“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 - DOKTER YANG
Langkah-langkahnya terdengar lembut di lorong panjang Hanazawa Medical Center. Cahaya putih dari lampu langit-langit menyapu lantai marmer yang berkilau, memantulkan bayangan tubuhnya yang anggun dalam balutan jas dokter berwarna biru muda.
Di dada kirinya, tergantung kartu identitas bertuliskan nama yang bahkan terasa asing di matanya sendiri.
Dr. Yang Mei.
Bukan Dr. Xia.
Nama yang selama ini melekat pada semua gelar, keberhasilan, dan warisannya sebagai salah satu dokter paling berpengaruh di Asia kini lenyap di balik nama samaran yang diciptakan oleh tangannya sendiri.
Xia menarik napas pelan.
Udara di Hanazawa terasa berbeda. Terlalu tenang. Terlalu bersih, hingga seakan menyembunyikan sesuatu yang dingin di bawah permukaannya.
“Dokter Yang?” suara lembut perawat di meja administrasi memecah lamunannya.
Xia menoleh cepat. Senyum tipis terlukis di wajahnya, sopan, profesional. Senyum yang ia latih bertahun-tahun untuk menyembunyikan isi hatinya.
“Ya. Saya dijadwalkan untuk menangani pasien atas nama Yu Liang.”
Perawat itu sempat menatapnya, seolah mencoba mengenali wajahnya. Tapi Xia tahu betul cara menghilang dari sorotan, cara menundukkan cahaya agar tak memantul ke dirinya.
Dengan satu gerakan halus, ia menyerahkan dokumen yang sudah disiapkan oleh Feng Xuan.
Begitu melewati pintu menuju ruang rawat khusus, langkahnya otomatis melambat.
Jantungnya berdetak pelan, namun berirama tak biasa.
Ruang itu tenang, hanya terdengar bunyi mesin monitor medis yang teratur. Di sanalah Yu Liang, tertidur dengan wajah yang tampak jauh lebih tenang daripada terakhir kali dia lihat di Tiansheng.
Cahaya sore jatuh lembut di wajah pria itu, menciptakan kontras halus antara luka masa lalu dan ketenangan semu yang kini menyelimutinya.
Xia berdiri di sana cukup lama, menatap tanpa sadar.
Dia tidak tahu apa yang mendorongnya datang sejauh ini, mengambil risiko sebesar itu, bahkan menyembunyikan identitasnya demi pria yang hampir tak pernah berbicara dengannya.
Apakah ini belas kasihan?
Atau… sesuatu yang lain?
Suara monitor detak jantung di ruangan itu menjadi satu-satunya irama yang menenangkan, sekaligus menghantui. Xia duduk di kursi samping tempat tidur pasien, jemarinya menggenggam buku catatan medis, tapi matanya… tak berpaling dari wajah pria itu.
Ada sesuatu yang selalu membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
Entah karena luka di sisi pelipis Yu Liang yang belum sepenuhnya sembuh, atau karena cara pria itu tampak begitu tenang di antara ketidakpastian hidup dan mati.
Dia menulis beberapa catatan di lembar medisnya, tidak lebih dari pekerjaan biasa, begitu ia yakinkan dirinya.
Namun, setiap kali matanya bertemu dengan garis rahang Yu Liang, atau setiap kali napas pria itu terdengar sedikit berat, hatinya justru mengeras.
"Kenapa aku melakukan ini...?" bisiknya nyaris tanpa suara.
"Ini bukan tugasku lagi."
Namun, bahkan setelah mengatakan itu, jemarinya tetap bergerak pelan membenarkan posisi selimut pasien. Sentuhan halus, penuh kehati-hatian. Seolah dia takut pria itu akan terluka jika disentuh dengan keras.
Tiba-tiba, suara serak lirih memecah keheningan.
“…dokter…?”
Suara itu membuat Xia menegakkan tubuh. Ia menatap Yu Liang yang mulai membuka mata perlahan. Tatapan pria itu kosong beberapa detik, sebelum akhirnya berhenti tepat padanya.
Mata mereka bertemu. Lagi.
Sejenak, waktu seakan berhenti.
Xia menahan napas, menunduk cepat, berusaha menyembunyikan ekspresi gugup yang tak seharusnya ada di wajah seorang dokter.
“Jangan bergerak dulu,” ujarnya datar, tapi nadanya sedikit bergetar. “Anda baru saja melewati masa kritis.”
Yu Liang hanya menatapnya tanpa suara. Lama.
