Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya kebetulan?
Sudah seminggu Revan resmi menjabat sebagai Manager Marketing di perusahaan itu. Perannya begitu menonjol, namun dalam diam ia juga menaruh perhatian pada sesuatu yang lebih besar, mencari tahu siapa sebenarnya dalang dari insiden yang menimpa dirinya dan Tasya beberapa waktu lalu.
Malam itu, ruang rapat besar dipenuhi cahaya lampu putih yang masih terang meski jam di dinding sudah menunjuk pukul tujuh malam. Agenda meeting mereka memang cukup padat, membahas persiapan campaign besar-besaran yang akan digelar perusahaan dalam waktu dekat.
Beberapa influencer ternama ikut hadir, menambahkan suasana berbeda dalam pertemuan itu. Ruangan dipenuhi suara diskusi, derap jari yang mengetik cepat di laptop, hingga tawa singkat yang sesekali terdengar.
Di depan layar presentasi, Tasya dan Fira berdiri dengan penuh percaya diri. Keduanya memaparkan rencana agenda acara, membagi detail mulai dari rundown kegiatan, target engagement, hingga konsep kreatif yang akan digunakan.
"Campaign ini akan mengusung tema One Step Closer, fokus kita ada pada keberanian untuk melangkah maju," jelas Tasya, suaranya lantang namun lembut. Cara ia menyusun kalimat, gestur tangannya yang selaras dengan isi pembicaraan, membuat semua mata tertuju padanya.
Di sudut meja, Aldo memperhatikan Tasya dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan. Awalnya ia hanya berniat mengikuti meeting seperti biasa, tapi semakin lama, ia semakin terpukau dengan cara Tasya berbicara. Ada daya tarik dalam intonasi, kejelasan gagasan, dan sorot matanya yang seolah yakin pada setiap kata.
"Dia bukan sekadar bawahan biasa," batin Aldo, pandangannya tak lepas dari Tasya meski ia berusaha terlihat wajar.
Sementara itu, Revan duduk di kursinya, memperhatikan jalannya presentasi dengan fokus. Sesekali ia mengangguk, mencatat poin-poin penting. Namun di balik ketenangannya, pikirannya masih berputar pada misi pribadinya.
Meeting berlanjut hingga larut malam. Semua orang tampak kelelahan, namun ide-ide terus mengalir.
"Presentasi kamu keren banget, Tas," puji Aldo dengan senyum tipis tapi tulus. "Cara kamu menyampaikan ide itu jelas, runtut, dan bikin semua orang fokus. Jarang ada yang bisa bikin ruangan serius kayak gini tetap nyaman didengar."
Tasya sempat tertegun, pipinya sedikit merona karena tak menyangka akan mendapat apresiasi langsung. "Oh … makasih, Al."
Belum sempat suasana mereda, Fira yang duduk di sebelah Tasya langsung menyela sambil manyun. "Eh, bentar deh. Kok cuma Tasya yang dipuji? Padahal aku juga yang presentasi bareng dia, loh."
Ruangan sempat hening sesaat sebelum beberapa orang tertawa kecil menahan geli. Aldo terkekeh sambil mengangkat tangannya seolah membela diri.
"Wah, iya juga sih. Maaf, Fira. Kalian berdua memang kompak banget, presentasinya bikin aku makin yakin acara ini bakal sukses besar," ujar Aldo, mencoba menenangkan suasana.
Fira langsung menyilangkan tangan di dada, pura-pura kesal. "Ya bagus dong kalau sadar. Aku kira kamu cuma terpukau sama Tasya doang."
Tasya menoleh ke Fira sambil menahan tawa, lalu berbisik pelan. "Kamu tuh, bisa aja …"
Sementara itu, Revan yang sejak tadi memperhatikan dari sudut meja, hanya diam tanpa ekspresi. Matanya sekilas menatap ke arah Aldo yang terus menyorot Tasya. Ada sesuatu di sorot matanya, campuran antara kesal dan waspada.
---
Setelah seharian penuh di kantor, Tasya akhirnya bisa merapikan barang-barangnya untuk pulang. Raut lelah jelas tergambar di wajahnya, apalagi tadi presentasi cukup menguras energi. Ia baru saja menyalakan layar ponselnya ketika sebuah pesan masuk.
Tasya, kamu bisa nggak malam ini ke rumah sakit? Kebetulan Tante jaga malam, sekalian Tante mau ngomongin hasil lab kamu.
