Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petunjuk?
Part 23
Hari ke-3
Mereka memperingati untuk menjauh dari manusia yang tergigit atau mendapat cakaran. Virus itu masuk melalui luka dari cairan tubuh mereka, seperti liur dan darah. Dan para tentara telah membarikade rumah sakit ini, memilah semua yang berlarian kemari. Menembaki yang tergigit dan terluka, entah itu anak-anak, lansia, atau bahkan orang yang kau kenal. Ini sungguh neraka. Dan aku di sini hanya bisa gemetar, menangis dan ketakutan atas dosa suamiku.
Hari ke-4
Aku bangkit. Jas putih yang tergantung di sudut ruangan telah menamparku. Medan perang yang pernah kuterjang dulu ternyata kini hanya menjadi kisah yang memalukan. Aku tak boleh bersembunyi. Akan kuhadapi api neraka yang bergolak di luar. Mereka butuh dokter yang bernyali.
Catatan melompat di hari yang cukup jauh. Sepertinya Erica tak sempat menyentuh buku ini lagi.
Hari ke‑12
Tinta ini gemetar di atas kertas. Setiap aku menulis, tanganku terasa dingin, bukan hanya karena udara di luar, tapi karena ketakutan melekat seperti darah kering di lantai ruang isolasi. Transfusi, antibiotik, bahkan prosedur bedah darurat! Semua sama: gagal. Tubuh mereka menggigil, lalu berhenti, mata kosong memandangku seolah aku tidak pernah ada. Aku dokter. Aku disumpah menyelamatkan. Tapi semua yang kupelajari, semua yang kupahami tidak berguna di sini.
Aku mendengar jeritan dari ruang sebelah; anak-anak menangis, ibunya tak lagi sama. Terpasung di ranjang, menggeram ganas. Aku menutup pintu ruang operasi, tanganku berlumuran antiseptik, berharap suara itu berhenti menembus dinding. Aku ingin menolong, tapi kaki ini terasa lumpuh. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih manusia yang sama seperti seminggu lalu.
Dewi … aku mohon! Ampunilah aku karena tidak mampu. Berikan aku jalan, atau setidaknya keberanian untuk tidak berhenti mencoba.Aku tahu Engkau mendengar meski kuil-Mu kini kosong, meski doa hanya bergema di ruang hampa. Jika Engkau masih ada, tataplah kami sekali saja.
Aku menulis ini sambil menangis. Tidak ada guru, tidak ada senior, tidak ada instruksi. Hanya aku, masker, sarung tangan, dan ratusan mayat. Jika aku berhenti menulis, mungkin aku akan lupa siapa aku. Aku Erica Valentina Volkova, hamba-Mu, seorang dokter. Akan tetap di sini walau seluruh dunia menutup pintu.
Hari ke‑15
Hari ini aku berhenti menghitung pasien yang meninggal. Bau antiseptik bercampur darah sudah jadi udara yang kuhirup. Tanganku gemetar saat menjahit luka, tapi bukan karena lelah. Aku takut. Takut setiap pasien yang kupegang akan berubah di depan mataku.
Aku tetap berdoa. Suaraku serak. Aku merasa doa ini hanya memantul di dinding. Tapi aku terus ucapkan nama‑Mu, walau tanpa jawaban.
Hari ke‑18
Malam ini lebih sunyi. Suara jeritan sudah jarang, mungkin karena mereka sudah berubah semua. Aku duduk di lantai ruang operasi, lututku kotor darah. Aku bertanya pada diri sendiri: masihkah aku dokter, atau hanya saksi dari kehancuran?
Dewi … kalau ini ujian, aku tak kuat lagi. Tapi aku tetap di sini. Jika Engkau melihatku, beri aku alasan untuk terus bangun esok pagi.
Hari ke -20
Mereka akan menjemputku besok. Vincent sudah tidak bisa bersabar. Baginya aku harus aman karena memang sudah tidak ada yang bisa kulakukan. Semua gagal dan sis-sia. Aku ingin menutup mata, dan terbangun esok pagi, mendapati semua ini hanya mimpi. Setiap hari kulakukan. Tapi itu tak pernah terjadi.
Dewi … apakah menyerah adalah jalanku?
Nero terdiam cukup lama membaca semua catatan itu. Dewi? Kuil? Apa itu kepercayaan mereka di dunia ini?
