Lima tahun sudah Gunung Es itu membeku, dan Risa hanya bisa menatap dingin dari kejauhan.
Pernikahan yang didasarkan pada wasiat kakek membuat Damian, suaminya, yakin bahwa Risa hanyalah gadis panti asuhan yang gila harta. Tuduhan itu menjadi mantra harian, bahkan ketika mereka tinggal satu atap—namun pisah kamar—di balik dinding kaku rumah tangga mereka.
Apa yang Damian tidak tahu, Risa bertahan bukan demi kekayaan, melainkan demi balas budi pada kakek yang telah membiayai pendidikannya. Ia diam-diam melindungi perusahaan suaminya, mati-matian memenangkan tender, dan menjaga janjinya dengan segenap jiwa.
Namun, ketahanan Risa diuji saat mantan pacar Damian kembali sebagai klien besar.
Di bawah ancaman perceraian jika proyek itu gagal, Risa harus berhadapan dengan masa lalu Damian sekaligus membuktikan loyalitasnya. Ia berhasil. Proyek dimenangkan, ancaman perceraian ditarik.
Tapi, Risa sudah lelah. Setelah lima tahun berjuang sendirian, menghadapi sikap dingin suami, dan meny
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. kamar
Malam telah larut, dan kamar utama terasa seperti ruang interogasi. Risa terbaring di tempat tidur besar Damian, memeluk guling. Ia memunggungi Damian yang kaku di sofa, enggan memejamkan mata.
Damian menyiksa dirinya sendiri. Ia menyadari ia telah membuat istrinya mengalami retak tulang karena kecemburuannya. Ia merasa ngeri pada dirinya sendiri. Namun, rasa ngeri itu segera ditimpa oleh filter kecurigaan yang telah ia pupuk selama lima tahun.
Pikiran Damian: Mengapa dia harus cedera separah ini tepat saat Proyek Gamma terancam? Mengapa Atha muncul sekarang? Dia mendapatkan apa yang dia inginkan: pengawasan penuh dariku, dan penundaan proyek. Dia pasti sedang merayakan kemenangannya.
Setiap gerakan Risa di ranjang, setiap desahan napasnya, terasa seperti bukti konspirasi bagi Damian. Ia tidak akan membiarkan dirinya tertipu lagi.
Pukul satu dini hari, Risa bergumam pelan, suaranya dipenuhi rasa frustrasi.
"Harusnya aku tidak kecelakaan, harusnya saat ini aku sedang meeting dengan tim dan membicarakan Proyek Gamma! Ah, kenapa sih aku selalu apes, Tuhan!" Ucap Risa, menyalahkan diri sendiri dan nasibnya.
Damian yang mendengar gumaman itu langsung mengeras. Lihat, batinnya dingin. Bahkan di saat sakit pun, yang dia pikirkan hanya proyek dan uang.
Damian bangkit. Ia tidak berjalan ke tempat tidur karena kepedulian, melainkan untuk menegaskan batasnya.
"Risa," panggil Damian, suaranya pelan, datar, tanpa emosi.
Risa menegang. "Ya?"
Damian membungkuk. Ia memeriksa perban di lengannya dan memandang tajam ke wajah Risa yang pucat.
"Tidur yang nyenyak," kata Damian, tanpa kehangatan sedikit pun. "Ingat, saya ada di sini untuk memastikan kamu tidak melarikan diri, dan tidak ada yang mengganggumu. Jangan pernah mencoba bergerak tanpa izin saya. Saya akan mengawasi setiap detik yang kamu habiskan di kamar ini."
Kata-kata itu adalah deklarasi penjara. Risa menyadari, pelunakan sikap Damian adalah perubahan metode penyiksaan.
Damian langsung melangkahkan kaki ke arah sofa. Meskipun sofa di kamar Damian cukup besar dan empuk, namun itu membuat tubuh Damian sakit. Ia yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan kenyamanan, merasa tersiksa di atas sofa.
Damian melihat ke arah wajah istrinya yang sudah memejamkan mata. Ia menghela napas. "Bahkan wajah kamu masih terlihat manipulatif, Risa!" batin Damian, lalu memejamkan mata juga.
Sekitar pukul tiga pagi, Risa terbangun, tenggorokannya terasa sangat kering. Ia mencoba bangun perlahan.
"Auhhh!" Rintih Risa, tanpa sadar ia tidak bisa menahan rasa sakit dan kebas yang menjalari tangannya.
Risa langsung menyingkirkan selimut dan turun dari ranjang. Setiap langkahnya terasa sakit dan tertatih.
Damian segera sadar. Ia melompat dari sofa dengan kecepatan yang mencengangkan, tatapan curiga langsung menyelimuti wajahnya.
"Mau kemana?" tanya Damian tajam, berdiri di antara Risa dan pintu.
"Aku haus," jawab Risa, suaranya serak.
Damian tidak percaya. Dia pasti mencoba mencari ponsel atau kertas-kertas di kamarku. "Saya akan ambilkan," ujar Damian dingin. Ia berjalan ke dapur kecil di kamar utama, menuangkan air ke gelas.
Risa akhirnya hanya bisa pasrah dan kembali duduk di tempat tidur.
Damian datang membawa air. Risa mengulurkan tangan. Saat akan menerima gelas, tangan Risa gemetar hebat. Rasa sakit dari retak tulang dan kelelahan membuatnya tidak stabil.
Gedebuk!
Gelas itu jatuh dari tangan Risa. Air dingin tumpah, membasahi sebagian kecil seprai putih mewah.
Risa panik. "Maaf! Maafkan aku, Damian! Aku akan membersihkannya!"
Melihat kepanikan Risa, Damian menatap noda basah itu. Sebagian dirinya marah karena kekacauan di kamarnya, tetapi sebagian yang lebih besar terkejut melihat keputusasaan murni dan ketakutan di mata Risa. Bukan ketakutan akting, tapi ketakutan akan kemarahan suaminya.
"Diam di sana," perintah Damian.
Damian mengambil tisu dan membersihkan tumpahan itu dengan kasar, tetapi hati-hati agar tidak menyentuh Risa. Setelah selesai, ia kembali menatap Risa.
"Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya tadi malam," kata Damian, suaranya sedikit melunak, dipenuhi rasa frustrasi. "Jika kamu butuh apa-apa, katakan. Jangan pernah mencoba bergerak sendiri."
Damian kembali memberikan air dan membantu Risa untuk minum. Setelah Risa selesai, Damian kembali ke sofanya. Ia menyadari, kecurigaannya mungkin adalah satu-satunya benteng yang tersisa untuk melindungi dirinya dari pengakuan bahwa ia telah melukai istrinya sendiri hingga separah itu.