 
                            Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 HIRARKI TERTINGGI
"Ayah, ke mana kamu akan membawaku pergi?" Saat sedang melompati pohon satu demi satu, bocah di gendongan Max
mulai mengeluh. Segera pemuda itu menghentikan aksinya dan turun ke permukaan tanah, tepat di tepi danau dangkal yang sangat jernih. Ikan-ikan dan makhluk air kecil lainnya bahkan
dapat dilihat oleh mata telanjang.
Max mengeluarkan bocah itu dari jubahnya. Dia menggendongnya dengan lembut dan mencelupkan kaki mungil itu ke air danau. Segera tubuh bocah itu tenggelam oleh air, hingga menyisakan bagian dada dan kepalanya. "Tubuhmu masih berbau amis. Diam dan patuh. Setelah mandi, aku akan membawamu pulang ke rumah." Max berkata sembari menurunkan kain hitam yang menutupi separuh wajahnya.
Si kecil mengangguk patuh dan menunduk untuk melihat air jernih yang berada di bawah wajahnya. Melihat anak itu cukup patuh dan menuruti kata-katanya, Max segera menyingsingkan lengan baju dan mulai mengambil air dengan tangan, lalu mengusapkan air tersebut pada kepala si kecil.
"Ayah, ini sangat dingin. Bisakah sedikit dipercepat? Banyak makhluk aneh di bawah sana yang menatapku." Bocah itu mengeluh dengan bibir berkerut sembari menatap Max yang
memandikannya tanpa ekspresi. Max menurunkan bidang
pandangnya. Memang benar apa yang dikatakan bocah itu. Lebih dari puluhan ikan kecil dan besar sedang menatap bocah itu dengan kepala terangkat ke atas. Namun, ikan-ikan tersebut tidak ada yang berani mendekatinya. Tidak diragukan lagi anak yang sedang Max mandikan ini bukanlah anak biasa. Setelah Max mendongak, dia terdiam cukup lama. Di seberang danau
ada kijang, rusa, babi hutan, laba-laba raksasa, piton hitam, Kaswari, merak, kelabang raksasa, kera, panda, serta berbagai binatang lainnya. Semua binatang tersebut merupakan binatang suci. Hal itu dapat dengan mudah diketahui Max, karena semua binatang suci memiliki satu tanduk kecil di atas
kepala yang memancarkan cahaya perak.
Semua binatang suci tersebut menatap ke arah bocah yang berada didalam air dengan tatapan penuh rasa hormat dan sanjungan. Sementara si kecil yang bingung karena tidak ada
gerakan dari'ayahnya, dia lantas mendongak menatap wajah Max yang tampak sedang memperhatikan sesuatu. Bocah itu pun akhirnya mengikuti arah pandang sang ayah. Sontak saja, ketika bocah itu menatap kumpulan binatang suci di seberang danau, semua binatang suci membuat gerakan membungkuk
dengan kepala tertunduk ke tanah. Mereka seakan memberikan rasa hormat ke penguasa. Lagi, untuk beberapa saat Max
tertegun. Namun, dia segera kembali ke wajah tanpa ekspresi. Dia terus ingat mengenai cerita yang Kakek pernah ceritakan padanya waktu itu. Keturunan Phoenix dari telur emas adalah sosok yang luar biasa melebihi akal sehat manusia. Untuk saat ini, Max hampir sepenuhnya yakin anak yang berada di tangannya saat ini adalah keturunan Phoenix dari telur emas yang asli. Sebab, tidak semua manusia bisa menundukkan binatang suci yang memiliki basis kultivasi ratusan juta tahun. Semua yang menundukkan kepala di seberang danau merupakan binatang suci yang hanya tinggal selangkah lagi menjadi dewa para binatang. Mereka menunduk begitu hormat pada bocah kecil yang berada di dalam air. Dapat dipastikan hierarki anak itu lebih tinggi daripada binatang suci di seberang danau itu.
