NovelToon NovelToon
DIBELI TAKDIR (Pemuja Rahasia)

DIBELI TAKDIR (Pemuja Rahasia)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cintapertama / One Night Stand / Beda Usia / Identitas Tersembunyi / Dark Romance
Popularitas:79k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.

Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.

Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Mimpi atau Nyata?

Kevia terbangun dengan kepala berat, pandangannya sempat kabur beberapa detik sebelum akhirnya fokus. Potongan ingatan berkelebat. Perdebatannya dengan Riri di kampus, obrolannya di kafe bersama Kevin, lalu sosok pria misterius yang membawanya pergi, menyodorkan air minum. Setelah itu… hanya rasa pening yang mendadak menghantam, lalu gelap.

Entah mimpi atau kenyataan, samar-samar ia merasa seperti hanyut dalam bayangan yang sulit ia genggam. Dan kini, ia terbangun di kamar asing ini.

“Di mana aku…?” gumamnya lirih, menatap sekeliling.

Dinding berwarna krem lembut memantulkan cahaya redup, tirai tebal menjuntai hingga lantai, sementara aroma kayu bercampur asin laut memenuhi udara. Kevia mengernyit, telinganya menangkap suara deburan ombak. Ritmis, tiada henti, seolah memanggil dari kejauhan.

"Pantai? Kamar siapa ini?"

Jantungnya berdegup kencang. Dengan gerakan spontan, ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Napas lega langsung terhembus saat mendapati pakaiannya masih utuh.

“Syukurlah…” desisnya, meski kecemasan tetap mencengkeram.

Pandangan matanya lalu tertumbuk pada nakas di samping ranjang. Di sana tergeletak secarik kertas, ditimpa sebuah pena. Dengan tangan sedikit gemetar, Kevia meraihnya.

Tulisan tangan tegas namun dingin terpampang di sana:

Bersihkan dirimu, lalu makan. Aku masih ada pekerjaan. Mungkin pulang agak larut.

Kevia mendengus, wajahnya berkerut kesal. “Apa-apaan ini? Pesan macam… suami ke istri? Dia pikir siapa dirinya?” gerutunya, suara hatinya dipenuhi kejengkelan. Ia turun dari ranjang dengan langkah cepat.

“Aku mau pulang,” gumamnya sembari menyapu pandangan ke seluruh ruangan, mencari tasnya. Tapi tak terlihat di meja, tak ada di nakas.

Ia buru-buru membuka laci. Kosong. Pandangannya lalu beralih ke lemari besar di sudut kamar. “Apa dia taruh di sana?” bisiknya. Dengan ragu, ia menarik pintunya.

Namun bukannya tas, yang ia temukan justru deretan pakaian pria dan wanita, rapi dan mewah, seperti koleksi butik pribadi. Kevia terpaku sesaat.

“Bagus-bagus sekali…” gumamnya lirih, separuh takjub, separuh tidak percaya.

Kruk… kruuuk…

Suara perutnya memecah konsentrasi, membuatnya mendesah kesal.

"Sial.” Ia menutup lemari dan berjalan ke arah jendela. Tangannya menyibak gorden, menyingkap pemandangan laut di bawah cahaya bulan temaram. Ombak berkilauan keperakan, indah sekaligus menakutkan.

Namun suara perutnya kembali berteriak, tak memberi kompromi. Kevia menutup gorden dengan kasar, lalu melangkah menuju pintu kamar.

"Lapar sekali. Apa di sini ada makanan?"

Setelah menutup pintu di belakangnya, Kevia terdiam sejenak. Pandangannya menyapu ruangan luas dengan jendela kaca menghadap langsung ke laut. Rumah ini ternyata bukan rumah biasa. Lebih seperti villa pribadi, megah tapi sunyi, dan entah kenapa menimbulkan rasa terjebak.

Ia menelan ludah, bibirnya terkatup kaku. “Rumah siapa ini sebenarnya…?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Tangga kayu berderit pelan saat ia turun dari lantai dua. Aroma masakan samar tercium dari bawah, bercampur wangi laut yang merayap masuk lewat jendela besar.

