NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seperti yang Dulu

Ruang konferensi itu sunyi, hanya diisi suara ketikan laptop dan denting halus gelas kristal yang disentuh. Lampu gantung elegan di langit-langit memantulkan cahaya keemasan, menyinari meja panjang yang dipenuhi dokumen, grafik, dan proposal. Aroma lembut lavender mengisi udara.

Sagara duduk tegap di ujung meja, wajahnya serius. Jas gelap yang dikenakan membingkai tubuh dengan rapi, menunjukkan sisi profesional yang selama ini dijaga ketat. Di sampingnya, Adisty tampak anggun dalam balutan blazer putih gading. Selaku asisten pribadi, Adisty bertindak cakap—senyumnya ramah, sorot mata menyimpan kalkulasi tajam.

Di hadapan mereka, duduk seorang pria paruh baya—kolega penting dari perusahaan asing yang sedang menjajaki kerja sama strategis dengan Sagara Corp. Pembicaraan telah berlangsung lebih dari satu jam, membahas potensi ekspansi bisnis dan pertukaran modal dalam skala besar.

Sagara sesekali mengangguk pelan, menyimak dengan saksama setiap detail yang disampaikan sang kolega. Namun, pikiran tak sepenuhnya berada di ruangan itu. Di balik sorot mata yang tajam, tersembunyi riak-riak kekhawatiran. Dia terbayang-bayangan Lania—wajah istrinya yang terluka, sorot mata yang penuh tanya.

Adisty, menyadari sedikit celah itu, dengan luwes mengisi kekosongan. Dia bicara dengan lancar, meyakinkan, menawarkan data, menguatkan argumen. Dalam beberapa kesempatan, melempar pandang ke arah Sagara—senyumnya manis, seolah mengatakan ‘biar aku yang urus ini.’

Sagara menarik napas dalam-dalam. Dia menyandarkan tubuhnya sedikit ke kursi, mencoba memberi ruang untuk berpikir. Kolega mereka baru saja selesai mempresentasikan keuntungan potensial jika joint venture ini berjalan, dan kini menanti respons Sagara dengan penuh ekspektasi.

“Angkanya masuk akal,” ucap Sagara akhirnya, tenang dan terukur. Memang pikiran banyak terbagi, tetapi masih bisa mengikuti presentasi.

Masih dengan ekspresi serius, Sagara menatap lekat kolega. “Namun, saya butuh kepastian bahwa dalam implementasi tahap pertama, kendali penuh tetap di tangan kami. Risiko awal terlalu besar untuk dibagi rata.”

Kolega itu mengangguk pelan, mengusap dagunya. “Tentu, itu bisa dibicarakan lebih lanjut.”

Adisty langsung menambahkan, “Kita sudah menyiapkan skema revisi untuk distribusi kepemilikan di tahun pertama, bila diperlukan. Saya akan kirimkan detailnya dalam dua puluh empat jam.” Jemari lentiknya menyodorkan sebuah map merah berisi dokumen tambahan, gerak-geriknya cepat dan profesional.

Rapat berlanjut sekitar lima belas menit, ditutup dengan jabat tangan dan janji untuk bertemu kembali minggu depan. Saat kolega mereka meninggalkan ruangan, Sagara tetap berdiri di tempat, pandangan kosong mengarah ke jendela besar yang memperlihatkan lalu lintas padat.

Adisty mendekat, suaranya pelan. “Kamu terlalu banyak berpikir, Ga.”

Sagara tidak menoleh sama sekali. “Aku hanya ingin memastikan semua berjalan sempurna.”

“Kamu sedang mencoba mengalihkan pikiranmu dari sesuatu yang lain,” balas Adisty, matanya menatap langsung. “Aku tahu kamu. Waktu seperti ini, kamu biasanya lebih tajam. Tapi sekarang… kamu ragu.”

Baru sekarang, Sagara berbalik badan. Dia tahu Adisty tidak salah. Sejak Lania mengalami kecelakaan—atau lebih tepatnya, sejak rasa curiga tentang siapa yang menyebabkan kecelakaan—jadi tidak bisa sepenuhnya fokus.

