“Aku dibesarkan oleh seorang wanita yang tubuh dan jiwanya hancur oleh dunia yang tak memberinya tempat. Dan kini, aku berdiri, tak hanya untuk ibuku… tapi untuk setiap wanita yang suaranya dibungkam oleh bayangan kekuasaan.”
Mumbai, tengah malam. Di ruang pengadilan yang remang. Varsha memandangi tumpukan berkas-berkas perdagangan manusia yang melibatkan nama-nama besar. Ia tahu, ini bukan hanya soal hukum. Ini adalah medan perang.
Di sisi lain kota, Inspektur Viraj Thakur baru saja menghajar tiga penjahat yang menculik anak-anak perempuan dari desa. Di tangannya, peluru, darah, dan dendam bercampur menjadi satu.
Mereka tidak tahu… bahwa takdir mereka sedang ditulis oleh luka yang sama–dan cinta yang lahir dari pertempuran panjang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MOM MESS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan Baru.
Viraj, Varsha, dan Diwakar pergi dengan Jagad sebagai petunjuk arah. Pagi itu dingin dan mendung. Jalanan Mumbai masih basah bekas hujan semalam.
Sebuah mobil hitam melaju tenang menuju arah pinggiran kota. Semua dalam diam, seolah menyimpan gelisah yang sama.
“Kita hampir sampai,” kata Jagad lirih dari bangku depan.
“Kau yakin... dia bisa membantu kita?” tanya Diwakar dengan nada ragu.
Jagad hanya mengangguk.
Mereka berhenti di depan Panti Asuhan Lansia Purnama Bhavan, sebuah bangunan tua namun bersih dan terawat. Pohon-pohon rindang di sekelilingnya membuat tempat itu tampak seperti rumah damai di ujung dunia.
Mereka disambut oleh seorang petugas wanita yang mengenakan saree berwarna abu dan senyum ramah.
“Kami sedang mencari seseorang...” ucap Jagad sopan.
"Siapa yang kalian cari?"
"Apakah ada pria tua yang pernah bekerja di Dubai?
"Ya benar. Ada, "
"Bisa pertemukan kami dengannya?"
Petugas itu mengangguk pelan. Mereka lalu di ajak naik ke atas menuju kamar yang mereka maksud.
“Ya. Namanya Tuan Gohar. Dulu dia adalah seorang tentara India, bahkan prajurit terbaik. Tapi dikeluarkan dari dinas karena mengeksekusi musuh tanpa perintah. Sayang sekali. Padahal dia menghabisi musuh karena tahu musuh itu menyimpan bom untuk membantai warga sipil.”
“Setelah pensiun, keluarga Hernandes—keluarga paling dihormati di Dubai—merekrutnya. Tuan Gohar sangat hebat. Dia sangat terlatih, cukup cerdik, dan licik dalam mengelabuhi musuh. Tuan Gohar sangat setia dengan keluarga itu, bukan karena mereka tuannya, tapi... Karena ikatan keluarga.
"Maksudnya?"
"Ya, benar. Tuannya tidak melihat Gohar sebagai kaki tangan, melainkan keluarga. Gohar sangat dekat dengan anak-anak mereka, sangat akrab dengan anggota keluarga, dan menjaga para wanita di keluarga itu dengan sangat baik."
“Kenapa Tuan Gohar kembali ke India?” tanya Varsha.
"Beliau sendiri yang mengundurkan diri. Dan saat pulang, dia memulai kehidupan normal dan damai. Tapi karena usia dan dia yang sebatang kara... Kami terpaksa membawanya ke sini dan merawatnya."
Petugas itu melangkah ke lorong panjang yang sepi. Mereka mengikuti.
“Sekarang usianya hampir 100 tahun. Pendengarannya lemah. Ingin bicara, harus dengan suara keras. Tapi... ada satu hal yang tetap tinggal dalam ingatannya...”
“Apa?” tanya Viraj.
Petugas itu tersenyum lembut.
“Hernandes.”
Mereka berhenti di depan sebuah pintu tua berwarna biru laut. Petugas mengetuk pelan.
Tok tok tok...
Tak ada sahutan.
Petugas membuka pintunya perlahan.
Di dalam kamar itu, seorang pria tua duduk di kursi goyang yang menghadap jendela. Tubuhnya kurus, kulitnya keriput seperti peta waktu. Di tangannya ada bingkai foto: ia bersama tiga laki-laki berpakaian formal dan elegan.
Gohar. Sosok legenda yang kini tinggal kenangan.
“Pak Gohar, ada tamu untuk Anda...” bisik petugas, lalu meninggalkan mereka.
Jagad melangkah pelan ke arah kursi goyang itu.
“Pak Gohar... Saya petugas kepolisian Mumbai. Saya di sini datang untuk meminta bantuan anda.”
Gohar tidak menjawab. Ia hanya terus memandang foto di tangannya, jari-jarinya mengusap wajah gadis di tengah foto itu dengan lembut.
Jagad mendekat lebih lagi.
"Hallo Pak. Kami sedang berbicara dengan anda."
Telinga Gohar tampaknya tidak menangkap dengan jelas. Jagad menaikkan volume suaranya.
“Tuan Gohar, ini penting! Kami butuh bantuanmu!”
Perlahan, Gohar berbalik. Matanya menatap mereka satu per satu. Tajam, jernih, dan masih menyala.
