Berawal disalahpahami hendak mengakhiri hidup, kehidupan Greenindia Simon berubah layaknya Rollercoaster. Malam harinya ia masih menikmati embusan angin di sebuah tebing, menikmati hamparan bintang, siangnya dia tiba-tiba menjadi istri seorang pria asing yang baru dikenalnya.
"Daripada mengakhiri hidupmu, lebih baik kau menjadi istriku."
"Kau gila? Aku hanya sedang liburan, bukan sedang mencari suami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidur Bersama
Green melangkah menuju apartemen, bahunya merosot kelelahan. Tas dan kunci di tangannya terasa berat, sama beratnya dengan beban di pikirannya setelah hari yang panjang. Ia hanya ingin mencapai pintu unitnya, menjatuhkan diri ke sofa, dan melupakan semua kekacauan hari ini.
Tepat ketika ia mencapai belokan terakhir menuju pintu apartemennya, sebuah suara mesin yang familiar dan dalam menderu di belakangnya. Sebuah sedan mewah hitam metalik meluncur mulus dan berhenti tepat di jalur parkir khusus penghuni yang berdekatan dengan pintu masuk lobi lantai mereka. Rex.
Rex keluar dari mobilnya, pintu berdentum pelan namun tegas, memamerkan setelan jas mahal yang tampak sama sekali tidak kusut. Rambutnya disisir rapi, dan raut wajahnya seperti biasa—sedikit angkuh, sedikit lelah, dan sangat tidak peduli.
Mereka berdua berdiri dalam jarak hanya beberapa langkah, tepat di depan pintu unit apartemen yang keduanya tempati. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada senyum, anggukan, atau bahkan kontak mata yang berkelanjutan. Keduanya memasukkan kunci chip ke panel pintu unit yang sama, terpisah oleh kebisuan yang tebal dan dingin.
"Selamat malam, Nona Green, Tuan," sapa petugas keamanan malam yang berdiri di pos jaga tidak jauh dari lift, sambil mencatat sesuatu di buku lognya
Petugas keamanan mengangkat pandangannya dari buku, matanya menyapu Green, lalu beralih ke Rex yang kini bersandar di dinding lobi, menunggu Green membuka pintu.
"Maaf lancang, Nona Green," Petugas keamanan tersenyum canggung. "Saya sering melihat Tuan ini mengantar atau berada di sekitar Nona. Apa Tuan ini... pacar Nona?"
Petugas keamanan sudah lama mengenal Green dan tahu gadis itu hanya tinggal sendiri. Orang lain yang biasa masuk ke dalam apartemennya adalah dua orang temannya si pemilik toko di lantai satu dan juga Lizbet, wanita di lantai paling atas.
Green, yang baru saja menekan kode akses, menoleh cepat, matanya membelalak kaget. Ia berbalik, menatap petugas dengan ekspresi tegas, lalu menoleh sekilas pada Rex.
"Tidak, Pak. Tentu saja tidak," jawab Green cepat dan lugas, penekanan pada kata 'tidak' terasa tajam, sengaja ditujukan pada Rex.
Rex, yang mendengar jawaban itu dengan jelas, mendorong dirinya dari dinding. Senyum tipis yang menjengkelkan muncul di sudut bibirnya. Ia berjalan pelan menghampiri mereka, menatap Green dengan tatapan mengejek.
"Ya, Pak," sela Rex santai, suaranya dalam dan penuh keyakinan. Ia bahkan sedikit memiringkan kepalanya seolah mengiyakan hal yang paling jelas di dunia.
Green mendengus, matanya menyipit marah. "Dia bukan pacar saya, Pak. Kami hanya—"
Rex menyela, "Kami hanya suami istri, Pak. Dan ya, dia itu istri saya." Ia menoleh ke Green, senyumnya semakin lebar. "Sudah larut, Sayang. Jangan membuat keributan di lobi."
Green terdiam, lidahnya kelu. Istri? Pria itu berani.
Green ingin melempar tas di bahunya tapi kalimat terakhir Rex menyadarkannya, di mereka berada sekarang. Jika dia melakukannya hanya akan menarik perhatian banyak orang.
"Ah, begitu. Saya minta maaf. Selamat beristirahat, Tuan dan Nyonya," kata petugas keamanan. Ia sedikit terkejut tapi itu bukan masalah, kini ia tersenyum lega sambil kembali ke mejanya, yakin telah mendapat jawaban pasti.
Rex membuka pintu unit. Green mendelik tajam padanya, lalu melangkah masuk dan membanting pintu unit mereka sebagai respons.
