karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Menuju Bab 1 (5)
Sebulan sudah berlalu sejak aku mulai bersama para protagonis kecil. Pagi ini, di tahun yang sama, bulan tujuh, tanggal delapan—akhir pekan kembali menyapa.
Selama sebulan penuh, apa yang sebenarnya sudah kulakukan?
Tak lebih dari menghabiskan waktu dengan mereka lewat permainan anak-anak. Berlatih, berburu serangga di alam terbuka, memancing, bahkan bermain layaknya bocah petualang.
“Anak-anak memang dipenuhi rasa penasaran,” ketusku, teringat kejadian dua hari lalu.
Namun, kami tidak selalu bersama. Kadang aku ikut Liria berbelanja, atau membantu Dave di ladang.
“Selama hidupku aku hanya duduk di depan layar dan menulis… tak kusangka bertani bisa menyenangkan,” aku terkekeh sambil mengingat ilmu baru yang kudapat.
Minggu pagi ini, entah kenapa aku merindukan dunia lamaku. Bukan mantan, bukan keluarga, bukan pula teman. Yang kurindukan hanyalah sepak bola. Aku ini fanatik berat, penggemar sejati Manchester United—klub terbaik di bumi.
“Bagaimana kalau hari ini aku mengenalkan sepak bola pada para protagonis kecil?” Tanganku refleks bertepuk cepat.
Aku ingin memadukan ketangkasan, kecermatan, latihan tubuh, sekaligus pernapasan lewat olahraga ini. Sepak bola akan jadi permainan menyehatkan untuk mereka, selain berlatih sihir. Anak-anak hanya suka bermain sepanjang waktu, jadi ini akan terasa sempurna.
Aku tersenyum lebar, membusungkan dada.
“Aku penemu sepak bola di dunia ini… huhuhu…” gumamku penuh kebanggaan palsu, seolah aku orang paling jenius di dunia.
Tanpa terasa, matahari sudah naik ke atas kepala. Waktunya mereka datang menjemputku bermain. Dan tentu saja, teriakan Liria selalu jadi penanda.
“Lala! Temanmu sudah datang!”
Teriakan itu sudah menjadi keseharianku. Belum lagi mandi bersama Liria—ya, itu selalu jadi bagian terbaik.
Tapi kali ini, yang datang bukan mereka semua. Hanya Ryan seorang diri.
“Eh? Kok cuma kamu?” tanyaku heran.
Ryan hanya menunduk dengan wajah memerah.
“Y-yang lain sudah menunggu di lapangan,” jawabnya gagap.
Aku mengangkat alis, menatapnya. Ryan buru-buru menimpali, “A-apa-apaan tatapanmu itu?”
Dari balik pintu, Liria mengintip sambil meledek.
“Heh, anak kecil mau kencan, ya? Ibu bilangin ayahmu loh.”
Aku mendesah kesal.
“Seriusan nih? Ini orang tuaku?” batinku.
Kami pun berangkat. Sebelum pergi, aku menerapkan budaya dari bumi: mencium tangan orang tua. Awalnya Liria dan Dave kebingungan, tapi setelah kujelaskan alasannya, mereka malah bereaksi berlebihan. Adegan itu benar-benar jenaka untuk dikenang. Pada akhirnya, para protagonis kecil menirunya juga.
Aku dan Ryan berjalan menuju tanah lapang. Dalam benakku, muncul satu nama.
“Ini pasti rencana si Nasya… James si bodoh itu mana peka hal-hal beginian,” batinku.
Ryan berjalan di sampingku, wajahnya masih merah, dan hanya diam.
“Patung,” semburku.
Ryan langsung terkejut.
“A-apa maksudmu nyebut aku patung?”
“Ya habisnya kamu diam aja kayak patung,” kataku lagi. “Seharusnya kamu bisa bikin obrolan ringan sama gadis sepertiku.”
“D-dasar manja!” Ryan balas kesal.
Aku tersenyum nakal.
“Nanti kalau dewasa kamu nggak bakal punya pacar loh, bangsawan pemalu.”
“Ka-kamu…” Ryan kehilangan kata-kata.
Sebagai mantan penulis buku Seribu Satu Cara Menaklukkan Hati Seorang Gadis—ya, buku penuh trik murahan—aku tahu betul: perempuan ingin dimengerti, dicintai, dan selalu ingin menang dalam perdebatan.
Aku menatap Ryan yang kebingungan.
“Jadi begini rasanya jadi perempuan,” batinku menyeringai.
Sikap Ryan membuatku sadar: jiwa Ryan saat ini mungkin jiwa Ryan dewasa yang kembali ke masa lalu. Namun reaksinya seperti bocah labil yang baru merasakan cinta. Dalam artian, Ryan dewasa tak pernah punya pengalaman asmara. Alias, jomblo akut.
“Mau sedingin apapun, kamu gampang terbaca loh, Ryan,” gumamku dalam hati.
Langkah kami akhirnya tiba di lapangan. Untungnya cuaca berawan. Dari kejauhan, James dan Natasya melambaikan tangan.
Aku menoleh pada Ryan.
“Aku punya permainan baru loh,” ucapku dengan senyum manis.
Senyumku membuat wajah Ryan semakin memerah. Aku bisa merasakan jelas perasaannya.
Dalam hati aku bergumam,
“Aku tidak tahu masa depan seperti apa. Outline cerita bisa berubah, premis bisa melenceng. Tapi satu hal yang pasti… selama sebulan penuh bersama kalian, aku akhirnya mengerti. Ryan, mungkin kamu memang jatuh cinta pada Lala. Tapi sayangnya, aku bukanlah Lala yang kamu kenal.”
Ryan bukanlah musuh. Tatapannya padaku bukan dendam, melainkan kasih sayang. Tatapan seorang anak laki-laki yang jatuh cinta.
Padahal di masa depan, aku tahu: aku-lah yang jadi Boss terakhir.
Namun aku bisa membaca raut wajah Ryan. Ia bukan penipu. Ia bukan pecandu. Ia bukan penjahat.
“Ryan… ternyata kamu orang baik,” batinku. “Mimik wajahmu tak akan pernah menipuku.”
“L-lala, maksudmu permainan baru apa?” Ryan akhirnya bersuara, memecah lamunanku.
Aku tersenyum tipis.
Mungkin, aku harus mengakui satu hal.
Di kehidupan lamaku, aku sudah lelah dengan segala tipu daya manusia. Tapi bersama mereka, terutama Ryan, aku merasa… hidup kembali.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.