“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Luka dibalik kemenangan
Kabut pagi masih menutup lembah Wringin Gede ketika rombongan Raden Arya bergerak perlahan kembali ke arah istana. Langkah-langkah kaki para prajurit terdengar berat di atas tanah basah yang berlumur lumpur dan darah. Burung-burung enggan berkicau, seolah langit pun ikut berduka atas banyaknya nyawa yang melayang malam tadi. Raden Arya berjalan paling depan, jubahnya compang-camping, pedangnya patah di ujung, dan wajahnya tertutup debu perang. Tumenggung Wiranegara berjalan di sampingnya, memegang gulungan peta yang kini tak lagi berarti setelah garis pertahanan mereka hancur.
“Gusti,” ucap Wiranegara pelan, “pasukan yang tersisa tinggal enam puluh orang. Beberapa terluka parah dan tak sanggup berjalan jauh. Mungkin sebaiknya kita berhenti di pos Kayuwangi untuk beristirahat.” Raden Arya tak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke barat, di mana kepulan asap masih membubung dari arah lembah. “Tidak, Wiranegara. Kita harus segera kembali ke istana. Aku ingin menghadap Ayahanda sebelum kabar kekalahan ini sampai ke telinganya dari mulut orang lain.” Tumenggung Wiranegara menunduk dalam, memahami maksud sang pangeran. “Sendika dawuh, Gusti.” Mereka terus berjalan hingga matahari meninggi. Ketika bayangan tubuh mulai memendek di tanah, tampak beberapa utusan istana datang menjemput dari arah timur. Di antara mereka, Jagapati—prajurit muda yang semalam diutus Arya untuk membawa surat—berlari tergesa menghampiri. Nafasnya terengah, peluh bercucuran di wajahnya.
“Gusti… Gusti Prabu telah menerima surat paduka,” katanya terbata, “dan memerintahkan kami menjemput Gusti secepatnya. Namun…” Ia terdiam sejenak, menunduk dalam. “Namun suasana di istana kini tidak seperti biasanya.”
Raden Arya menatapnya dengan dahi berkerut. “Maksudmu?”
Jagapati menelan ludah. “Beberapa pasukan telah digerakkan ke arah paviliun Raden Raksa sejak dini hari. Ada kabar… bahwa sebagian gudang persenjataan ditemukan terbuka, dan prajurit penjaga hilang entah ke mana.” Tumenggung Wiranegara spontan menatap Arya dengan mata terbelalak. “Gudang persenjataan terbuka? Itu berarti…”
Raden Arya memotong cepat, nadanya dingin. “Seseorang telah mempersiapkan ini jauh sebelum perang dimulai.” Ia mengepalkan tangan, darah di ujung jarinya yang belum kering kembali menetes.
Pagi hari di istana Samudra Jaya tampak tegang Para bangsawan sudah berkumpul di balairung. Wajah mereka tegang. Mahapatih Nirmala Wisesa berdiri di samping Prabu Harjaya, membisikkan kabar yang membuat sang raja terdiam lama gudang persenjataan di sisi timur istana ditemukan terbuka, sebagian perbekalan hilang, dan tanda-tanda perlawanan tampak di sekitar tembok penjaga.
“Apakah ini ulah musuh?” tanya Prabu Harjaya, suaranya berat.
“Masih kami selidiki, Gusti Prabu,” jawab Nirmala dengan wajah kaku. “Namun... beberapa penjaga mengaku melihat panji naga merah di dekat gerbang belakang.” Desir kecemasan menyebar di antara bangsawan. Panji naga merah—lambang Parang Giri. Bila benar musuh sudah menyusup hingga ke dalam istana, maka perang tidak lagi hanya di perbatasan.
Raden Raksa berdiri di sisi kanan balairung, sikapnya tenang, bahkan terlalu tenang. Tatapannya tajam namun datar, seolah segala kegaduhan itu tidak menyentuh jiwanya. Ia menatap para pejabat satu per satu, kemudian menunduk hormat pada sang Prabu.
“Jika benar ada pengkhianatan di dalam istana,” ucapnya perlahan, “maka biarkan hamba membantu mengusutnya. Tidak sepatutnya kita menuduh tanpa bukti.” Belum sempat Prabu Harjaya menjawab, suara langkah tergesa menggema dari pintu utama. Semua kepala menoleh. Di ambang pintu berdiri Raden Arya, berdebu, jubahnya compang-camping, wajahnya keras menahan amarah dan luka. Tumenggung Wiranegara berjalan di belakangnya, wajahnya lesu dan penuh luka tempur.
