Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasutri Baru Pindah
Mobil hitam mewah sudah terparkir rapi di depan, bagasi terbuka lebar menunggu koper-koper yang disusun oleh para sopir. Soraya menggenggam erat tangan Laras, seakan enggan melepaskannya. “Sayang… jangan lupa janji kamu sama Mama,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Hubungi Mama kapanpun kamu butuh ya, kamu nggak sendiri.”
Laras menunduk, air mata menitik meski buru-buru ia usap. “Iya Ma, Laras janji. Terima kasih sudah sayang sama Laras.”
Brata berdiri tegap di samping mereka, tidak bisa dipungkiri hatinyaa ikut luluh melihat Laras. Ia menepuk bahu Laras dengan mantap, seperti seorang ayah yang melepaskan putrinya. “Kamu anak baik Laras, Papa percaya… kamu bisa menghadapi Oliver. Papa akan selalu berterimakasih karena Bapak kamu mendidik menantu Papa dengan sangat baik. Jika waktunya sudah tiba, Papa janji akan menjemput kalian pulang. ”
Laras mengangguk patuh, “Iya Pa, Papa dan Mama tidak perlu merasa bersalah. Laras dan Pak Oliver akan baik-baik saja. ”
Oliver keluar dari pintu rumah, melihat sesi haru itu diam tanpa banyak bicara. Ia hanya menuruni tangga, memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Soraya sempat menatapnya tajam, berharap ada setidaknya satu kata lembut keluar dari mulut putranya. Tapi Oliver hanya membuka pintu mobil dengan malas, lalu masuk begitu saja.
Soraya menarik napas berat. Ia menoleh pada Laras, lalu mendekapnya erat untuk terakhir kali. “Pergilah Nak… jaga dirimu baik-baik. Jangan mau ditindas oleh Oliver. Mama sayang sama kamu”
Laras hampir tak sanggup menahan tangisnya. “Iya, Ma… Laras juga sayang Mama.”
Dengan langkah berat Laras masuk ke mobil, duduk di samping Oliver. Sesaat sebelum pintu ditutup, ia menoleh ke belakang dimana Soraya dan Brata melambai dengan senyum sendu.
Oliver duduk dengan wajah dingin, pandangannya lurus ke depan seolah ini bukan apa-apa. Laras menunduk dalam diam, bagaimanapun ia sudah memilih jalan ini. Mobil melaju di jalanan berliku, berbelok-belok, semakin lama semakin kecil hingga hanya cukup untuk satu mobil dengan rerumputan liar di sisi kiri dan kanan. Oliver tidak henti-hentinya menggerutu terutama saat tubuhnya terguncang akibat bebatuan di jalanan.
“Ini bukan desa lagi… ini neraka,” desisnya sambil bersandar kesal ke kursi mobil sesekali menatap ke luar jendela. Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Melihat rumah kecil ini Oliver nyaris gila.
“Ya Tuhan… rumah macam kandang kambing begini yang kalian sebut layak huni?” gerutu Oliver, menatap bangunan kecil sederhana yang ia taksir seluas kamarnya.
Laras menoleh pada rumah di sekitarnya, rumah itu justru jauh lebih baik dari pada semua rumah warga. Pintunya kokoh, terdapat dua jendela di dua sisi depan dan di dalamnya sudah ada perabotan lengkap satu sofa kecil di ruang tamu, dapur mungil dengan kompor gas dan kamar mandi. Namu nada satu yang membuat Laras terganggu, hanya ada satu kamar tidur. Kalau di rumah lama ada sofa disini tidak, lantainya juga terlalu sempit untuk digelar alas tidur.
Laras langsung bergerak lincah merapikan pakaian dan membersihkan rumah. Oliver semula acuh, hanya duduk bersedekap dengan wajah masam. Tapi lama-lama, melihat Laras mondar-mandir tanpa lelah, ia berdecak lalu berdiri mengambil sapu. “Sudahlah, biar aku yang sapu. Kamu bikin pusing kalau mondar-mandir begitu.”
Laras tertegun, kemudian tersenyum tulus. “Terima kasih, Pak.”
Oliver sempat mematung melihat senyum itu, jantungnya berdetak lebih cepat.
Apa-apaan ini? pikirnya gusar.
“Sudah, jangan senyum-senyum, kerjakan pekerjaanmu yang lain sana,” ketusnya cepat, menutupi kegugupannya.