Begitu sampai di lantai dasar, ia terperanjat melihat sosok seorang wanita paruh baya berdiri menunggunya di ujung tangga. Rambutnya disanggul sederhana, apron putih melingkar di pinggang. Wajahnya teduh, tapi sikapnya penuh wibawa seorang pelayan berpengalaman.

“Nona sudah bangun?” suaranya lembut namun jelas, penuh penghormatan. “Apakah sudah ingin makan malam?”

"Hum…" sahut Kevia pelan, ragu-ragu. Ada sedikit rasa kikuk yang menyelusup di dadanya. Aneh rasanya diperlakukan dengan begitu hormat oleh seseorang yang jelas jauh lebih tua darinya.

Pelayan paruh baya itu menunduk sopan, lalu memberi isyarat dengan tangan.

“Mari, Nona. Makan malam sudah disiapkan.”

Kevia ragu, tapi suara perutnya lagi-lagi memprotes. "Memalukan sekali," gerutunya dalam hati. Akhirnya, ia mengikuti langkah wanita itu ke ruang makan.

Di tengah ruangan, sebuah meja kayu panjang tersusun rapi. Di atasnya berjejer piring porselen putih, sendok-garpu berkilat, dan hidangan hangat yang mengepul aroma menggoda. Sup bening, ikan panggang, tumisan sayur segar, serta sepiring kecil potongan buah telah tersaji.

Kevia duduk pelan, jemarinya tanpa sadar menekan meja, mencoba menahan rasa asing yang menyeruak.

"Kenapa rasanya seperti… rumah? Padahal ini jelas bukan rumahku."

“Silakan, Nona.” Pelayan itu menuangkan sup ke mangkuknya.

Kevia menghela napas, lalu menyendok perlahan. Rasa gurih hangat itu menyentuh lidahnya, membuat tubuhnya yang lelah sedikit tenang. Namun hatinya tetap penuh pertanyaan.

Setelah menelan beberapa suap, ia menoleh ke arah pelayan itu yang berdiri tegak, menjaga jarak.

“Rumah ini… milik siapa?” tanyanya hati-hati.

Pelayan itu tersenyum kecil, samar. “Rumah ini selalu menunggu tuannya pulang.”

Alis Kevia bertaut. “Maksud Anda?”

“Seperti ombak menunggu bulan… selalu kembali. Begitu juga rumah ini.” Jawaban itu tenang, tapi tidak menjawab apa pun.

Kevia meletakkan sendok, menatap tajam. “Orang yang membawaku kemari… siapa dia?”

Pelayan itu menunduk sedikit, matanya sulit terbaca. “Beliau… seseorang yang tidak suka disebutkan namanya.”

Kevia terdiam, jantungnya berdegup kencang. “Jadi aku tidak boleh tahu namanya?”

“Bukan begitu.” Pelayan itu mengangkat tatapannya, lembut tapi menusuk. “Nona akan mengetahuinya sendiri… saat waktunya tiba.”

Kevia menggenggam sendok erat. “Kenapa semua orang di sini bicara pakai teka-teki?!” gumamnya, suaranya hampir pecah.

Pelayan itu tetap tersenyum, seolah sudah terbiasa dengan amarah tamu rumah ini. “Mungkin karena jawaban yang paling berharga… bukan yang diberi, melainkan yang ditemukan.”

Kevia terdiam, dadanya sesak. Ia kembali menyendok sup, meski rasanya kini hambar. Bahkan nama pun tak ia dapatkan. Hanya bayangan samar yang semakin membuatnya merasa terjebak.

Di luar, debur ombak terdengar lebih keras, seakan ikut bersekongkol dalam misteri yang menyelimuti rumah itu.

Usai makan, Kevia mencoba berkeliling, mencari celah untuk kabur. Namun pelayan itu tampak terus mengawasinya.

“Tempat ini jauh dari pemukiman dan juga jalan raya, Nona,” ucapnya tenang.

