NovelToon NovelToon
Ketika Badai Bertemu Dengan Jenderal

Ketika Badai Bertemu Dengan Jenderal

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Cinta pada Pandangan Pertama / Reinkarnasi / Dokter Genius / Fantasi Wanita
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: linda huang

Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.

Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.

Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.

Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Kediaman Jenderal Fang.

Max berlari masuk sambil menggendong Storm yang tubuhnya penuh darah. Napasnya memburu, hampir tersendat oleh rasa panik.

“Jenderal! Jenderal!” serunya, suara bergetar.

Lucien yang sedang duduk di ruang tamu—di kursi rodanya—mengangkat kepala. Mata besarnya langsung membulat ketika melihat keadaan Storm. Wajahnya yang biasanya tenang berubah suram, seakan seluruh ruangan ikut menegang.

“Apa yang terjadi padanya…?” gumam Lucien lirih, namun nada suaranya segera berubah tajam. “Panggil dokter!”

Pelayan dan pengawal segera bergerak. Dalam hitungan menit, dokter keluarga Fang tiba dan langsung masuk ke kamar, sementara Max menunggu di luar dengan tangan berlumuran darah.

Beberapa saat kemudian.

Dokter itu akhirnya keluar setelah membersihkan dan membalut luka-luka Storm. Lengan bajunya sedikit tercoreng darah, terlihat bahwa ia bekerja dengan tergesa-gesa.

“Jenderal,” ucapnya sambil menunduk hormat, “luka nona sudah dibersihkan dan dibalut. Namun kondisinya sangat lemah. Lukanya cukup dalam dan ia kehilangan banyak darah.”

Rahang Lucien mengeras. “Apakah nyawanya bisa diselamatkan?”

Dokter menelan ludah sebelum menjawab. “Itu… tergantung pada kondisinya, Jenderal. Jika ia kuat melewati malam ini, kemungkinan hidupnya besar. Tapi jika—”

Lucien menghentakkan pegangan kursi rodanya ke lantai.

“Dengarkan baik-baik,” suaranya rendah namun menusuk seperti bilah besi yang dingin, “kalau Ah Zhu sampai meninggal… kalian semua akan dikubur bersamanya.”

Dokter itu langsung pucat. Para pelayan di sekitar menundukkan kepala, tak berani bernapas terlalu keras. Max mengepalkan tangan, merasa bersalah sekaligus takut.

“Jenderal, kami akan berusaha,” ucap dokter itu pelan.

“Aku tidak butuh janji,” balas Lucien, suaranya tajam dan dingin, “yang aku inginkan adalah hasilnya.”

Wajah dokter itu menegang. Sebelum ia sempat berkata apa pun, Lucien melanjutkan,

“Panggil semua dokter terbaik dari rumah sakit kalian ke sini. Sekarang.”

“Baik… Jenderal!” Dokter itu segera membungkuk dan bergegas keluar, jelas terlihat ketakutan.

Beberapa saat kemudian.

Di dalam kamar, Storm terbaring tak sadarkan diri—wajahnya pucat, napasnya panjang-pendek. Hanya suara detak jarum jam yang menemani malam yang menegangkan itu.

Lucien mendorong kursi rodanya masuk ke kamar Storm. Ruangan itu dipenuhi aroma obat dan darah yang samar. Lampu di samping ranjang menyala lembut, namun cukup untuk memperlihatkan betapa pucatnya wajah gadis itu. Napasnya lemah, seakan setiap hembusan adalah pertarungan.

Lucien menatapnya lama, sorot matanya tak lagi dingin seperti biasanya. Ada kemarahan, tetapi juga ketakutan yang dalam—sesuatu yang hampir tak pernah terlihat darinya.

“Kau harus sadar…” bisiknya perlahan, “kau tidak boleh mati.”

Nada suaranya terdengar seperti perintah sekaligus permohonan.

Max berdiri tak jauh dari pintu, menunggu dengan gelisah. Lucien menoleh.

“Max, apakah sudah temukan markas mereka?”

“Anggotanya sedang kita interogasi, Jenderal. Kita akan segera tahu.”

Max menjawab dengan tubuh tegap, meski jelas ia menahan amarah dan rasa bersalah.

Ekspresi Lucien mengeras. “Hukum mereka dengan cara yang paling keji,” katanya tanpa ragu. “Berani menyentuh orangku… mereka harus menerima akibatnya.”

Max mengangguk dalam. “Siap, Jenderal.”

***

Malam itu terasa begitu panjang. Lampu kamar dibiarkan redup, hanya memberikan cahaya lembut yang menyinari wajah pucat Storm. Udara dingin merayap perlahan, namun Lucien tetap berada di samping ranjang, tidak bergeming sedikit pun sejak sore.

Ia duduk di kursi rodanya, tubuh sedikit condong ke depan. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah gadis itu—seakan takut jika ia berkedip, Storm akan hilang selamanya.

Di tengah kesunyian, Storm yang tidak sadar tiba-tiba bergumam lirih.

“Pa… Ma…” suaranya lemah, hampir tak terdengar, seperti memanggil bayangan yang jauh.

Lucien tersentak kecil. Ia segera meraih tangan Storm, menggenggamnya dengan hati-hati.

“Ah Zhu…” panggilnya pelan namun penuh tekanan emosi.

Tangan gadis itu dingin. Lucien menunduk sedikit, suaranya gemetar samar—suara yang jarang dimiliki seorang jenderal sekeras dirinya.

“Ah Zhu, aku berusaha membuatmu tetap di sisiku,” bisiknya, “tapi justru membuatmu menjadi sasaran musuhku.”

