NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:979
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34•

...Tetesan Darah di Langit-langit...

Malam itu, dinginnya Pekanbaru seperti menusuk tulang, menembus jaket tipis yang kupakai. Hujan deras sejak sore tadi tak kunjung reda, menciptakan simfoni gemuruh di atap kontrakan baruku. Aku baru saja pindah ke sini, sebuah rumah tua di sudut Jalan Durian, yang entah mengapa, selalu terasa lebih dingin dan lembap dari rumah-rumah di sekitarnya. Sejak awal masuk, ada semacam aura asing yang membalut tiap sudutnya, membuat bulu kudukku meremang tanpa alasan yang jelas.

“Sudah beres semua, Na?” Suara Bapak Tarno, pemilik kontrakan, memecah kesunyian. Beliau berdiri di ambang pintu dapur, menyerahkan kunci tambahan. “Maaf ya, Nak Ana, kuncinya memang cuma satu set. Ini cadangannya, takut nanti lupa.”

Aku tersenyum tipis, menerima kunci itu. “Iya, Pak. Terima kasih banyak. Lumayan, masih banyak barang yang belum tertata.” Aku melirik tumpukan kardus di ruang tamu.

Bapak Tarno mengangguk. “Sudah jam segini, Bapak pulang dulu. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Bapak ya. Nomor telepon sudah ada di kertas yang tadi.” Ia menunjuk meja kecil di dekat pintu.

Setelah Bapak Tarno pamit, sunyi kembali melingkupi rumah. Hanya suara hujan dan detak jam dinding tua yang mengisi kekosongan. Aku memutuskan untuk membereskan barang seadanya saja malam ini. Saat aku sedang membuka kardus berisi buku-buku lama, tiba-tiba aku mencium bau anyir yang samar. Baunya mirip… darah. Aku mengerutkan kening. Mungkin bau tikus mati di loteng, pikirku mencoba mengusir kekhawatiran.

Aku beranjak ke kamar tidur, mencoba mencari selimut tambahan. Saat itulah aku melihatnya. Di langit-langit, tepat di atas tempat tidurku, ada noda merah gelap sebesar telapak tangan. Bentuknya tidak beraturan, seperti cairan yang merembes. Jantungku berdebar kencang. Ini bukan noda air, bukan pula jamur. Warnanya terlalu pekat, terlalu mencurigakan. Aku meraih kursi, memanjatnya, dan menyentuh noda itu dengan ujung jariku. Lengket. Dan ya, bau anyir itu semakin kuat.

Tanganku gemetar. Aku langsung teringat cerita-cerita seram yang sering kudengar. Rumah tua, noda mencurigakan… pikiran-pikiran buruk mulai menghinggapiku. Aku mencoba menghubungi Bapak Tarno, tapi ponselku tak mendapatkan sinyal. Sial.

Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, bayangan noda merah di langit-langit terus membayang. Aku bahkan meletakkan lampu tidur agar kamar tidak gelap gulita. Beberapa kali aku terbangun karena merasa ada sesuatu yang menetes di keningku, tapi ternyata hanya imajinasiku.

Keesokan paginya, aku langsung mengecek noda itu lagi. Warnanya sedikit lebih gelap, dan seperti ada sedikit tetesan yang menggantung di ujungnya. Aku segera menghubungi Bima, temanku yang punya sedikit pengetahuan tentang renovasi rumah.

“Bi, bisa ke rumahku sebentar nggak? Ada yang aneh di langit-langit kamarku,” kataku, mencoba terdengar tenang.

Bima datang sekitar satu jam kemudian, membawa kotak peralatannya. “Ada apa sih, Na? Langit-langit ambrol?” Dia bertanya sambil tersenyum.

Senyumnya pudar begitu melihat noda di langit-langit. “Astaga, ini… noda apa?” Bima mendekat, meneliti dengan seksama. “Ini bukan bocor biasa. Baunya juga… aneh.”

Aku mengangguk. “Bau anyir. Aku takut, Bi. Kayak darah.”

Bima menghela napas. “Tenang dulu. Kita cek loteng. Mungkin ada bangkai hewan besar di sana.”

