Dibalik cerita kelam dan kesalahan besar, ada luka yang tersembunyi mencari kesembuhan.
"Aku membelimu untuk menjadi wanita bayaranku seorang!" -Bara-
"Pilihanku menerima tawaranmu, dan perasaanku adalah resiko dari pilihanku sendiri " -Shafa-
*
Hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam hanya untuk pengobatan Ibunya. Lalu, bertemu seorang pria kaya yang membelinya untuk menjadi wanita bayaran miliknya seorang. Bisa terlepas dari dunia malam saja, dia sudah bersyukur dan menerima tawaran itu.
Namun, sialnya dia salah melibatkan hati dan perasaan dalam situasi ini. Mencintai pria yang membayarnya hanya untuk pemuas gairah saja.
Di saat itu, dia harus menerima kenyataan jika dirinya harus pergi dari kehidupan pria itu.
"Aku harus kembali pada istriku"
Dengan tangan bergetar saling bertaut, dada bergemuruh sesak dan air mata yang mulai menggenang, Shafa hanya mampu menganggukan kepalanya.
"Ya, aku akan pergi dari kehidupanmu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Tujuannya Membayarku?
Malam ini Shafa terdiam saat melihat Bara yang sudah duduk bersandar di atas tempat tidur. Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian di lift waktu itu. Lalu dia mendapatkan tadi pagi dirinya sudah tidak menstruasi. Padahal biasanya jika dia menstruasi bisa sampai 10 hari.
"Aneh, kenapa menstruasi tiba-tiba tidak lancar ya"
Meski sedikit bingung karena ini adalah pertama kalinya seperti ini. Shafa tetap mencoba untuk berpikir positif saja.
"Kau tidak akan tidur?"
Shafa mengerjap pelan saat suara bariton itu terdengar. Dia langsung berjalan ke arah tempat tidur, perlahan naik dan duduk di samping Bara.
"Em, aku sudah selesai menstruasi sekarang" lirih Shafa, dia hanya memberikan apa yang seharusnya dia berikan pada Bara yang telah membayarnya.
"Terus kenapa?"
Shafa menoleh padanya, menatap Bara dengan sedikit bingung. Kenapa dia malah bertanya seperti itu? Seolah memang dia tidak mengerti apa maksud dari ucapan Shafa, karena tidak mungkin jika Bara tidak mengerti sama sekali.
"Em, kan kamu membayar aku dari Mom Erlin, memang untuk-"
"Tidurlah, aku lelah sekali dengan pekerjaan hari ini"
Bara langsung merebahkan tubuhnya. Sementara Shafa hanya menatapnya dengan bingung, apa yang ada dalam bayangan dan pikiran Shafa tentang Bara yang membelinya, ternyata tidak sesuai.
Apa aku salah menduga tentang dia yang membayarku? Jika bukan untuk pemuas gairahnya, lalu untuk apa?
Shafa menggeleng pelan, menghilangkan pikirannya yang mulai kemana-mana. Dia segera ikut berbaring di samping Bara. Menarik selimut sampai ke dadanya dan berbalik membelakangi Bara.
Sebenarnya apa tujuan dia membayarku?
Shafa masih sibuk dengan pikirannya, dan tertegun saat tangan kekar Bara menariknya ke dalam pelukan. Shafa terdiam saat tangan kekar itu benar-benar memeluknya erat. Rasa hangat dari tubuhnya membuat Shafa sedikit gugup.
Jantungku, kenapa berdetak kencang seperti ini.
Shafa mencoba untuk menenangkan diri dan perasaannya sendiri saat hatinya pun mulai tidak bisa tenang saat Bara memeluknya seperti ini.
"Berbaliklah"
Shafa sedikit merinding saat merasakan hembusan napas hangat Bara di telinganya ketika di berbisik. Detak jantungnya semakin kencang, membuat Shafa merasakan gugup yang luar biasa.
Ini aneh, bukan pertama kalinya kau di peluk oleh seorang pria. Bahkan dalam keadaan tanpa busana. Kenapa sekarang harus merasa gugup seperti ini. Sadar Shafa, kamu bukan gadis remaja yang polos.
Ketika Shafa berbalik menurut seperti ucapan Bara, wajahnya berada tepat di depan dada bidang pria itu. Pelukan yang semakin erat dan hangat yang Shafa rasakan. Shafa sedikit mendongak saat merasakan benda kenyal dan hangat menempel di keningnya. Itu adalah bibir Bara yang sengaja dia tempelkan di keningnya.
Perlahan rasa hangat dari pelukan itu, semakin menambah rasa nyaman pada dirinya. Shafa perlahan memejamkan mata, dan akhirnya terlelap dalam pelukan Bara.
