Niat hati hanya ingin mengerjai Julian, namun Alexa malah terjebak dalam permainannya sendiri. Kesal karena skripsinya tak kunjung di ACC, Alexa nekat menaruh obat pencahar ke dalam minuman pria itu. Siapa sangka obat pencahar itu malah memberikan reaksi berbeda tak seperti yang Alexa harapkan. Karena ulahnya sendiri, Alexa harus terjebak dalam satu malam panas bersama Julian. Lalu bagaimanakah reaksi Alexa selanjutnya ketika sebuah lamaran datang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab dari Julian.
“Menikahlah denganku kalau kamu merasa dirugikan. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.”
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Tidak Berani Memecat
Tidak Berani Memecat
“Di sini, Al.” Risma melambaikan tangan, memanggil Alexa untuk menempati kubikel kosong di sebelahnya begitu melihat Alexa memasuki ruangan.
“Tempatmu di sini kata Bu Arini,” ujar Risma memberitahu saat Alexa menarik kursi untuk ia duduk.
Alexa menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan ruangan yang akan menjadi tempatnya bekerja itu cukup luas dengan jendela kaca berukuran besar di setiap sisi dindingnya yang memungkinkan ruangan itu menerima banyak cahaya dari luar. Sehingga ruangan itu tidak membutuhkan banyak penerangan di siang hari.
“Sssttt ... Al.” Risma memanggil setengah berbisik. Takut suaranya akan mengganggu rekan yang lain.
Alexa menoleh, menaikkan dua alisnya. “Apa?”
“Rapat tadi kenapa kamu nunduk terus? Kamu lihat CEO kita? Cakep kan?”
Kening Alexa malah berkerut. Seolah tidak setuju dengan Risma. Lantas bahunya pun mengendik. “Biasa saja.”
“Aissshh ... anak ini. Secakep itu kamu bilang biasa saja? CK ck ck ... matamu rabun ya?”
“Hm? Mungkin. Soalnya beberapa hari ini penglihatanku agak kurang baik.” Alexa berpura-pura mengucek matanya. Padahal ia hanya tidak ingin mengakui bahwa Julian memang tampan. Risma saja sampai kepincut seperti itu.
Namun sepertinya bukan hanya Risma yang kepincut. Di kubikel-kubikel sebelah, rekan-rekan yang lain juga sedang membicarakan Julian.
“Al, dengar-dengar Pak Julian katanya masih single. Aku jadi penasaran, kabar itu benar atau tidak. Soalnya masa iya sih, pria setampan Pak Julian belum punya pasangan,” kata Risma.
“Bisa saja dia penyuka sesama jenis. Makanya masih jomblo sampai sekarang.”
“Hus, dasar kamu, Al. Kalau nanti kedengaran Pak Julian gimana? Apa kamu mau dipecat ?”
“Mana berani dia memecatku.”
“Alexa.” Suara Bu Arini tiba-tiba mengagetkan Alexa dan Risma. Membuat dua perempuan manis itu menegang seketika.
Risma menelan ludah, mengira ucapan Alexa barusan didengar oleh Bu Risma. Sehingga mengundang Bu Risma datang menghampiri mereka.
“Tamat riwayatmu, Al. Aku bilang juga apa, jangan ngomong sembarangan tentang CEO. Kalau kamu dipecat gimana, Al?” bisik Risma merasa cemas pada nasib teman barunya. Padahal susah payah mereka mendapatkan pekerjaan ini. Mereka bahkan harus menyingkirkan tidak sedikit pelamar yang juga memenuhi kriteria yang dibutuhkan Royale.
“Kita lihat saja nanti apa aku akan dipecat,” balas Alexa berbisik pada Risma.
“Alexandra Putri Atmaja,” panggil Bu Arini, menghentikan langkahnya di depan kubikel Alexa.
“Ya, itu saya, Bu.” Alexa langsung berdiri begitu namanya dipanggil.
“Kamu dipanggil ke ruangan CEO sekarang.”
Risma terperangah seketika itu juga. Ia berpikir Alexa akan menerima sanksi karena mengatai Julian penyuka sesama jenis. Bu Arini pasti sudah mendengar obrolan mereka tadi lalu melaporkannya pada Julian.
“Tuh kan, aku bilang juga apa, Al.” Risma kembali berbisik dengan wajah cemas.
Alexa hanya tersenyum, mengedipkan matanya pada Risma sambil berkata pelan, ”Tenang saja. CEO tidak akan berani memecatku.”
Alexa sudah mengabaikan pesan yang dikirimkan Julian. Dalam sepuluh menit setelah pesan itu masuk ke ponselnya, ia diminta menemui Julian di ruangannya. Tetapi ia malah memilih bersembunyi dibalik kubikelnya, sehingga membuat Julian mengambil tindakan dengan menghubungi manajernya langsung.
“Jangan kepedean, Al. Minta maaf saja sama beliau. Kalau perlu kamu berlutut di kakinya agar kamu diberi kesempatan. Sukses ya, Al. Aku bantu doa saja dari sini.” Risma menekuk lengan kanannya dengan tangan terkepal sebagai sebagai simbol penyemangat.
Alexa membalas dukungan Risma itu dengan mengedipkan sebelah matanya.
“Alexa.” Baru beberapa langkah saja Alexa melangkah, Bu Arini memanggil. Ia menoleh, Bu Arini berjalan mendekat untuk kemudian berbisik di telinganya.
“Kamu ada hubungan apa dengan Pak Julian?”
Alexa tersenyum. “Tidak ada hubungan apa-apa. Memangnya kenapa, Bu?”
“Kok bisa Pak Julian memperhatikan kamu. Kamu tahu tidak apa yang beliau sampaikan ke saya tadi?”