“Anakanda Arya... kau terluka?” Prabu Harjaya berdiri. Arya menunduk sebentar, lalu menatap ke arah Raksa yang berdiri di ujung ruangan. Pandangan mereka bertemu—dingin, tajam, dan berat oleh sejarah yang panjang. Langkah Arya pelan tapi mantap, hingga akhirnya ia berdiri hanya beberapa hasta di depan adik tirinya itu.
“Semua prajurit tahu,” suaranya bergetar, “sayap kanan kita hancur karena ada yang membocorkan strategi. Dan saat kami berperang sampai darah habis—kau di sini, di istana, berdiri seolah tak ada yang terjadi.” Beberapa bangsawan saling berpandangan. Prabu Harjaya hendak berbicara, tapi Arya melanjutkan dengan suara meninggi.
“Kau pikir aku tidak tahu, Raksa? Semua langkah musuh seperti membaca pikiranku! Hanya orang dalam yang bisa melakukannya!”
Raksa menatap Arya lama, tanpa bicara. Lalu perlahan bibirnya melengkung tipis—bukan senyum sombong, tapi senyum yang sulit ditebak.
“Jadi kau menuduhku berkhianat, Kangmas?” suaranya tenang, nyaris berbisik. “Aku... adikmu sendiri?”
“Adik yang tak pernah jujur,” jawab Arya cepat, tatapannya bergetar. Tapi di sela amarahnya, ada sesuatu lain yang terselip — bayangan Puspa yang semalam terlihat dalam dekapan Raksa. Hatinya sendiri tak bisa membedakan antara marah karena perang... atau karena wanita yang sama.
Raksa menangkap perubahan kecil di wajah Arya. Ia menyilangkan tangan di dada, lalu berkata pelan, “Kemarahan yang lahir dari hati yang terbakar cemburu... lebih berbahaya daripada seribu pedang musuh.” Desah lirih terdengar di antara para pejabat. Arya terdiam, rahangnya menegang. Tumenggung Wiranegara hendak melangkah maju, tapi Raksa tetap berdiri santai, menatap lurus dengan pandangan menantang namun tak pernah kehilangan sopan santun seorang bangsawan.
“Cukup!” suara Prabu Harjaya menggema di ruangan itu. Ia berdiri dari singgasananya, wajahnya merah menahan marah. “Kalian berdua adalah darahku! Dan Samudra Jaya bukan tempat untuk pertikaian di antara saudara!” Keduanya menunduk, namun ketegangan di antara mereka masih terasa menebal di udara. Raksa menunduk hormat, namun sebelum ia melangkah mundur, ia berbisik pelan di dekat Arya, cukup untuk didengar olehnya saja,
“Jangan khawatir, Kangmas. Aku tak perlu berkhianat untuk mengalahkanmu.” Arya menatapnya tajam, namun tak membalas.
Di luar balairung, matahari telah meninggi—namun bagi dua pangeran Samudra Jaya, hari itu baru saja memulai perang yang jauh lebih gelap dari medan mana pun perang di antara darah yang sama.
***
Putri Dyah tergopoh datang ke paviliun Raden Arya—adik tirinya, dia ingin mengetahui secara langsung tentang keadaan di Wrigin Gede tadi malam.
“Sepertinya ada yang membocorkan strategi perang kita mbak yu, karena sayap kiri hampir tak diserang sementara sayap kanan sudah jebol itulah yang aku fikirkan terlebih saat kembali tadi aku mendengar kalau gudang persenjataan dibobol oleh seseorang,” kata Raden Arya tentu Putri Dyah kaget bahkan baru kali ini dia mendengarnya.
“Apaaa? Bagaimana bisa?” Putri Dyah menatap kosong kearah jendela kearah paviliun adik keduanya Raksa karena selama pertempuran Samudra Jaya selalu unggul bahkan mampu mengusir ribuan prajurit musuh hanya dengan persiapan ratusan prajurit. Dan sekarang berbanding terbalik.
“Aku juga tidak tahu mbak yu, ini seperti......” Raden Arya tidak meneruskan kata-katanya tapi Putri Dyah paham apa yang dimaksud Raden Arya.
“Raksa tidak kemana-mana, dayang Puspa saksinya dia semalam yang bersama Raksa,” kata Putri Dyah, mendengar nama Puspa bersama adik tirinya membuat Raden Arya langsung menegakkam tubuhnya.