Viraj tak tahan. Ia langsung berlutut di hadapan Gohar. "Pak. Saya tidak tau bagaimana caranya menyelamatkan putri ku. Jika permohonan lintas negara kami di setujui kami akan mencarinya sendiri. Dan jika cuaca berpihak pada kami, mungkin kami akan terbang sendiri ke Dubai. Tolong bantu saya, Pak. Saya akan melakukan apapun yang anda inginkan."
Gohar masih diam. Matanya hanya tertuju pada wajah Viraj yang berlinang air mata.
Jagad mengambil alih. Ia berdiri di samping kursi goyang.
"Langsung pada intinya. Tolong hubungi keluarga Hernandes. Kami butuh bantuannya, karena cuma mereka satu-satunya jalan keluar kami."
Seketika, mata Gohar berubah tajam. Ia memandang Jagad lurus-lurus, lalu bersuara pelan namun penuh tekanan.
"Jangan ganggu keluarga itu lagi." Gumamnya pelan.
"Kalian pergilah. Cari jalan untuk masalah kalian sendiri. Keluarga itu sudah hidup damai. Mereka sudah terlalu banyak mengorbankan orang yang mereka sayang hanya untuk menjadi bayangan keadilan."
Semua terdiam.
“Kami mohon Pak. Jika mereka tidak bisa membantu tidak jadi masalah. Tapi tolong bawa kami ke sana!” seru Varsha, berdiri.
Gohar menatap Varsha.
"Devraj telah menculik kehormatan dan kebebasan gadis-gadis India. Dan saat ini dia bersembunyi membawa anak 7 tahun yang tak mengerti apa-apa. Dan... Bersembunyi di negara yang dulu kalian jaga, dan kalian lindungi pijakannya dari kaki orang kotor."
"Setidaknya bukan untuk negara kami, ataupun negara mereka. Tapi untuk gadis yang suaranya di bungkam dan harus mendapatkan keadilan saat ini."
Gohar terdiam. Tangannya yang gemetar mencengkeram kursi goyang. Matanya berkaca.
"Baik. Jika Anda tidak bisa membantu. Kami akan kembali. Terima kasih atas waktunya." Viraj menghapus air matanya dan berdiri, mengajak yang lain untuk kembali.
"Tunggu!" Mereka berbalik menatap Gohar.
"Siapa nama mu?" Tanya Gohar pada Varsha.
"Varsha Mehra."
“Cara mu bicara mengingatkan ku pada seseorang..."
“Siapa?” tanya Varsha.
Gohar menatap Varsha dalam.
“Velyn Hernandes.”
Semua menatap Gohar, kebingungan.
“Siapa dia?” tanya Varsha pelan.
Gohar tersenyum kecil, samar.
“Kalian akan tahu... saat tiba di Dubai.”
Lalu Gohar menghembuskan napas panjang dan memalingkan wajah ke arah jendela. Mendengar itu, mereka semua tersenyum lebar.
"Pak. Itu artinya?"
“Kalian datang besok. Jam lima pagi."
"Tidak ada senjata, dan jangan membawa handphone. Mereka akan jemput kalian melalui jalur gelap. Kalian akan menembus langit yang bahkan radar pun tak mampu melihat.”
“Siapa yang akan menjemput?” tanya Diwakar.
“Mereka... yang kalian pikir sudah menghilang. Tapi sesungguhnya hanya sedang... diam.”
Viraj menghampiri Gohar. Ia lalu bertekuk lutut, dan memegang tangan Gohar dengan menunduk dalam-dalam.
“Terima kasih..."
Gohar tidak menjawab. Ia hanya kembali memandangi fotonya, kali ini dengan mata yang perlahan basah oleh air mata yang jarang terlihat dari lelaki sepertinya. Mereka lalu kembali dan bergegas pulang.
"Aku tidak bisa ikut dengan mu, Viraj. Kau tau, jika kita pergi secara bersamaan polisi akan curiga. Dan kita..."
"Kau tidak perlu khawatir. Aku akan pergi sendiri."
"Aku? Apa kau tidak mau mengajak ku?" Diwakar tersenyum mengejek Viraj.
"Bu-bukan begitu Varsha. Ini terlalu bahaya untukmu."
"Mahi memang bukan siapa-siapa ku. Tapi aku mulai terikat dengannya. Aku akan ikut bersama mu menyelamatkan Mahi." Varsha berjalan dan masuk ke dalam mobil. "Kau tau Diwa. Daripada mengendalikan diriku sendiri, aku lebih sulit mengendalikan wanita ini."
"Bagaimana dengan mu Jagad?"
"Tentu aku ikut, Sir. Aku ingin melindungi polwan muda, dan juga... Nona Varsha.." Jagad tersenyum lebar sambil menatap Varsha yang duduk di kursi belakang mobil. Viraj tidak menggubris dan langsung pergi masuk ke mobil. Jagad menyusul tapi di tahan oleh Diwakar. "Aku tidak ingin ikut karena tidak mau merusak momen Viraj dan Varsha. Dan kau... Apa gunanya kau di sana?"
"Aku bisa menyiapkan teh hangat di pagi hari untuk Tuan Viraj." Diwakar melepas Jagad dan berjalan masuk ke mobil, di susul oleh Jagad.
"Jagad kau tidak usah ikut besok. Aku ada tugas untukmu, " ucap Diwakar di dalamm mobil. "Sir?"
"Jangan membantan, ini perintah." Jagad mengendus kesal, dan menurut.
jangan lupa mampir ya kak...