Alexa menggeleng. “Mana saya tahu. Kan beliau yang bicara dengan Bu Arini.”
“Beliau meminta saya agar tidak memberatkan pekerjaan kamu. Beliau juga berpesan agar mengijinkan kamu pulang lebih awal kapanpun kamu mau.”
“Oh, benarkah?”
Bu Arini menjauhkan wajahnya, berganti menatap Alexa dengan mata memicing penuh curiga. Mata itu kemudian menyapu dari kaki sampai kepala Alexa, seolah Alexa adalah makhluk dari planet berbeda.
Alexa bersikap santai, seolah benar ia tidak memiliki hubungan apapun dengan CEO.
“Ehem, ehem. Bu Arini, saya sudah boleh pergi sekarang?” tanya Alexa, menyudahi kegiatan manajernya itu yang sibuk memperhatikan dirinya.
“Ya sudah. Silahkan.”
“Terima kasih.” Mengibas rambut ala iklan shampo, Alexa kemudian melangkahkan kakinya berderap penuh percaya diri meninggalkan Bu Arini yang masih memandanginya dengan sorot penuh curiga.
“Padahal dia cuma karyawan baru. Tapi kenapa Pak Julian perhatian sekali padanya? Aku curiga nih, jangan-jangan ... Ah, tidak mungkin Pak Julian menyukai bocah kecil itu,” gumam Bu Arini.
***
Kepala Alexa celingukan ke kiri dan kanan, mencari-cari di mana ruangan CEO. Padahal ia sudah sempat bertanya, namun ia masih saja kesulitan mencari. Hingga Mike yang melihatnya sedang kebingungan itu memberitahunya di mana ruangan CEO berada.
Sementara di dalam ruangan CEO. Sofia menaruh dengan hati-hati secangkir teh melati hangat di depan Julian. Yang kemudian dilirik sekilas oleh mata Julian.
Pria itu lebih memilih fokus pada layar laptop. Aroma wangi teh melati yang menguar itu tak cukup mampu mengalihkan perhatiannya.
“Sejak tadi kamu belum minum apa-apa. Minumlah selagi tehnya masih hangat.” Sofia berkata, menawarkan secangkir teh seperti dahulu. Teh kesukaan Julian masih ia ingat. Caranya berkata pun seolah melupakan status diantara mereka berdua.
“Nanti saja,” sahut Julian singkat. Fokusnya tak terganggu dengan wangi teh tersebut. Padahal dulu ketika Sofia menyajikan teh yang sama, ia sangat antusias, menyambut teh tersebut dengan wajah yang gembira. Seolah teh itu memberi kebahagiaan tersendiri baginya.
Melihat Julian mengabaikan teh yang ia buat, Sofia lantas mengambil inisiatif meraih cangkir teh, mendekatkan cangkir itu ke depan Julian hingga menghalangi pandangan Julian pada layar laptop.
Inisiatif yang dilakukan Sofia itu akhirnya mengganggu fokus Julian. Memaksa Julian untuk menoleh pada Sofia.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Kalau dingin kualitas rasa tehnya akan berubah. Dan kamu tidak suka itu. Selagi masih hangat, minumlah.” Sofia tersenyum lembut, memberikan sorot mata yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Seolah sikapnya itu sengaja ingin membangkitkan ingatan Julian tentang masa lalu.
“Aku bilang nanti.”
“Biar aku suapi.” Sofia hendak mendekatkan ujung cangkir ke mulut Julian.
“Sudah tiga tahun aku tidak minum teh itu lagi. Dulu memang aku menyukainya. Tapi sekarang tidak lagi. Entah itu hangat ataupun dingin, bagiku rasanya sudah berubah.”
Namun niat Sofia itu terhalang oleh ucapan Julian kemudian. Sofia disadarkan kembali oleh status mereka saat ini antara atasan dan bawahan.
Dengan perasaan campur aduk, Sofia menaruh kembali cangkir itu pada tempatnya. Senyumnya tersungging canggung saat menyadari sudah ada jarak diantara dirinya dan Julian sekarang.
“Maaf. Saya sudah lancang. Kalau begitu tehnya saya bawa kembali.” Sofia merubah cara bicaranya seketika. Dengan sedikit perasaan malu diraihnya cangkir itu dan hendak membawanya keluar.
Pada saat yang bersamaan, pintu ruangan Julian dibuka. Wajah Mike muncul dari celah pintu.
“Salah seorang staf marketing datang untuk menemui Pak Julian,” kata Mike.
“Persilahkan masuk.”
“Baik.”
Mike menghilang. Berganti dengan sosok gadis manis yang berjalan pelan memasuki ruangan. Raut gadis itu terlihat tegang bercampur cemas. Begitu gadis itu berhenti di depan meja Julian, Julian langsung menutup laptopnya dan beralih fokus pada gadis itu.
“Kamu silahkan tinggalkan ruanganku,” titah Julian pada Sofia. Yang membuat Sofia tersentak kaget.
“Saya?” Seolah Sofia tak percaya Julian memintanya keluar dari ruangan. Pandangan mata Julian bahkan tak teralihkan dari gadis itu.
“Siapa lagi? Tinggalkan kami berdua.”
“Ba-baik, Pak.” Dengan berat hati Sofia kemudian meninggalkan ruangan Julian. Ia tersenyum sekilas saat melewati Alexa. Yang dibalas Alexa dengan senyuman pula.
Namun di ambang pintu, senyum di wajah Sofia menghilang seketika itu juga. Berganti dengan raut wajah yang tak terdefinisikan.
“Kemari,” pinta Julian melambaikan tangannya, meminta Alexa untuk mendekat padanya.
To Be Continued ...
ayooo berjuangg.. rebut Al dari robin/Determined/