“Puspa....semalaman dengan Raksa?”
“Iya....dayang Puspa semalam bersama Raksa di paviliunnya, kau kenapa adimas?” tanya Putri Dyah walau sebenarnya sudah tahu apa yang dirasakan adik tirinya tapi dia pura-pura tidak tahu apa-apa, dia hanya memastikan sendiri karena sering mendengar desas-desus diantara para dayang perseteruan Raden Arya dan Raden Raksa tentang seorang dayang. Dan sekarang walau tanpa jawaban langsung, Putri Dyah sudah mengetahuinya sendiri dari reaksi Raden Arya saat mendengar nama Puspa di paviliun Raden Raksa.
“Aku....tidak apa-apa mbak yu, sepertinya aku hanya lelah dan butuh istirahat,” ucap Raden Arya lalu menyandarkan tubuhnya di kursi mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi Putri Dyah paham , dia pun pamit undur diri.
“Baiklah....istirahatlah adimas aku akan meminta abdi dalem untuk mempersiapkan pemandianmu,” ucap Putri Dyah lalu beranjak dari duduknya, sementara Raden Arya menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan posisi tangannya dia sandarkan dikepala, dia memejamkan mata lalu mendesah pelan. Bayangan Puspa menyandar hangat dipelukan Raden Raksa membuatnya sangat sakit hati.
“Kenapa harus dia...”Teringat bagaimana rambut Puspa yang tergerai indah dan terselip bunga melati ditelinganya jelas itu penampilan yang jarang sekali ia lihat bahkan saat mengantarkan jamu malam untuknya beberapa hari yang lalu rambut Puspa tidak seperti itu tapi disanggul rapi, tapi jika mengantar jamu malam ke paviliun Raksa justru rambutnya tergerai indah dan cantik.
“Apa maksudmu semua ini Puspa....apa kau berniat menyiksaku,” gumam Raden Arya lirih. Tak lama kemudian abdi dalem datang menyiapkan segala keperluan Raden Arya untuk ke pemandian. Hatinya masih terasa panas, seperti bara yang tertutup abu. Setiap kali ia mencoba menenangkan diri, wajah Puspa kembali muncul dalam benaknya—senyum lembut, tatapan teduh, dan rambut yang tergerai dengan bunga melati di telinga. Langkah kaki abdi dalem terdengar mendekat, membuyarkan lamunannya.
“Gusti, air pemandian telah siap,” ucap abdi dalem itu dengan hormat. Raden Arya mengangguk pelan, lalu dengan nada datar berkata,
“Panggilkan dayang Puspa. Aku ingin ia yang menyiapkan segala keperluan pemandian pagi ini.”Abdi dalem itu sempat menunduk lebih dalam, lalu menjawab,
“Baik, Gusti.”
Ia pun bergegas meninggalkan paviliun, namun suasana di luar terasa berbeda. Dayang-dayang tampak berbisik-bisik di pelataran, beberapa menatap ke arah paviliun Raden Raksa yang tampak sibuk sejak pagi. Abdi dalem itu sempat menanyakan keberadaan Puspa, tapi tidak seorang pun yang bisa memberi jawaban pasti. Salah seorang dayang tua akhirnya berkata ragu,
“Tadi pagi... sebelum matahari sepenuhnya naik, hamba melihat dayang Puspa berjalan bersama Gusti Raksa. Mereka tampaknya berjalan-jalan menuju arah utara, mungkin ke taman belakang atau ke pendapa perwira.” Mendengar itu, abdi dalem hanya mengangguk dan bergegas kembali ke paviliun Raden Arya. Ia tahu kabar ini akan menimbulkan badai. Begitu ia masuk kembali, Raden Arya masih duduk di kursi, memandangi meja tempat piala perak berisi air mawar.
“Di mana Puspa?” tanyanya tanpa menatap.
Abdi dalem itu menelan ludah sebelum menjawab.
“Hamba... tidak menemukannya, Gusti. Menurut para dayang, dayang Puspa telah pergi bersama Gusti Raksa pagi tadi.” Raden Arya menegakkan tubuhnya.
“Pergi? Ke mana?”
“Tidak ada yang tahu dengan pasti, Gusti. Mereka terlihat menuju arah utara, tapi...”
Brak!