"Ayah, aku kedinginan." Anak itu bersuara sembari menunduk,
mengalihkan pandang dari kumpulan binatang suci. Max kembali memusatkan perhatian pada si kecil. Mengabaikan
binatang suci di seberang danau dan kembali memandikan si kecil dengan cepat. Setelah Max tidak lagi mencium bau amis darinya, dia segera mengangkat bocah itu dari danau. Membawanya ke dalam gendongan, lalu menyeka dan membungkus tubuh mungil itu dengan jubah hitamnya.
"Aku tidak tahu kemampuan apa yang kamu miliki. Namun, jika kamu ingin menjadi anakku, ingatlah satu hal. Jangan pernah mengungkapkan jati dirimu kepada orang lain." Max berkata dengan nada serius. Sedangkan bocah itu hanya berusaha mengeluarkan kedua tangan dari jubah yang menutupinya, lalu
mengangguk kecil dan melingkarkan tangan ke leher ayahnya.
Belum sempat Max kembali berkata, anak itu segera bersuara. "Aku akan patuh pada ucapan Ayah." Setelah mengatakan hal itu, si kecil membenamkan wajah ke dada 'ayahnya'. Max tak lagi suara. Dia hanya memperbaiki posisi si kecil agar anak itu merasa nyaman di dalam gendongannya. Segera, pemuda dengan pakaian serba hitam itu kembali mendekati pohon dan melompatinya satu per satu.
***
Saat Max tiba di rumah, matahari sudah berada di ketinggian atas kepala. Riana yang melihat Max menggendong seorang anak kecil tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut dan bertanya-tanya. Wanita itu bahkan sempat berpikir putarnya menculik seorang anak kecil untuk dijual ke serikat perdagangan manusia.
"Max! Anak siapa ini? Mengapa kamu membawanya pulang? Ap kamu menculiknya?" Max sudah mengira reaksi ibunya
pasti akan seperti ini. Untungnya, saat perjalanan pulang Max sudah memikirkan beberapa alasan untuk menjelaskannya.
"Bu, apa kamu pernah mendengar binatang suci yang bermutasi menjadi manusia?" Max tidak mengatakan kepada
ibunya bahwa anak itu adalah keturunan Phoenix dari telur emas. Jika ibunya mengetahui hal ini, beliau pasti akan lebih terkejut dan merasa gelisah.
Mendengar pertanyaan sang putra, Riana tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Dulu, sewaktu muda dia pernah mendengar ayahnya berkata bahwa binatang suci yang telah mencapai puncak hierarki akan bisa bermutasi menjadi manusia. Namun, dikatakan itu hanyalah legenda. Belum ada yang benar-benar menemukan binatang suci yang bermutasi menjadi manusia. Riana masih sangsi atas pertanyaan yang diajukan putranya. Melihat ibunya tidak memberikan respons selain mata yang waspada menatap anak yang berada di dalam gendongannya, Max kembali
berinisiatif untuk menjelaskan.
"Aku menemukan telur burung raksasa di hutan. Induk pemilik telur itu mati karena sudah tampak sangat tua. Aku tidak tahu jenis burung apa itu. Saat aku menyentuh telur yang berada di sarangnya, telur itu pecah dan seekor burung kecil di dalam telur berubah menjadi anak manusia. Dia bahkan memanggilku ayah. Maka dari itu, aku tidak bisa meninggalkannya." Riana hanya menatap anaknya dengan tatapan curiga. Penjelasan Max terdengar menyakinkan. Namun, entah mengapa Riana merasa ada yang janggal. Riana bahkan berpikir lagi mungkin anak itu adalah anak Max dengan seorang wanita yang telah
melarikan diri.
"Bu, apa kamu melihat kebohongan di mataku?" Max menatap
ibunya dengan tatapan meyakinkan. Wajahnya tampak serius dan tidak terlihat seperti sedang berbohong. Riana menghela napas dan mencoba untuk percaya. Dia yakin, Max tidak akan melakukan tindakan kriminal seperti menculik dan memperdagangkan manusia. Apalagi mempunyai anak diluar nikah.