Di dalam, Green bersandar di pintu, dadanya naik turun menahan amarah. Rex selalu berhasil membuatnya kehilangan akal sehat hanya dalam hitungan detik. Ia segera berjalan ke kamar mandi utama, membuka shower air hangat yang telah dipasang Rex kemarin, berharap air dapat membasuh kekesalannya.
Setelah selesai, Green melilitkan handuk putih di tubuhnya dan melangkah keluar menuju kamar tidur, berniat mengambil piama di lemari.
Tepat ketika ia baru saja melangkah, sebuah sosok tinggi menjulang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar tidur.
Rex.
Green menjerit kecil, tangannya spontan menyilangkan handuk di dada. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Suaranya nyaris melengking. "Ini kamarku! Aku baru selesai mandi!"
Rex, yang hanya mengenakan kaus v-neck abu-abu dan celana training hitam, tampak santai. Ia melipat tangan di dada dan bersandar di kusen pintu kamar.
"Apa? Ini juga kamarku," jawab Rex dengan nada yang sangat menjengkelkan.
Jelas sekali Rex sengaja memprovokasi gadis itu sebagai balasan karena tidak mau mengakui hubungan mereka di hadapan orang lain.
"Kita sudah sepakat kau tidur di sofa luar, Rex! Jangan menggangguku!"
Green kesal, karena pria itu mengingkari ucapannya.
“Kesepakatan itu berlaku kalau kau juga tidak mengingkari ucapanmu,” balas Rex santai. “Pernahkah kau merawatku selama kakiku sakit?” tanya Rex menaikkan sebelah alisnya.
Tentu saja tidak.
Green tidak langsung mengunci rapat bibirnya karena nyatanya ia tidak pernah merawat pria di hadapannya.
Rex mengabaikan semua peringatan, malah melangkah santai melewati Green dan berjalan lurus ke ranjang berukuran sedang yang mereka bagi. Ia menyibak selimut, menjatuhkan tubuhnya di sisi kasur di samping Green tanpa permisi, dan menyandarkan kepala di bantal.
"Aku lelah," gumamnya, matanya setengah tertutup. "Dan aku kesal. Aku kesal karena istriku tidak mengakui keberadaanku di depan petugas keamanan. Ini balasanmu."
"Aku tidak mengakui karena itu benar! Kau bukan pacarku, dan pernikahan ini hanya di atas kertas," desis Green. Ia mengambil setelan piyama satinnya dengan gerakan marah dan memakainya secepat kilat, berusaha tidak menunjukkan kepanikannya.
"Tetap saja, kita menikah. Dan ya, aku berhak marah," Rex membuka matanya, menatap Green yang kini berdiri dengan tangan di pinggang. "Aku tidur di sini. Ini kamar kita."
"Kau gila! Bangun! Atau aku akan menyeretmu keluar!" ancam Green.
"Lakukan saja. Aku akan memberitahu petugas keamanan bahwa istriku mengusirku dari kamar tidur kami dan membuatnya tidur di sofa," Rex tersenyum jahat, memasang ekspresi polos.
Green menggeram frustrasi. Ia tahu Rex sedang mengerjainya, membalas dendam. Daripada memperpanjang pertengkaran, Green memutuskan untuk mengalah dan tidak akan memberinya kepuasan.
Green berjalan ke sisi lain ranjang, menarik selimut kasar-kasar, dan membaringkan dirinya, membelakangi Rex sejauh mungkin.
"Kau kekanakan," bisik Green tajam.
"Kau menyebalkan," balas Rex tanpa membuka mata.
Mereka terdiam. Kebisuan dingin kembali menyelimuti kamar. Bau sabun dan parfum yang Green gunakan beradu dengan aroma cologne mahal Rex di udara. Detik demi detik berlalu, membawa kelelahan yang nyata dari hari yang panjang.
Green merasa punggung Rex sangat dekat, hampir menyentuh. Ia tanpa sadar menarik selimutnya sedikit lebih tinggi, menciptakan sedikit jarak yang sangat dibutuhkannya.
Di sisi lain, Rex juga tidak bergerak. Ia bisa merasakan tarikan Green pada selimut dan betapa kaku tubuh wanita itu di sebelahnya. Kesal? Ya. Tapi matanya mulai memberat.
Lima menit kemudian, mereka berdua terlelap—tepatnya hanya Green, memunggungi, dingin, namun berada dalam satu ranjang yang sama hingga fajar menyingsing.
Akan tetapi, sebelum Rex benar-benar terlelap dia menarik ujung bibirnya, lalu berbalik, memeluk wanita yang sudah sah menjadi istrinya.
malam pertama Rex jadi merawat greenidia....
semangat trs Thor