Piala perak di atas meja terjatuh, air mawar tumpah hingga membasahi lantai. Raden Arya berdiri dengan wajah menegang, kedua matanya berkilat menahan amarah.
“Aku bahkan baru kembali dari pertempuran semalam, dan pagi ini dia sudah berjalan berdua dengan Puspa?” desisnya pelan, tapi tajam. Abdi dalem hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap wajah sang pangeran.
“Cukup. Kau boleh pergi,” ujar Raden Arya dingin. Begitu abdi dalem itu undur diri, Raden Arya melangkah ke jendela, menatap jauh ke arah paviliun Raden Raksa. Suara burung pagi tak mampu menenangkan dadanya yang bergemuruh.
Ia menggenggam pinggiran jendela dengan kuat.
“Raksa...” gumamnya pelan, “Kau benar-benar tahu bagaimana memprovokasi darahku.” Angin pagi meniupkan aroma melati dari taman istana, seolah mengingatkannya pada malam di mana ia melihat Puspa berjalan menunduk malu sambil membawa baki berisi jamu untuk Raksa. Saat itu ia mengira semuanya kebetulan, tapi kini hatinya menolak percaya. Semua tampak terlalu rapi, terlalu bersamaan. Ia melangkah ke tengah paviliun, lalu menatap bayangan dirinya di cermin logam. “Apa kau sudah sebegitu rendahnya, Raksa, hingga menjadikan seorang dayang alat untuk menundukkan harga diriku?” bisiknya lirih namun penuh amarah. Tiba-tiba langkah kaki cepat terdengar dari luar. Salah seorang prajurit penjaga datang melapor.
“Gusti, Prabu Harjaya memerintahkan agar seluruh pangeran berkumpul di balairung. Ada hal penting yang hendak dibicarakan.” Raden Arya menatap prajurit itu sejenak, lalu menarik napas panjang.
“Baik. Katakan aku akan segera datang.”
Setelah prajurit itu pergi, Raden Arya kembali menatap ke luar. Di kejauhan, ia bisa melihat sosok Raden Raksa berjalan santai menuju balairung, mengenakan jubah kebesarannya, dengan senyum samar yang membuat darah Arya semakin mendidih.
“Kalau ini permainanmu, Raksa...” ujarnya pelan, “kau baru saja menyulut perang yang tak akan mudah padam.” Ia berbalik, mengambil keris pendek miliknya, dan menyelipkannya di pinggang sebelum melangkah keluar paviliun. Langkahnya mantap, tapi di dalam dadanya, badai belum juga reda—antara amarah, rasa curiga, dan luka yang bernama cinta yang tak pernah sempat ia miliki.
****
Di balairung semua bangsawan sudah berkumpul Raden Arya duduk disisi kanan sang Prabu lalu disebelahnya Mahapatih Nirmala Wisesa, Raden Raksa datang terlambat walau begitu dia tetap tenang sementara Raden Arya menatapnya dengan penuh amarah yang terpendam.
“Baiklah...” prabu Harjaya membuka rapat pagi itu
“Arya jelaskan bagaimana di medan pertempuran kemarin lalu bagaimana dengan kekuatan musuh dan bagaimana bisa sayap kiri justru tidak tersentuh musuh?” tanya Prabu Harjaya.
Raden Arya berdiri perlahan, menundukkan kepala hormat.
“Hamba junjung perintah Paduka,” ucapnya dengan nada dalam. “Pertempuran di lembah Narasoma berlangsung selama tiga hari. Musuh datang dengan kekuatan penuh dari timur, namun mereka menahan diri di sayap kiri. Hamba menduga, mereka telah membaca pola serangan kita.”
Prabu Harjaya mengernyit. “Maksudmu, strategi pertahananmu telah terbaca?”
Arya menatap lurus ke depan, namun ekor matanya melirik ke arah Raksa. “Ya, Paduka. Ada kemungkinan rencana kita bocor… atau mungkin disampaikan pada mereka.” Kata-kata itu menggantung di udara. Beberapa bangsawan saling berpandangan, sementara Raksa hanya menatap meja di depannya, tampak tidak terusik sedikit pun. Bibirnya terangkat membentuk senyum samar—seolah menganggap tudingan itu permainan anak kecil.
Arya melanjutkan dengan nada yang semakin tegas. “Hamba telah menyiapkan siasat baru. Kali ini kita akan mengubah pola penyerangan. Pasukan utama akan berpura-pura mundur, sementara prajurit cadangan akan menyerang dari belakang bukit. Dengan begitu, musuh akan terperangkap di tengah lembah tanpa jalan keluar.” Belum sempat Arya melanjutkan penjelasannya, suara Raksa terdengar santai namun tajam.