"Apa dia bisa membaca pikiranku?" batin Kevia, kian gelisah.

Akhirnya ia kembali ke lantai dua. Di kamar, langkahnya mondar-mandir gelisah. Tasnya masih tak ditemukan, rasa penat menumpuk bersama keresahan yang tak kunjung reda.

“Di tempat terpencil yang bahkan tak aku tahu letaknya… aku tak bisa apa-apa tanpa ponselku. Hah… lebih baik aku mandi dulu,” gumamnya, pasrah.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, ia sempat mencoba menonton televisi, namun kebosanan dan rasa cemas membuat pikirannya melayang-layang.

"Ke mana sih, orang sinting itu?" ia menatap pintu degan wajah kesal.

Malam semakin larut, vila itu terasa kian sunyi. Hanya suara jarum jam yang berdetak menusuk telinga.

Tanpa sadar, matanya terpejam. Lelah menelan dirinya hingga tertidur pulas.

Namun di ambang antara tidur dan sadar, Kevia merasakan sesuatu. Sentuhan hangat yang menyusup ke kulitnya. Awalnya ia berpikir ini hanya mimpi. Jemari itu melintas di lengannya, bibirnya bergumam pelan, desahan lolos tanpa ia sadari. Tubuhnya seolah menyambut, meski pikirannya samar menolak.

Hingga detik itu, beban nyata menindih tubuhnya.

Kevia tersentak. Matanya terbuka lebar, mendapati hanya remang cahaya rembulan yang menembus celah gorden, menyingkap siluet tubuh di atasnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat.

“Kau…?!?” suaranya tercekat, panik bercampur takut.

Refleks ia mendorong dada pria itu. Tapi tubuh itu kokoh, bagai dinding yang tak tergeser. Napas Kevia memburu, terengah.

“Menjauh! Dasar mesum!” serunya, mencoba tegas meski getar suaranya tak bisa disembunyikan.

Namun justru saat tangannya menekan dada itu, hangat dan keras menyentuh telapak tangannya. Degup jantungnya memburu tak terkendali, bayangan bentuk dada bidang itu membakar pikirannya.

“Sayang…” suara berat dan dalam itu bergetar di telinganya, penuh bara hasrat. “Jangan tolak aku.”

Tubuh Kevia langsung meremang. Suara itu menusuk ke dalam, merontokkan tembok logikanya.

“Tidak…” bibirnya bergetar lirih, tapi tubuhnya justru berkhianat. Jemari yang seharusnya mendorong malah bergetar tak berdaya. Saat kecupan panas mendarat di lehernya, sekujur tubuhnya terhentak dalam sensasi asing. Antara takut, terpesona, dan terlarut.

Kevia menutup mata rapat, mencoba melawan. “Ini salah… ini salah…” batinnya berteriak.

Namun tubuhnya justru merespons, membakar segala bantahan yang ingin ia teriakkan.

Waktu berlalu penuh gelora. Kevia terbaring lemah, napasnya masih tersengal, tubuhnya bergetar oleh gelombang yang baru saja mereda. Ia menatap kosong ke langit-langit, hatinya penuh kutukan untuk dirinya sendiri.

"Aku benar-benar gila… bagaimana bisa aku larut dalam semua ini?"

Bahkan bayangan tadi masih melekat jelas. Saat tangannya menelusuri dada bidang itu, jemarinya bergerak turun dengan rasa kagum, dan erangan samar yang tanpa sadar meluncur dari bibirnya. Ingatan itu membuat wajahnya memanas, hatinya seperti ditampar.

Bagaimana bisa ia, Kevia, yang seharusnya menolak habis-habisan, justru larut dalam gelombang itu? Malu, marah, dan bingung bercampur, menghantam dadanya hingga ia hanya bisa menutup wajah dengan kedua telapak tangan, mengutuk dirinya sendiri.

Sementara itu, pria misterius itu masih mendekapnya erat. Tubuhnya hangat, kokoh, menyalurkan rasa aman sekaligus ancaman.

