampuan menggambar," jawabnya singkat, namun dingin menusuk hingga ke tulang. Hatinya masih berdenyut nyeri membayangkan Taeri sebahagia itu bersama Azey. Kenangan ciuman-ciuman mereka menghantuinya, semakin memperdalam rasa sakitnya.
Taeri mengangguk pelan, mencoba mencerna penjelasan Marcelo tanpa emosi. Tanpa mempedulikan tatapan kecewa yang membakar punggungnya, ia bertanya lagi, "Apa ada tips dari Bapak supaya saya bisa lebih cepat menguasai materi ini?"
Marcelo mendekat, mendudukkan dirinya di tepi meja Taeri. Ia berjuang keras mempertahankan sikap profesional, meskipun hatinya hancur berkeping-keping melihat gadis itu seolah tak terpengaruh oleh perasaannya. "Kamu harus sering berlatih menggambar langsung, jangan hanya terpaku pada teori. Amati benda-benda di sekitarmu, perhatikan bayangan mereka, dan bagaimana bentuknya berubah dari sudut pandang yang berbeda."
Taeri menyimak dengan seksama, jemarinya menari di atas keyboard laptop, mencatat poin-poin penting seolah tak ada ketegangan di antara mereka. "Oke, Pak. Saya akan berusaha lebih keras," ujarnya datar. "Terima kasih."
Marcelo akhirnya memaksakan senyum tipis, lalu bangkit dan meninggalkan ruangan. Taeri kembali membuka bukunya, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis yang tersembunyi. Kenapa, Pak? Sakit ya, diabaikan oleh orang yang kau cintai? Begitu juga yang dirasakan sahabatku, Pak. Ia tahu Marcelo kecewa dengan keputusannya untuk tinggal bersama Azey, namun penyesalan adalah kata yang tak ada dalam kamusnya.
Senja merayap tiba. Satu per satu mahasiswa meninggalkan kelas, termasuk Taeri. Gadis itu melangkah keluar, berniat menunggu kekasihnya. Namun, di gerbang utama, Pak Marcelo sudah berdiri tegak menunggunya. Tatapannya masih sarat akan kekecewaan yang pahit. "Taeri, bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya dengan suara berat yang bergetar.
Tanpa ragu, Taeri mengangguk, mengikuti Marcelo menuju sebuah bangku panjang di bawah naungan pohon tua. Ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara.
Marcelo menarik napas dalam-dalam, lalu membuka suara, "Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak hal, termasuk pilihan-pilihanmu. Tapi aku ingin kamu sadar, kamu itu pintar dan punya potensi yang luar biasa. Jangan biarkan pilihan hidupmu menjauhkanmu dari pelajaran atau membuatmu menyerah."
Taeri tersenyum sinis, merasakan beratnya kata-kata yang jelas menyindir kehidupannya. "Saya tahu, Pak. Tapi terkadang hal yang Bapak anggap tidak baik, justru itulah yang membuat saya bahagia," ujarnya datar. "Dan satu hal lagi, Bapak tidak perlu bersusah payah memikirkan saya. Saya bisa mengurus diri sendiri."
Marcelo menatapnya dengan intens, lalu suaranya melembut, hampir terdengar seperti permohonan. "Taeri, sebenarnya... sudah lama aku ingin mengatakan ini." Ia berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Aku menganggapmu lebih dari sekadar murid. Aku peduli... lebih dari yang seharusnya."
Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam tangan Taeri. Namun, dengan gerakan cepat, gadis itu menepisnya, menatap tajam dengan ketegasan yang membakar. "Pak, tolong hargai batasan ini. Saya bukan orang yang bisa Bapak perlakukan seperti itu. Saya sudah punya kekasih."
Marcelo terdiam, wajahnya memucat karena terpukul. Ia berusaha tegar, meskipun hatinya hancur menjadi debu. Taeri berdiri tegak, tatapannya tak bergeming sedikit pun. "Saya berterima kasih atas perhatian Bapak, tapi jangan campuri hidup saya dengan perasaan seperti itu. Saya sudah membuat pilihan terbaik untuk kehidupan saya."
Ia berbalik, melangkah pergi, namun sempat menoleh sekilas. "Ingat pak, masih ada gadis lain yang mencintaimu, tapi kau menyia-nyiakan perasaannya. Dan sekarang, saya tidak tahu di mana dia berada."
Taeri meninggalkan Marcelo yang hanya bisa terpaku menatap punggungnya yang menjauh. Wajah pria itu memancarkan kesedihan dan keputusasaan yang mendalam, menyadari bahwa batas yang telah ditunjukkan Taeri adalah tembok yang tak mungkin ditembus. Dalam keheningan yang mencekam, ia teringat pada sosok lain yang pernah mengisi hari-harinya.
"Yuna..." gumamnya lirih, seakan menyebut nama itu membawa sedikit ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam jiwanya.