Tasya tertegun membaca pesan itu. Jam sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam. Sejenak ia ragu, khawatir merepotkan Tante Bella yang pastinya juga sudah lelah setelah seharian praktek. Namun, pesan itu jelas menandakan ada sesuatu yang penting.
Dengan napas dalam, ia meraih tasnya. "Ya sudah, besok saja istirahat panjang. Malam ini aku harus ke rumah sakit," gumamnya pelan, berusaha menenangkan debaran jantung yang tiba-tiba makin kencang.
Lampu rumah sakit yang temaram membuat suasana terasa makin sepi. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, tapi Tante Bella tetap meluangkan waktu untuk Tasya. Dengan wajah serius, ia meletakkan berkas hasil lab di atas meja.
"Tasya …" suara Tante Bella pelan, tapi cukup menusuk hati. "Ada beberapa hasil yang … agak mengkhawatirkan. Sel darah kamu menunjukkan tanda-tanda yang nggak normal."
Sekejap tubuh Tasya terasa lemas. Jemarinya gemetar, dadanya seperti diremas. Ingatannya melayang pada ibunya, saat terakhir melihat sang mama di ranjang rumah sakit, lemah dengan wajah pucat. Air mata langsung berkaca-kaca di pelupuknya.
"Jadi … aku bisa kayak mama?" bisik Tasya lirih, hampir tak terdengar.
Tante Bella buru-buru menggenggam tangannya, berusaha menenangkan. "Jangan berpikir sejauh itu dulu, Sayang. Tante nggak mau kamu terbebani dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Tapi … untuk memastikan, Tante sarankan kamu segera melakukan pemeriksaan lanjutan. Bisa rawat inap atau tindakan medis lainnya."
Tasya menunduk, pundaknya bergetar. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Suara hatinya berbisik, seolah takdir ingin mengulang tragedi yang sama.
"Tasya ... kamu nggak boleh anggap ini enteng," suara Tante Bella nyaris bergetar, mencoba menahan emosinya. "Kamu harus dirawat inap, supaya aku bisa ngawasin kondisi kamu dengan baik."
Namun Tasya menggeleng keras, air matanya jatuh juga. "Aku nggak bisa, Tante ... aku ada deadline besar minggu depan. Kalau aku dirawat inap, semua pekerjaanku berantakan. Aku nggak boleh mengecewakan kantor."
Nada bicaranya berusaha tegas, tapi tubuhnya justru goyah. Tante Bella sigap menopangnya, merasakan betapa lemah bahu keponakannya itu.
"Tasya ..." Tante Bella menatap dalam ke mata gadis itu, "kamu pikir almarhum mamamu mau lihat kamu hancur karena memaksa dirimu sendiri? Penyakit ini nggak bisa ditawar. Kalau kamu tetap nekat, kesehatanmu bisa makin memburuk."
Tasya menunduk, air matanya menetes ke hasil lab yang ia genggam. Dalam hati, ia tahu Tante Bella benar. Tapi rasa takut kehilangan pekerjaannya dan ambisi yang selama ini ia perjuangkan membuatnya lebih memilih jalan berbahaya.
"Aku ... aku tetap pilih rawat jalan, Tante," bisiknya lirih. "Aku janji bakal kuat. Aku janji nggak akan jatuh kayak Mama ..."
Tante Bella memejamkan mata, hatinya perih mendengar kalimat itu. Ia tahu Tasya sedang menyangkal kenyataan, tapi ia juga tak bisa memaksakan. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mendampingi, meskipun dengan rasa cemas yang kian menumpuk.
---
Langkah Tasya terasa berat saat meninggalkan ruang dokter, pikirannya masih penuh dengan kalimat yang baru saja ia dengar. Nafasnya tercekat, matanya masih sembab meski sudah ia usap berkali-kali.
Baru saja ia menuruni tangga menuju pintu keluar, seseorang menghentikan langkahnya.
"Anastasya?"
Tasya menoleh cepat. Revan berdiri tak jauh darinya, tatapan matanya menajam penuh curiga. "Kamu ngapain di sini? Eh ... kamu baik-baik aja, kan?"
Jantung Tasya langsung berdebar. Ia buru-buru tersenyum hambar, mencoba mengalihkan. "Eh … kamu sendiri, ngapain di rumah sakit jam segini?"
Revan menghela napas pelan, matanya belum lepas dari wajah Tasya. "Aku mau ketemu Mama. Beliau kan kerja di sini."
TO BE CONTINUED