Ia menutup mata sejenak, menahan rasa bersalah yang menyesakkan dada.

“Ini salahku… jika saja aku lebih hati-hati… kau tidak akan seperti ini.”

Keesokan harinya.

Cahaya matahari pagi masuk melalui tirai tipis, menerangi kamar yang sejak semalam penuh kecemasan. Dua dokter terbaik yang dipanggil Lucien tiba dan segera memeriksa Storm. Salah satu dokter mengganti balutan luka dengan hati-hati, sementara dokter lainnya memeriksa nadi di pergelangan tangan gadis itu.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan tegang sebelum salah satu dari mereka menghela napas.

“Nadinya sangat lemah,” ucapnya pelan. “Nona… membutuhkan keajaiban.”

Wajah Lucien mengeras. Tatapannya tajam seperti bilah pedang.

“Maksudmu Ah Zhu tidak bisa sadar dan hanya menunggu waktu?”

Dokter itu menundukkan kepala, gugup. “Jenderal… maafkan kami. Kami hanya bisa mengobati lukanya. Mengenai dia dapat bertahan atau tidak… semua ini tergantung pada takdir.”

Dokter yang lain menyerahkan selembar resep. “Ini daftar obat yang harus diberikan. Jangan lupa berikan minum pada Nona sesuai waktu yang ditentukan.”

Lucien mengetukkan jarinya pada sandaran kursi roda, jelas menahan kesal. “Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun. Dan aku tidak percaya pada takdir.” Suaranya berat dan tajam.

“Yang aku percaya adalah nasib dapat kita tentukan dengan tangan kita sendiri. Begitu juga dengan Ah Zhu.”

Ia menatap Storm sesaat, sebelum kembali menatap para dokter. “Dia harus bertahan. Belum waktunya untuk mati.”

“Keluar!” bentaknya tiba-tiba.

Kedua dokter itu tersentak dan segera pergi dengan wajah pucat, takut membuat kesalahan sedikit pun di hadapan Jenderal Fang.

Di dalam kamar, hanya suara napas Storm yang lemah yang tersisa, namun tekad Lucien terasa memenuhi seluruh ruangan seperti tekanan yang tak kasat mata.

Storm yang tidak sadar tetap terbaring dengan napas pelan. Namun di balik kelopak matanya yang tertutup, seolah ada sesuatu yang bergerak. Suara samar—entah mimpi atau panggilan dari kejauhan—mulai terdengar.

“Storm…”

Suara seorang pria, lembut namun penuh desakan, seakan memanggil dari tempat yang tidak bisa dijangkau.

“Storm, bangun… jangan pergi lagi.”

Alis Storm bergetar. Bola matanya bergerak pelan di balik kelopak, seakan ia berjuang naik ke permukaan.

Lucien yang duduk di sisi ranjang segera menyadari perubahan itu. Matanya yang sejak tadi penuh kecemasan langsung menajam.

“Ah Zhu…?” Ia mendekat sedikit. “Ah Zhu, kau dengar suaraku?”

Namun bukan suara Lucien yang Storm dengar di dalam dunia mimpinya.

“Storm!”

Suara pria itu terdengar lebih jelas, seperti seseorang meraih bahunya dalam kegelapan.

Storm mengernyit, jemari tangannya bergerak sedikit—isyarat kecil namun cukup untuk membuat dada Lucien menegang.

“Ah Zhu… bertahanlah,” ujar Lucien dengan suara serak, tak menyadari bahwa gadis itu sedang terseret antara dua suara, dua dunia.

1
merry
🤣🤣🤣🤣🤣 sakit perut kuu 🤣🤣🤣🤣 nic cck dgnn stromm 🤣🤣🤣🤣🤣 rame tu rumhhh dh gede ajj rusuh gmnn wktu mrk. kcil yaa
Rizky prasetyor862@gmail.com
munkin kah lucie fang reinkarnasi nya tuan xi ya thor
Inez Putri
bagus lanjut thour
Lina Hibanika
tapi rese juga ni jenderal nya😑
Lina Hibanika
alias waria 😂😂😂
Etty Rohaeti
lanjut
Wahyu Ningsih
sakit perut saya karena ketawa aja
Lina Hibanika
sama sama asal ceplos aja klo ngomong 😂
🍁𝐘𝐖❣️💋🅃🅁🄸🄿🄻🄴'🅁👻ᴸᴷ
Ini yg nama ny, Jodoh mesti yg Setara 🔥🔥🔥
Lina Hibanika
percayalah storm punya kemampuan khusus
Jessica Xie
halo thor ini kan bab yg judulnya gadis milik raja macau koq malah ke judul ini thor
Pikachu: Eh, maaf kak. slh up rupanya🙏🙏🙏.terima kasih pemberitahuannya🙏🙏
total 1 replies
Lina Hibanika
walaupun terusir tapi si mimi pasti akan selalu balas dendam
Lina Hibanika
klo dia bukan Strom trus menurutmu dia siapa Mimi?
tapilu
kenapa part nya diulang
Pikachu: Maaf,kak. salah upload🙏🙏🙏
total 1 replies
Lina Hibanika
waduh 😱 semoga ga kejadian deh storm kenapa napa
Lina Hibanika
siapa sih si mimi ini ngelunjak banget jadi anak angkat juga
Lina Hibanika
hahahaha,, kenapa pantatnya yang diarah storm 🤣
Lina Hibanika
mulai penasaran rupanya sang jenderal 😅
Lina Hibanika
hahahahaha 🤣🤣🤣
Lina Hibanika
biar tambah semangat updatenya ya thor 💪🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!