“Aku akan baik-baik saja,” kata Sagara akhirnya. “Asal semua ini tidak berantakan.”

Adisty tersenyum kecil, lalu berkata, “Asal kamu bisa mempercayai aku.”

Ucapannya terdengar biasa, tetapi ada sesuatu di dalam intonasinya—halus, menusuk—yang membuat Sagara menoleh cepat. Adisty sudah kembali ke mejanya, membereskan dokumen dengan tenang seperti tak ada yang terjadi.

Sagara berdiri kaku beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan. Entah kenapa, hawa di dalam ruang rapat itu tiba-tiba terasa dingin. Sadar… bukan karena AC yang terlalu dingin, hal itu disebabkan karena mulai menyadari sesuatu—musuh terbesarnya mungkin bukan di luar sana.

“Ini tidak benar,” monolog Sagara, menepis prasangka tidak berdasar.

Lorong hotel terasa senyap saat Sagara berjalan perlahan, suara langkah sepatunya bergema di lantai marmer. Dia tak langsung menuju lift, melainkan berdiri sejenak di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Langit mulai mendung. Gedung-gedung pencakar langit terlihat pucat diterpa cahaya yang dingin.

Pikirannya berkelindan, wajah Lania terbayang. Sorot matanya saat terakhir kali mereka bertemu—lelah, tetapi menuntut pengorbanan. Sagara mengingat bagaimana sang istri memohon agar tak pergi, supaya memasrahkan tugas kepala pegawai saja.

Suara langkah pelan mendekat dari belakang. Dia tahu itu Adisty, bahkan sebelum menoleh.

“Kamu harus istirahat,” ujar perempuan itu ringan. “Kita baru saja mendapatkan peluang besar. Setidaknya beri dirimu satu malam tanpa beban.”

Sagara menatap ke luar jendela, lalu berkata pelan, “Kamu terlalu percaya diri, Dis.”

Tawa lirih nan anggun Adisty nyaman didengar. “Itu bagian dari pekerjaanku. Juga bagian dari alasan kamu tetap butuh aku di sini.”

Sekonyong-konyong, Sagara menoleh padanya. “Tapi kalau ternyata yang kamu sembunyikan lebih besar dari yang kamu tunjukkan… kamu tahu konsekuensinya.”

Adisty tidak langsung menjawab. Dia menatap mata Sagara lama, lalu menurunkan nada bicaranya, lembut tapi penuh makna. “Kamu bicara seolah aku musuhmu, Ga. Padahal kalau bukan karena aku, rapat tadi tidak akan sebersih itu. Aku selalu berada di sisimu.”

“Ya,” gumam Sagara. “Aku berharap kamu tetap seperti yang dulu.”

Adisty menarik napas. Senyumnya masih ada, tetapi terasa amat hambar.

“Aku akan kembali ke kamar. Kita masih punya rapat dengan tim hukum besok pagi,” kata Adisty akhirnya.

Tanpa menunggu balasan, dia berbalik, melangkah anggun melewati lorong. Sagara hanya diam, menatap punggungnya menjauh. Detak jarum jam di dinding lorong terdengar makin keras di telinganya.

Sagara baru masuk dan menyandarkan tubuhnya di sofa kamar hotel ketika ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama yang muncul di layar membuat dadanya langsung mengencang—Mama Yuris.

Tanpa pikir panjang, dia menjawab.

“Mama?”

Suara di ujung sana terdengar tergesa dan tetap tenang, seperti biasa.

“Sagara, maaf mengganggumu malam-malam begini, ini penting. Seseorang menyusup ke rumahmu.”

Sagara langsung berdiri. “Apa maksud Mama? Rumah… disusupi? Siapa yang—”

“Kami belum tahu siapa pelakunya, tetapi tidak ada barang yang diacak-acak. Tidak terlihat ada yang diambil, tapi… Lania sempat berada di dalam rumah saat kejadian.”