Kevia mencoba meronta kecil. “Lepas! Menjauh dariku!”

Suara berat itu terdengar begitu dekat, nyaris berbisik di telinganya. “Tidurlah. Kita lanjut besok…”

“Apa?!”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
anonim
Kevin, ikhlaskan Kevia berbahagia dengan pria pilihannya, kamu pun semoga mendapatkan pendamping yang lebih baik dari Popy yang kau tak suka dijodohkan padanya.
Siti Jumiati
semangat kevia kamu pasti bisa
.. kamu wanita tangguh...
yoga akan tetap mengawasimu kalau kamu benar2 membutuhkan bantuan dia akan membantu.
anonim
Nova keren nih ngebelain Kevia, apa yang dikatakan semua nyata. Tentang mamanya Riri, tentang Popy.

Dasar Riri dan Popy tak tahu malu masih saja berusaha mencari celah untuk menjatuhkan nama baik Kevia.
Wis angel nih duo setan tak mau berhenti nyerocos.

Naaa benar Kevia - laporin polisi saja tuh duo setan kalau masih mau cari masalah dan memfitnah dengan tak ada benarnya.
Siti Jumiati
masih aja jahatin kevia emang Popy dan Riri kurang kerjaan deh, masih aja gangguin kevia, ntar kalau yoga dah turun tangan kalian nyesel Lo udah berbuat jahat sama kevia.
Siti Jumiati
yoga tugas keluar negeri... kevia bakalan kangen nih lama gk jumpa.
semangat lanjut kak Nana
selalu penasaran kelanjutannya semangat kak.
septiana
lanjut kak semangat 💪🥰
asih
aku dukung via kamu harus belajar sendiri untuk menyelesaikan masalah kecil yg terjadi ..minta bantuan yoga tapi jangan terlAlu bergantung padanya dengan pikiranmu yg begitu tandanya kamu kuat Dan bisa mengurus masalah kecil itu sendiri, buat yoga agar tambah ter klepek klepek ma kamu vi 😂😂😂😂😂🤭
mawar
semangat kevia mencari buktinya
Hanima
👍👍🙏
Ninik
kevia begok ya tinggal jujur sama Oga beres ngapain malah ke klien yoga Sega yg ada malah tambah masalah cerdas tp lemot aah...jd Gedeg aku
anonim
Akhirnya Ardi memberitahu dan menjelaskan kepada Kevia kenyataan yang ada, Yoga telah merencanakan semua dengan rapi. Ingin menjerat Kevia secara perlahan.

Kevia sudah berada di kampus, bisik-bisik terdengar membicarakan kehidupan Kevia yang pastinya akibat ulah Riri dan Popy.

Cari mampus nih duet duo setan Popy dan Riri menempelkan puluhan foto Kevia bersama pria paruh baya yang terlihat tampak mesra.
Kevia sangat kaget melihat foto-foto tentang dirinya berdua dengan pria paruh baya yang adalah klien Yoga.

Popy dan Riri lihat saja kelakuanmu pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Cicih Sophiana
Yoga tp gak gitu jg biar Kevia jd wanita kuat dan hebat... Kevia terlalu banyak mendapat bulying dan fitnah yg keji Yoga....
Dek Sri
lanjut
Cicih Sophiana
ujian dari Yoga agar Kevia lebih tegar... maka nya Yoga membiarkan Kevia yg menangani sendiri...
abimasta
tak habisnya riri dan popy bikin gosip tentang kevia,tunggu saja kehancuran kalian
Hanipah Fitri
lanjut thor
septiana
kamu kuat Kevia,kamu harus jadi wanita tangguh untuk mendampingi Yoga.tunjukkan kepada mereka semua kalau kamu bukan seperti yg mereka tuduh kan dengan cara yg elegan.
Puji Hastuti
Kevia masalah mu makin berat
Ceu Markonah
kpn masalahnya selesai
Upi Raswan
terlalu berat kalo harus menyelesaikan sendiri...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!