Sampai akhirnya bibirnya bergerak pelan.
“…Aku mengenalmu.”
Dada Xia menegang.
Satu kalimat itu saja cukup membuat seluruh kendali dirinya goyah.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, pria itu kembali memejamkan mata, entah karena lelah, atau karena pengaruh obat.
Xia mengembuskan napas perlahan, berusaha menenangkan diri. Tapi hatinya sudah terlalu berisik.
Kata-kata itu terus berputar dalam kepalanya.
“Aku mengenalmu.”
Apakah Yu Liang benar-benar mengenal siapa dirinya sebenarnya… atau itu hanya kebetulan dari masa samar di antara kesadaran dan mimpi?
..
Malam itu, Hanazawa Medical Center terasa terlalu sunyi.
Hujan turun perlahan di luar jendela besar ruang rawat, menimbulkan suara ritmis yang berpadu dengan bunyi mesin monitor.
Xia duduk di meja kecil di sudut ruangan, lampu redup menyinari wajahnya yang fokus menatap layar tablet medis.
Ia memeriksa ulang seluruh data pasien bernama Yu Liang. Riwayat operasi, hasil tes darah, rekam aktivitas otak, semua yang seharusnya standar. Tapi ada sesuatu yang… tidak masuk akal.
Nilai enzim hati di laporan siang ini tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dia lakukan sendiri sore tadi.
Ada selisih signifikan.
Dan sistem mencatat hasil itu diunggah oleh staf laboratorium yang bahkan tidak bertugas hari ini.
Alis Xia perlahan bertaut.
Tangannya bergerak cepat membuka berkas tambahan yang dikunci oleh otorisasi internal rumah sakit. Akses itu seharusnya tidak mudah dibuka, tapi nama “Dr. Yang Mei”.
Identitas samaran yang dia gunakan, memiliki prioritas tinggi karena rekomendasi langsung dari dewan direktur.
Beberapa detik kemudian, layar menampilkan sesuatu yang membuat napasnya tertahan.
Ada dua versi hasil pemeriksaan Yu Liang.
Satu, mencatatkan kondisi stabil.
Satu lagi, menunjukkan tanda-tanda keracunan sistemik tingkat rendah, hasil yang seharusnya tidak pernah dilewatkan oleh tim medis.
“Siapa yang mengubah ini…” bisiknya.
Ia berdiri perlahan, menatap tubuh Yu Liang yang terbaring tenang di bawah cahaya lembut monitor jantung. Luka di pelipisnya tampak samar dalam cahaya, tapi entah kenapa… bayangan rasa bersalah menyelip di dada Xia.
Dia melangkah mendekat, jemarinya menyentuh pelan pergelangan tangan pria itu, memeriksa denyut nadi, memastikan semuanya normal. Tapi di balik tindakan medisnya, ada perasaan lain yang berusaha dia tolak.
“Kenapa aku peduli sejauh ini…” ucapnya berkali-kali, nyaris tak terdengar.
Hujan di luar semakin deras.
Cahaya lampu monitor berdenyut lembut di wajah Yu Liang, dan di saat itulah, sesuatu di dadanya mulai terasa salah.
Sebuah luka kecil di sisi leher pasien, hampir tak terlihat, tertutup perban halus, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan kening. Luka itu tidak tercatat di laporan medis mana pun.
Dan lebih dari itu, bentuknya… terlalu rapi. Terlalu presisi untuk sekadar cedera kecelakaan.
Xia menatapnya lama.
Matanya perlahan mengeras.
Sekejap, kelembutan di wajahnya lenyap, berganti ketegasan dingin seorang pemimpin yang pernah tersembunyi.
“Xuan,” bisiknya pelan melalui earpiece kecil yang nyaris tak terlihat di balik rambutnya.
“Hubungkan aku dengan tim bayangan. Sekarang juga. Dan kunci akses sistem Hanazawa Medical Center. Jangan biarkan siapa pun menyentuh data pasien nomor 14729.”
Suara Xuan di seberang terdengar kaget. “Itu nomor—”
“Yu Liang,” potong Xia cepat, nadanya dingin. “Mulai malam ini, aku sendiri yang menangani semua laporan tentangnya.”
Ia menatap lagi ke arah Yu Liang, kali ini dengan pandangan yang tak lagi hanya dipenuhi rasa iba, melainkan juga tekad, dan ketakutan halus yang bahkan dia sendiri tak mengerti.
Karena entah mengapa, dalam hatinya, dia tahu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perawatan medis… sedang bersembunyi di balik nama Yu Liang.