“Strategi itu terlalu mudah ditebak.” Balairung langsung hening. Semua mata kini beralih ke Raksa.
Arya menoleh cepat, menatap adik tirinya dengan rahang mengeras. “Apa maksudmu?”
Raksa bersandar santai di kursinya, nada bicaranya tenang namun sarat ejekan. “Musuh yang kemarin mampu membaca pertahananmu, tentu tak akan tertipu oleh siasat seolah-olah mundur. Mereka tahu gaya berpikirmu, Kakanda. Terlalu berhati-hati, terlalu kaku. Dunia peperangan kini tak cukup dengan kehati-hatian.”
Mahapatih Nirmala mengangkat alis, menatap keduanya bergantian. “Raksa, apakah kau punya pandangan lain?”
“Bukan pandangan,” jawab Raksa sambil tersenyum tipis. “Hanya pendapat. Jika hamba diizinkan, hamba akan membuat musuh datang dengan keyakinan penuh bahwa mereka menang—lalu menjatuhkannya dengan tipu daya yang tak mereka duga.”
“Tipu daya?” ulang Arya sinis. “Atau pengkhianatan seperti yang biasa kau lakukan di balik layar?” Suasana seketika menegang. Beberapa bangsawan menunduk, sebagian lain pura-pura tak mendengar. Raksa menoleh perlahan, matanya berkilat dingin. “Hati-hati dengan kata-katamu, Kakanda. Lidah tajam bisa lebih mematikan dari keris.”
Arya bangkit berdiri, napasnya mulai berat. “Kau berani menentangku di depan ayahanda dan para bangsawan?!”
Raksa ikut berdiri, menatapnya tajam. “Aku tidak menentangmu, hanya menunjukkan bahwa pikiranmu mulai tertutup oleh amarah dan iri hati.” Itu sudah cukup. Arya kehilangan kendali. Dalam sekejap, keris di pinggangnya telah terhunus, berkilat di bawah cahaya matahari yang menembus jendela. Ia melangkah cepat, mengayunkan senjata itu ke arah Raksa. Namun Raksa tak kalah cepat. Ia menarik kerisnya, menangkis serangan itu dengan dentingan keras yang menggema di seluruh balairung. Para bangsawan serempak berdiri, sebagian berteriak menahan.
Mata keduanya bertemu—panas, nyalang, dan penuh amarah. Ini bukan lagi pertarungan dua pangeran. Ini adalah perang antara dua hati yang saling terluka—oleh cinta, oleh ambisi, dan oleh kebencian yang tumbuh terlalu lama.
“Kau pikir kau lebih pantas dari aku, Arya?” desis Raksa sambil menahan dorongan kakaknya. “Kau pikir tahta, cinta, dan kehormatan semuanya milikmu?”
Arya membalas dengan nada bergetar. “Kau sudah merebut terlalu banyak, Raksa! Dari medan perang… hingga hati seorang wanita!” terlintas dibayangannya bagaimana Puspa dengan begitu nyaman dipelukan Raden Raksa membuatnya benar-benar tak bisa menahan emosi. Keduanya hampir saling menebas ketika suara keras mengguncang ruangan.
“Cukup!”
Prabu Harjaya telah berdiri, matanya menyala seperti bara. Ia meraih pedang salah satu prajurit di sampingnya, mengangkatnya tinggi.
“Jika kalian berdua berani menodai balairung ini dengan darah kalian sendiri,” suaranya menggelegar, “maka aku akan menebas kepala kalian berdua dengan tanganku sendiri!” Hening. Tak ada yang berani bergerak.
Keringat menetes dari pelipis Arya dan Raksa. Perlahan, keduanya menurunkan keris masing-masing, menundukkan kepala dalam diam. Prabu Harjaya menatap mereka bergantian—pandangannya bukan hanya murka seorang raja, tapi luka seorang ayah yang anak-anaknya mulai saling membunuh.
“Tahta bisa diwariskan,” katanya pelan namun tajam. “Tapi darah yang tumpah di antara kalian tak akan pernah bisa ditebus.” Balairung kembali sunyi. Hanya suara angin dari luar jendela yang terdengar, membawa sisa ketegangan yang belum benar-benar sirna.