Berkat kerja sama itu, rumah mereka cepat sekali rapi. Untuk pertama kalinya, Laras berpikir Oliver tidak seburuk yang ia bayangkan. Rumah jadi bersih, nyaman, dan terasa hangat.
Kalau Laras tidak ikut, mungkin Oliver sudah membiarkan rumah itu begitu saja.
Tanpa sadar mereka duduk di sofa lebih dekat, keringat mengucur dari pelipis.
Laras berdiri canggung di depan Oliver.
“Apa lagi?” tanya Oliver mendelik.
Laras menunduk malu-malu, lalu menengadahkan tangannya. “Aku… mau minta uang.”
Oliver nyaris tersedak ludahnya, gadis ini benar-benar seperti anak kecil. “Untuk apa?” tanyanya ketus.
“Belanja Pak, kalau tidak kita nggak bisa makan malam ini.”
Oliver mendengus. “Beli saja, nggak usah masak. Badanku saja sudah letih, emang kamu nggak capek, hah?”
Laras menggeleng polos, tangannya tetap terulur. Oliver memandangnya lama, lalu berdecak kesal. Kenapa dia jadi kelihatan imut begini. Aku pasti sudah gila.
“Apa lagi?” katanya ketus.
Laras mengerjap, “Uangnya, mana?”
Oliver tertegun, sekali lagi wajah polos itu sukses membuatnya terdiam. Sambil mengumpat pelan, ia mengeluarkan dompet, menyerahkan semua uang tunai yang tersisa. Hanya satu juta rupiah.
“Nanti aku ambil lagi, cuma ada ini.”
Laras tersenyum senang. “Nggak apa-apa, ini sudah cukup.”
Oliver melongo. Sejuta? Hanya cukup sekali makan bareng Selena saja kurang! Kok bisa dia bilang cukup?
Laras bergegas mengambil sandal, bersiap mencari warung.
“Mau ke mana?” tanya Oliver.
“Ke warung, beli makan malam untuk kita…” jawab Laras kikuk.
Oliver mengacak rambutnya, lalu ikut mengambil sandal. Hari sudah malam, ia tidak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu pada Laras, tidak lebih dari itu.
Laras langsung mencegah, “Nggak perlu Pak, saya bisa sendiri.”
Oliver mendelik, “Jangan geer! Aku mau beli sesuatu, bukan mau menemani kamu.”
Mereka berjalan bersisian, hanya berjarak setengah meter hingga menemukan sebuah warung kecil di dekat pabrik. Meski sudah larut malam, beberapa pria berseragam masih duduk di bangku panjang, makan nasi dengan lauk seadanya.
Oliver meringis jijik melihat tempat itu. “Oh god, aku bisa mati keracunan kalau makan disini.”
Laras menoleh lembut. “Coba dulu Pak, lagi pula bersih kok. Mau makan di sini atau dibungkus?”
“Di sini saja, biar cepat,” gumam Oliver tak rela.
Mereka duduk di kursi kayu panjang. Laras memesan pecel lele dua porsi. Saat makanan datang, baunya memang sederhana, tapi rasanya ternyata tidak seburuk dugaan Oliver.
Di sela makan, telinga Oliver menangkap percakapan beberapa karyawan pabrik. Ada yang mengeluh rumahnya bocor tak bisa diperbaiki, ada yang anaknya menunggak sekolah, ada pula yang terjerat utang karena harga kebutuhan pokok naik.
Oliver mendengus. Perusahaan Papa selalu memberikan gaji yang layak. Kenapa hidup mereka parah sekali? Rumah-rumah di sekitar sini juga nyaris roboh. Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?
“Minum, Pak,” suara Laras memecah lamunannya. Gadis itu menyodorkan air botol tertutup rapat, tahu Oliver tidak biasa minum dari gelas warung. Oliver hanya berdehem, tapi diam-diam hatinya terusik.
Tiba-tiba seorang pria lokal mendekati meja mereka. “Teteh baru di sini ya? Saya belum pernah lihat Teteh sebelumnya,” sapanya dengan logat Sunda yang kental.
Laras menoleh ramah. “Iya Kang, saya baru pindah ke sini.”
Oliver spontan mengernyit, darahnya mendidih melihat Laras tersenyum pada pria asing itu.
“Aku selesai, ayo pulang,” potong Oliver dingin.
Laras buru-buru membayar, lalu pamit ramah pada pria tadi. Oliver berdecak, matanya menyipit menatapnya.
Apa-apaan sih, senyum-senyum begitu sama orang asing? Dasar gadis kampung kecentilan!
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