"Lalu, apa kamu akan merawat anak itu?" tanya Riana sembari terus memperhatikan bocah yang masih tampak lelap di gendongan Max. Bocah itu bahkan mengubur wajahnya di dada
Max, hingga Riana tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Max mengangguk kecil sebelum menjawab, "Ya. Aku akan merawatnya sebagai anakku. Jika ada yang bertanya di mana ibunya, Ibu bisa mengatakan bahwa istriku sudah lama meninggal." Riana hampir tersedak ketika mendengar hal ini. Namun, dia tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapinya. Terlebih, Max mengatakan hal itu dengan wajah serius dan meyakinkan.
"Ayah, kamu sedang berbicara dengan siapa?" Si kecil di dalam
gendongan Max mulai bergerak. Riana semakin terkejut ketika mendengar anak sekecil itu sudah bisa berbicara dengan lancar.
Max menurunkan pandangan dan tidak mengatakan apa-apa. Anak itu pun menoleh ke belakang karena dia merasakan ditatap oleh seseorang. Dia memainkan kepala memperhatikan Riana yang menatapnya nyaris tanpa berkedip.
"Siapa dia?" Si kecil kembali bertanya, kali ini dia menarik pelan
kerah baju Max, menunjukkan bahwa dia ingin segera mendapatkan jawaban.
"Dia Ibuku. Jadi kamu bisa memanggilnya dengan sebutan nenek," jawab Max dengan jujur. Riana lagi-lagi lupa berkata karena terlalu terkejut ketika melihat wajah anak itu. Max memperhatikan raut wajah Ibunya. Seakan-akan sang ibu sudah lama mengenal anak di dalam gendongannya ini.
"Max, apa kamu yakin dia binatang suci yang bermutasi menjadi manusia? Bukan anak kandung kamu sungguhan?" Riana mengangkat pandang menatap putranya dengan curiga.
:Seperti yang kukatakan, Bu. Aku tidak berbohong." Max mengerutkan samar dahinya. Ada yang aneh dari pertanyaan sang ibu.
"Anak ini ... dia benar-benar mirip seperti kamu saat masih bayi. Dari hidung, mata, dan fitur garis wajahnya. Ibu tidak bisa melupakan sosok kecilmu, Max. Yang membedakanmu dengan anak ini hanya terletak pada rambut dan bentuk badan. Dulu waktu kamu seusianya, kamu memiliki rambut yang tipis dan badan yang cukup kurus. Berbanding terbalik dengan anak ini." Riana mengungkapkan pemikirannya sembari mengusap lembut kepala si kecil yang masih bersarang di dalam gendongan. Max terkejut ketika mendengar perkataan sang ibu. Pantas saja dia merasa akrab dengan wajah anak itu. Ternyata anak itu sangat mirip dengannya ketika masih kecil. Namun, Max tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah perubahan wujud anak itu disebabkan karena dia yang memegang telur emas saat pertama kalinya? Jawaban tersebut mungkin hanya diketahui oleh kakek yang dulu pernah menceritakan kisah legenda keturunan Phoenix dari telur emas kepada Max.
"Nenek, mengapa kamu masih bertanya? Aku jelas adalah anak dari Ayahku. Maka dari itu kami terlihat mirip." Ketika si kecil bersuara, Max kembali dari rasa terkejutnya. Dia menatap bocah di dalam gendongannya itu. Max tidak tahu harus menanggapi pertanyaan sang ibu seperti apa. Yang pasti, Max merasa yakin, bahwa di masa depan nanti, anak ini pasti akan
banyak membantunya dalam upaya balas dendam yang sudah dia rencanakan. Max tidak peduli mengenai kemiripan mereka, hal itu bisa menjadi fakta yang lebih meyakinkan bahwa anak itu benar-benar adalah anaknya.
***
