Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mengibah arah sungai
Hari itu mereka tidak bergerak ke mana-mana. Tidak ada rencana misi, tidak ada latihan, tidak ada penyelidikan. Hanya... waktu kosong. Dan dalam kekosongan itu, justru muncul rasa yang paling sulit disembunyikan: gelisah.
Banxue duduk di belakang penginapan, di tepi kolam kecil yang memantulkan langit. Ia melemparkan batu-batu kecil, tak berharap apapun selain suara "plup" yang menenangkan.
Wayne datang menyusul. Ia tak langsung bicara. Hanya duduk di sisi batu yang sama, membiarkan keheningan menjadi jembatan yang paling jujur.
“Dulu,” kata Banxue tiba-tiba, “aku pernah berpikir, takdir itu seperti sungai. Kita cuma mengalir. Tapi sekarang aku rasa… sungai itu bisa berubah arah. Hanya saja, setiap perubahan punya harga.”
Wayne menoleh sedikit. “Kau ingin mengubah arah sungaimu?”
“Aku... tidak tahu.” Ia memeluk lutut. “Tapi aku tahu, aku tidak ingin terbawa begitu saja. Aku takut kalau terus diam, semua yang kupilih bukan milikku. Hanya hasil dari ketidakberanian.”
Wayne tak membalas langsung. Ia melempar batu juga.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “kau harus memilih, Banxue. Bukan sekadar menghindari. Bukan sekadar bertahan. Tapi memilih, dengan kesadaran bahwa kau bisa kehilangan.”
Mereka diam lama. Di kejauhan, suara Jingyan terdengar samar dari dalam penginapan, sedang bercanda dengan Fengyu. Tawa ringan. Kehangatan kecil.
Dan itu terasa... jauh sekali.
Di dalam, Linrue memperhatikan Banxue dan Wayne dari balik jendela kecil. Ia tidak pernah benar-benar bisa membaca Banxue—perempuan itu terlalu diam, terlalu dalam, terlalu kuat... atau mungkin hanya pura-pura kuat.
Fengyu menyodorkan roti hangat padanya. “Kau terlihat ingin ikut keluar.”
“Tidak,” gumam Linrue. “Aku hanya... merasa ada sesuatu yang akan terjadi.”
“Dari langit?”
“Bukan,” jawab Linrue pelan. “Dari hati manusia.”
Senja turun perlahan, menyeret langit ke arah kelam yang dalam.
Tak ada percakapan lagi setelah itu. Hanya langkah-langkah diam yang saling menjaga jarak, membawa masing-masing kembali ke penginapan.
Dan saat malam benar-benar jatuh, langkah Banxue terasa berat...
seakan ramalan dari kedai itu masih menempel di punggungnya, dingin dan menyakitkan. Jalan kembali ke penginapan terasa lebih sunyi dari biasanya. Jingyan berjalan di depan, tanpa banyak bicara. Wayne menyusul di belakang, menjaga jarak.
Di depan penginapan, lentera sudah padam. Cahaya bulan saja yang tersisa, memantulkan bayang-bayang panjang dari tiang-tiang kayu dan atap bergelombang.
Banxue berhenti di depan pintu.
“Masuklah duluan,” katanya pada Jingyan. Suaranya pelan, tapi tidak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Jingyan menoleh, menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kalau kau butuh bicara, aku di kamar sebelah.”
Banxue tak menjawab. Hanya berdiri mematung sampai suara langkah Jingyan menghilang di dalam. Wayne diam-diam menghampirinya, masih berdiri satu langkah di belakang.
“Kau dengar semua tadi?” tanya Banxue tanpa menoleh.
Wayne mengangguk. “Aku tak ingin menguping. Tapi langkah kakimu... seakan minta dijaga.”
Hening beberapa saat. Lalu Banxue berkata, “Apa menurutmu ramalan itu benar?”
Wayne tidak langsung menjawab. Ia memandangi punggung Banxue yang tampak lelah. “Aku tidak tahu soal takdir. Tapi aku tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku akan memilih tetap di sisimu. Sekalipun takdir memintaku menjauh.”
Banxue berbalik. Untuk pertama kalinya malam itu, wajahnya benar-benar memperlihatkan luka—bukan luka yang baru, tapi luka lama yang belum bisa ia berdamai dengannya. Matanya berkabut.
“Kau... bukan orang pertama yang berkata seperti itu,” katanya lirih.
“Tapi aku ingin jadi yang terakhir. Yang tetap tinggal.”
Seketika itu juga pintu penginapan terbuka, dan seorang gadis kecil dari dalam muncul—pelayan penginapan, yang memegang lampu minyak kecil.
“Nona Banxue, angin malamnya terlalu dingin. Mau masuk?”
Banxue mengangguk pelan. “Ya... sebentar lagi.”
Pelayan itu mundur kembali ke dalam.
Wayne menatap Banxue sebentar, lalu berjalan ke sisi lain jalan, membiarkan gadis itu punya ruang.
Dan saat Banxue akhirnya melangkah masuk ke dalam penginapan, ia menatap ke langit sebentar. Lentera sudah tak ada. Tapi langit tetap biru kelam, seperti menyimpan rahasia besar.
Malam itu berakhir.
Tapi kata-kata si peramal terus berdengung di dadanya.
"Salah satu dari kalian... mungkin tak akan bertahan sampai akhir takdir yang kau kira."