Kami naik ke loteng. Suasana di atas sana pengap dan penuh debu. Jaring laba-laba menggantung di mana-mana. Bima menyalakan senter ponselnya, menyapu setiap sudut. Kami menemukan beberapa sarang tikus, tapi tidak ada bangkai hewan yang bisa menjelaskan noda itu.

“Tidak ada apa-apa di sini, Na,” kata Bima, suaranya sedikit kecewa. “Mungkin… ada yang jatuh dari atap, lalu mengalir ke sini?”

Aku menggeleng. “Tapi warnanya pekat sekali, Bi. Dan aku merasakan hawa aneh di rumah ini.”

Bima menatapku ragu. “Kamu serius, Na? Jangan-jangan cuma perasaanmu saja karena rumahnya tua.”

Kami turun kembali. Bima menyarankan untuk mengecat ulang langit-langit, berharap noda itu akan hilang. Aku setuju, berharap itu bisa mengusir perasaanku yang tidak nyaman.

Beberapa hari kemudian, tukang cat datang. Setelah langit-langit dicat, noda itu memang tertutup. Aku merasa sedikit lega, seperti beban berat terangkat dari pundakku. Akhirnya, aku bisa tidur nyenyak lagi.

Tapi ketenangan itu hanya bertahan tiga malam.

Di malam keempat, aku terbangun karena kedinginan. AC kamar tidak menyala. Aku beranjak dari tempat tidur, berniat mematikan kipas angin. Saat itulah, aku melihatnya lagi. Di tempat yang sama, di langit-langit yang baru dicat putih bersih, noda merah gelap itu muncul kembali. Kali ini lebih besar, dan terlihat jelas ada tetesan yang menggantung, siap jatuh kapan saja.

Napas ku tertahan. Jantungku berpacu seperti genderang perang. Aku langsung tahu, ini bukan hal biasa. Ini bukan bocor, bukan bangkai hewan, dan bukan sekadar imajinasiku. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat.

Aku tidak bisa tidur lagi. Aku menghabiskan sisa malam itu dengan duduk di sofa ruang tamu, memeluk lutut, menatap kosong ke kegelapan. Pagi harinya, aku menelepon Bapak Tarno.

“Pak, saya harus bicara. Ada yang tidak beres dengan rumah ini,” kataku, suaraku bergetar.

Bapak Tarno datang dengan wajah khawatir. Begitu melihat noda yang kembali muncul, bahkan setelah dicat, wajahnya langsung pucat pasi. Ia menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Noda ini… sudah muncul lagi, Nak Ana?” suaranya terdengar tercekat.

Aku mengangguk cepat. “Bahkan lebih besar dari sebelumnya, Pak. Saya tidak bisa lagi tinggal di sini. Ada apa sebenarnya dengan rumah ini?”

Bapak Tarno terdiam lama, memandang noda di langit-langit dengan tatapan kosong. Ia tampak sangat gelisah. “Sebenarnya… rumah ini punya sejarah kelam, Nak Ana.” Ia memulai ceritanya dengan suara pelan. “Dulu, sebelum Bapak membelinya, rumah ini ditinggali oleh sepasang suami istri. Suaminya dikenal temperamental, sering main tangan. Suatu malam, pertengkaran mereka memuncak. Istrinya… meninggal di kamar ini, akibat benturan keras di kepala.”

Aku terperanjat. “Jadi… ini darahnya?”

Bapak Tarno mengangguk pelan. “Polisi menyelidiki, tapi kasusnya ditutup karena dianggap kecelakaan. Suaminya bilang istrinya jatuh terpeleset. Tapi tetangga-tetangga tahu, itu tidak benar. Sejak saat itu, rumah ini kosong lama sekali. Banyak yang tidak berani tinggal di sini karena sering muncul penampakan dan suara-suara aneh.”

Aku merinding mendengar cerita itu. Jadi selama ini aku tinggal di rumah yang menyimpan tragedi. Tapi, mengapa noda darah itu baru muncul sekarang? Dan mengapa ia kembali meskipun sudah dicat?

“Mungkin arwah istrinya tidak tenang, Pak,” kataku. “Kita harus panggil orang pintar.”