*
"Hey, kau kenapa? Shafa, bangun!"
Suara itu terdengar samar di telinganya, lalu tubuhnya yang seperti di goncang membuat kedua kelopak mata yang awalnya terpejam, akhirnya terbuka. Shafa melihat Bara yang menatapnya penuh khawatir. Tunggu! Benarkah dia khawatir? Masih adakah orang yang akan mengkhawatirkannya? Atau Shafa hanya salah lihat dan salah mengartikan saja arti tatapan Bara saat ini. Entahlah.
"Kau kenapa?"
Shafa mengerjap pelan, dia perlahan bangun dengan kepala yang terasa sakit. Memegang kepalanya sendiri yang benar-benar terasa berat.
"Aku-" Ucapan Shafa terhenti saat Bara mengelap bawah hidungnya dan pipinya menggunakan tisu. Shafa baru menyadari hal itu. "Ah, aku mimisan ya. Maaf ya mengotori bantal"
"Kau kenapa?"
Pertanyaan yang sama karena Shafa belum menjawab dengan jelas pertanyaan Bara itu. Sebenarnya tatapan dan raut wajah Bara memang terlihat cemas, tapi Shafa menutup hatinya untuk tidak terlalu berharap akan hal itu.
"Ah tidak papa, mungkin aku terlalu banyak pikiran dan capek jadi mimisan. Soalnya lagi ngerjain revisian skripsi"
Bara mengelap pipi dan bawah hidung Shafa dengan lembut dengan tisu basah. Hal itu membuat Shafa terdiam dengan memperhatikan wajah pria di depannya. Hatinya menghangat dengan sikap Bara ini.
"Aku bisa sendiri kok"
"Sudah, kau diam saja. Kalau perlu bantuan tentang skripsi kamu, bilang saja padaku"
Shafa tersenyum dan mengangguk, lalu dia mengingat tentang panggilan Bara padanya untuk pertama kali setelah mereka tinggal satu atap sudah hampir satu minggu ini.
"Em, tadi kamu memanggilku apa?"
"Shafa"
Mendengar Bara memanggilnya dengan nama itu, sungguh membuat senyuman Shafa begitu lebar. "Jadi kamu ingat nama asli aku?"
Entah kenapa aku merasa bahagia sekali karena dia mengingat nama asliku.
Bara sedikit mengerutkan keningnya, lalu dia mengangguk pelan. "Ya aku ingat namamu sejak pertemuan pertama kita di pinggir jalan. Memangnya kenapa?"
Dia ingat juga pertemuan pertama kita. Ya Tuhan, kenapa aku senang sekali.
"Tapi waktu itu kamu memanggilku Lau-rent" ucap Shafa dengan sedikit enggan menyebutkan nama malamnya yang diberikan oleh Mom Erlin itu.
"Dan kau lebih suka aku panggil siapa? Shafa atau Laurent?"
"Shafa, panggil aku Shafa saja" Jangan panggil Laurent lagi, karena itu adalah nama yang menghancurkan segalanya dalam hidupku.
"Baiklah, sekarang apa kau tidak mau ke rumah sakit untuk periksa? Kau tiba-tiba mimisan"
Shafa menggeleng pelan, karena dia juga masih menunggu hasil pemeriksaannya waktu itu keluar. Jadi untuk apa sekarang kembali periksa ke Dokter, karena dia pun belum tahu hasil dan penyakit apa yang sebenarnya dia alami.
"Aku tidak papa, itu sudah biasa terjadi kok"
Sebenarnya mimisan ini sudah terjadi sejak satu tahun terakhir. Namun Shafa selalu mengira jika itu hanya karena dia kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Jadi, Shafa tidak mempermasalahkan lagi tentang itu.
"Tapi jika keterusan, mungkin itu adalah pertanda bahaya. Kau harus periksa"
"Ya, aku akan periksa jika keterusan"
Bara mengangguk, dia turun dari tempat tidur. Mengusap rambut Shafa sekilas. "Aku siap-siap dulu ke Kantor"
Shafa mengangguk, setelah Bara berlalu ke ruang ganti, dia memegang kepalanya sendiri yang tadi di usap lembut oleh Bara. Wajahnya tiba-tiba terasa memanas sekarang.
"Ah, kenapa dia jadi seperti ini ya?" Shafa menahan senyum meski tidak bisa, dia hanya sedang mencoba untuk tidak terpikat dengan sikap Bara saat ini. "Ingat Shafa, kamu hanya wanita bayaran. Jadi jalankan tugasmu sesuai peranmu"
Bersambung