Darahnya langsung berdesir. “Lania—dia terluka?”

“Tidak, hanya saja Lania sangat terguncang. Syukur dia bisa keluar rumah dan langsung ke rumah.”

“Ini sudah tidak—” Sagara mengusap wajahnya dengan satu tangan, rahangnya mengeras. Tahu, Mama Yuris bukan tipe yang mudah panik. Jika beliau yang turun tangan langsung, maka situasinya benar-benar gawat.

“Dia bilang siapa pun yang masuk rumah tahu jalan dan tahu kapan harus menyerang,” lanjut Mama Yuris.

Sagara membeku. Tahu kapan harus menyerang.

Itu bukan tindakan acak. Itu... direncanakan. Dari dalam.

“Aku akan pulang sekarang,” katanya cepat.

“Jangan gegabah.” Suara Mama Yuris terdengar lebih tajam sekarang. “Ini bisa jadi masalah lebih besar, berusahalah bersikap normal. Yang penting sekarang, Lania selamat. Biarkan dia tenang dulu.”

Perkataan itu menghantam keras, tapi Sagara menahan diri.

“Mama…” ucapnya pelan. “Aku harus tahu siapa yang melakukan ini.”

“Dan kamu akan tahu. Tapi kamu harus waras dulu. Jangan terbakar emosi. Mulai sekarang, kamu tidak boleh percaya siapa pun. Bahkan orang-orang yang paling dekat denganmu. Paham?”

Sagara terdiam. Lalu mengangguk pelan, meski Mama Yuris tidak bisa melihatnya.

“Ya, Ma. Saya mengerti.”

“Bagus. Jaga dirimu. Aku akan jaga Lania.”

Panggilan terputus.

Sagara menatap ponselnya lama, lalu memejamkan mata. Napasnya berat. Kini semuanya semakin jelas—apa yang selama ini dianggap kebetulan, ternyata bagian dari serangan bertahap.

Dan sekarang, garis batasnya sudah dilanggar.

Lania telah diserang.

Dari malam ini, semua berubah.

Sagara tahu, dia tidak bisa lagi diam—harus bergerak. Bukan hanya untuk melindungi Lania. Melainkan, untuk membongkar siapa yang selama ini bermain di balik bayangannya.

1
[AIANA]
wah dia bukan mak lampir, ternyata dia iblis,
[AIANA]
mak lampir plis hus hus hus.
[AIANA]
tantang aja. kalau kamu (Sagara) masih memperlakukan lania dg buruk dan memilih mak lampir, aku dg tangan terbuka akan menampungnya. hahahaha
Mega: Hahaha, siap jadiin ayam geprek ya.
total 1 replies
Queenci Kim
💃🏻💃🏻
Iza
😭😭😭
[AIANA]
nah, jadi orang bodoh lagi kan. sebel aku lama2
Mega: Sabar-sabar, masih awal.
total 1 replies
[AIANA]
ini si Sagara, sekalipun ilang ingatan. sekalipun yg dia ingat adalah perdebatan tentang perceraian. kok dia lupa sama hatinya ya? ada hal lain kah yg belum dibahas?

jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
Mega: Sagara jadi korban penulis plin-plan. kikikikik
total 1 replies
[AIANA]
waktu istri
Mega: Banyak banget typo ternyata ya. kikikikik. nulisnya sambil-sambil. Nanti, deh, revisi lagi. makasih
total 1 replies
[AIANA]
bentar, aku ga salah kan? skg ini si Lania kondisi hamil kan ya?
Mega: Iya, kikikikikikik.
total 1 replies
Mega
MasyaAllah dapat kejutan aku. Makasih sudah sempatkan mampir. kikikikikikik
[AIANA]
lihai bener sih ini nenek lampir
kamu dapat inspirasi dari mana jal
[AIANA]
meninggal kamar. sereeem.
hai sayang. aku datang karena penasaran
Mega: Ayo mulai nulis lagi
[AIANA]: semangat!!! aku bangga padamu. kamu aja kyk gt apalagi aku. malu udah hiatus 1th
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!