Bapak Tarno menggeleng lemah. “Sudah pernah, Nak Ana. Berkali-kali. Tapi tidak mempan. Mereka bilang, arwahnya terikat kuat pada rumah ini, pada kamar ini. Terutama pada… cermin di kamar mandi.”

Aku teringat cermin tua di kamar mandi, yang selalu terasa memancarkan aura dingin. Aku memang jarang menggunakannya.

Tiba-tiba, mata Bapak Tarno melebar. Ia menatapku dengan panik. “Nak Ana, tadi… Bapak lihat kamu pakai gelang giok di pergelangan tanganmu. Gelang yang motifnya melingkar-lingkar itu, kan?”

Aku menatap pergelangan tanganku. Ya, aku memang memakai gelang giok pemberian mendiang nenekku. Gelang itu selalu kurasa menenangkan, seperti membawa keberuntungan. “Iya, Pak. Kenapa?”

Wajah Bapak Tarno berubah menjadi sangat pucat. “Gelang itu… dulu pernah jadi milik istri pemilik rumah ini. Dia sangat menyayangi gelang itu. Bapak menemukan gelang itu tergeletak di bawah ranjang kamar ini saat bersih-bersih setelah kasus itu. Sudah Bapak coba buang, tapi selalu kembali ke rumah ini. Akhirnya Bapak simpan di laci meja di kamar tamu, takut. Bagaimana bisa… gelang itu ada padamu, Nak Ana?”

Tubuhku membeku. Gelang ini… bukan pemberian nenek? Tapi nenek memberikannya padaku bertahun-tahun yang lalu, mengatakan itu peninggalan dari ibunya. Apakah nenekku pernah… tinggal di sini? Atau, apakah ia yang menemukan gelang ini dan menyimpannya? Pikiran-pikiran kalut bercampur aduk di benakku.

Aku menatap gelang di pergelangan tanganku, lalu beralih ke noda darah di langit-langit. Tiba-tiba, seperti sebuah film yang diputar mundur, semua potongan teka-teki itu bersatu. Kenangan samar tentang nenekku yang sering bercerita tentang “rumah lamanya” di Pekanbaru, meskipun ia tak pernah menunjukkan lokasinya. Bisikannya yang sering menyebut “jaga gelang ini, Nak. Ini pelindungmu”. Dan noda darah itu…

Nenekku. Dia bukan sekadar nenekku. Dia adalah… istri yang meninggal di rumah ini. Ia selamat dari kematian, tapi mungkin trauma dan ingatannya membuatnya menekan kejadian itu. Dan gelang ini… adalah miliknya, benda yang menghubungkannya dengan tempat ini, dengan tragedi itu. Noda darah itu… mungkin bukan darah orang lain, tapi darahnya sendiri, yang merembes keluar dari ingatannya yang terpendam, memanifestasikan trauma yang tak pernah sembuh.

Aku menatap Bapak Tarno. “Pak… gelang ini… nenek saya yang kasih. Dia bilang ini peninggalan ibunya.” Aku mengambil napas dalam-dalam. “Nama nenek saya… Karina.”

Wajah Bapak Tarno langsung kehilangan semua warnanya. Ia menjatuhkan diri ke kursi. “Karina… ya Tuhan. Jadi… Nak Ana adalah cucu Nyonya Karina? Istri pemilik rumah ini dulu bernama Karina. Tapi semua orang tahu dia meninggal.”

“Dia tidak meninggal, Pak,” kataku, suaraku tercekat. “Dia selamat. Tapi mungkin jiwanya… jiwanya terperangkap di sini. Trauma itu yang membuat noda darah ini terus muncul.”

Aku menatap noda di langit-langit yang semakin melebar. Ini bukan hantu. Ini adalah luka. Luka dari masa lalu yang terus meradang, menuntut untuk diingat, untuk disembuhkan. Dan aku, yang membawa peninggalannya, entah mengapa kini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Tetesan darah di langit-langit itu bukan lagi sekadar horor yang menakutkan, melainkan sebuah seruan dari jiwa yang terlukai, yang selama ini bersembunyi dalam ingatanku sendiri. Aku harus membantunya. Dan dengan begitu, mungkin aku juga bisa menyembuhkan diriku sendiri dari bayangan masa lalu yang tak pernah kusadari telah menghantuiku.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!