Nero memeriksa sampul buku. Pada bagian belakang tertulis nama tempat. Kuil Lunaris. Pada halaman selanjutnya berisi mengenai lantunan doa-doa untuk Dewi Penjaga dunia ini, Vaelora.
Seingatnya tidak ada narasi yang menjabarkan soal keberadaan Dewi Vaelora di dalam game. Tapi simbol yang tidak asing ini sungguh mengganggu. Duh, ini gak jelas. Belum bisa dikategorikan sebagai petunjuk. Tapi ini termasuk anomali yang gak diketahui dari game.
Nero mengamati isi ruangan sekali lagi dan mengingat kejanggalan pada tiap ruang yang ia periksa. Tapi satu hal yang jelas banget. Walaupun rumah sakit keliatan terbengkalai dari luar, gue yakin ada yang ngerawat tempat ini. Yang jelas bukan zombie. Tapi selama di sini gak ada satu pun manusia yang dateng. Apa datengnya di waktu tertentu aja? atau orangnya udah gak ada sebelum kami dateng?
Nero melirik foto yang terpajang di rak buku. Seorang wanita cantik yang mirip Mirai, hanya saja rambutnya berwarna blonde bermata biru sedang dipeluk dari belakang oleh seorang pria berambut hitam. Langsung saja ia mengambil dan memeriksanya, melepas foto dari bingkai dan menemukan catatan pendek di balik foto tersebut.
My beloved, Vincent.
Jadi ini mereka. Kami dipanggil di tempat yang berkaitan dengan nama lencana. Ia jadi teringat ketika mencari map di kantor polisi. Barang-barang milik Leon kaya baju sepatu hilang di banding loker bernama lain. Dan sebagian besar senjata di sana udah gak ada.
Tetiba pintu ruangan terbuka membuat Nero terkejut, mengira orang yang dicurigai sedang datang. Namun yang muncul ternyata Mirai. "Viiin, kamu di sini?"
Nero lekas menyembunyikan foto tadi ke dalam laci lalu bangkit. "Iya, sorry, aku agak capek jadi duduk sebentar,” jawabnya sambil membereskan buku tadi ke dalam laci.
Wajah Mirai berubah khawatir. "Ada yang sakit?"
Nero tersenyum lembut. "Gak ada. Cuma capek aja naik tangga ke sini."
"Jangan maksain badan. Kamu belum pulih bener."
"Iyaaa, bu dokter," candanya yang mendapat respon merengut. "Udah siap semua, kan? Ntar kalo ada yang kurang kita balik aja lagi. Yuk, berangkat." Nero tidak mau berlama-lama dan membuat Mirai menyadari keanehan ruangan ini.
"Oke."
Setelah meletakkan dua tas ransel di bagasi yang duduk di kursi pengemudi saat ini adalah Nero. "Njiiir, keren banget nih mobil!" serunya takjub.
"Kamu bisa nyetir?"
"Bisalah. Masa cowok gak bisa. Hehehe. Omku dulu punya mobil. Aku suka bantu dia kalo lagi dinas buat nyupirin ke luar kota.”
“Oh. Baguslah. Aku kirain kamu ngaku-ngaku doang.”
“Enggaklah.”
“Oke, sekarang kita mau ke mana?”
"Kita cari tempat yang aman dan nyaman. Sekalian nge-charge mobil." Mirai langsung menyetujui tanpa banyak bicara. Semalam mereka sempat berdebat karena ia ingin segera melanjutkan perjalanan, namun Mirai marah dan meyakinkannya untuk memulihkan diri lebih dulu.
Kenapa mereka tidak tinggal lebih lama saja di rumah sakit sampai pulih benar? Masalahnya Mirai sering panik jika mendengar suara dari luar. Rasa trauma ketika dikejar ratusan zombie masih membekas begitu dalam. Ia sempat memeriksa tanpa sepengetahuan Mirai beberapa waktu lalu di atap rumah sakit. Gerombolan zombie yang mengejar Mirai masih berkeliaran di area apartemen Vincent. Dan mereka semakin menyebar. Jadi meninggalkan rumah sakit ini secepat mungkin adalah pilihan yang bijak. Nero menyalakan layar navigasi yang bersinar kebiruan. Seketika dalam radius tertentu tampak titik-titik merah yang masih belum mendekati jalan ke luar rumah sakit ini. "Oke, kita berangkat."