Sandy Sandoro, murid pindahan dengan bakat unik dalam memprediksi masa depan, mendapati dirinya berada di SMA Sayap Hitam. Sekolah ini dijuluki 'sekolah buangan' yang dianggap aneh. Tapi, di balik reputasi itu, Sandy menemukan dunia yang sangat menarik: murid-murid dengan bakat super yang luar biasa, rahasia-rahasia unik, dan suasana yang perlahan mengubahnya menjadi lebih baik.
Di tengah tawa, konflik kecil, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy dan teman-temannya terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah mereka—sebuah misteri yang berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.
SMA Sayap Hitam bukan sekadar sekolah biasa, dan Sandy bukanlah murid biasa. Mereka adalah bagian dari takdir yang luar biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : Amati, Tiru, Bengong.
Match pertama telah selesai. Dan tepat pukul satu siang ini match kedua akan segera di laksanakan.
Bracket
IPA 1 VS IPS 2 (Win IPS 2)
VS. (?)
IPA 5 VS IPS 3 ( ? )
IPA 2 VS IPS 4 (. ? )
VS. \= (. ? ). VS
IPA 6 VS IPA 8 (. ? )
. VS. (?)
IPA 3 VS IPS 1 (. ? )
VS. \= (. ? )
IPA 4 VS IPA 7 (. ? )
Pertandingan ini akan menjadi sebuah referensi untuk kelas kami berhubung ada IPSnya juga.
Stadion di penuhi oleh semua murid SMA Sayap Hitam dari kelas sepuluh, Sebelas, Dua belas, Guru dan bahkan orang-orang yang tinggal di asmara bawah tanah sekolah.
"Yo what's up, guys! Ini adalah pertandingan kedua yang akan menjadi penutup pada hari ini! Saya Jojon dan kawan saya..."
"Gustian."
"Kami akan memandu jalannya acara sebagai komentator lalu kami akan membuat pertandingan ini menjadi lebih seru!" Jojon berseru di tempat khusus komentator.
Kamera yang di miliki oleh stadion ini di jalankan oleh drone mini. Buatan jurusan khusus pengembangan IT dan teknologi. Sudah di jelaskan dalam suatu bab, jurusan ini tidak tercatat dalam kurikulum dan nilai rapot sungguhan, tapi untuk melatih kemampuan di kelas khusus langsung.
"Sepertinya pertandingan ini akan menjadi menarik!" Fahri antusias.
"Kau benar, ini bisa menjadi gambaran kita ketika melawan IPS 4." Alex menyilangkan tangannya di dada.
"Pertandingan ini membuatku lapar." Ivan menyuap nasi Padang ke mulutnya.
"Darimana kau dapatkan itu?" Alex menyidik.
"Beben, Adit, Rino, Genta yang jualan."Ivan menunjuk ke arah empat sekawan absurb.
Yang anehnya, darimana mereka mendapatkan stok Nasi Padang tersebut? Maling, kah?
"Mencuri? Tentu tidak, kita berempat itu bantuin ibu kantin." Beben bergaya sok keren.
"Kita dapat jatah dua porsi nanti, hehehe." Beben berbisik kepada tiga sahabatnya yang lain.
"Yoi!" Adit sangat senang.
"Porsi terakhir kita semua, jadiin satu porsi gede aja." timpal Genta.
"Gua setuju." Tanggap Rino.
"Baiklah semuanya! Semua pemain telah memasuki lapangan dan mari kita saksikan kick off pada pertandingan kali ini!" Jojon berteriak tapi saat menarik nafas malah tersedak lalat. Menjijikan.
Nomor punggung 4 dari IPA 5 mulai mengoper bola kepada rekannya yang lain.
Oper-mengoper dalam segitiga di lakukan, taktik yang memang biasa dalam sepak bola. Pada dasarnya pegerakan pemain menerima bola adalah segitiga.
IPA 5 mulai menarik beberapa pemain lini tengah IPS 1 untuk memulai operan dan serangan mematikan.
Nomor punggung 17 bernama Guntur melakukan long ball ke arah depan dan tepat mengarah kepada nomor punggung 8, anak IPA 5 yang tidak terjaga.
"Kita lihat nomor punggung 8 akan melakukan shooting dan..... "
SRET!
Bola dengan cepat di rebut dengan sledingan bersih.
"Sepele!" Kata Bek anak IPA 1.
Beberapa detik setelah bola terebut, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Inilah mengapa anak-anak dari IPS itu semuanya monster dalam olahraga futsal bahkan sepak bola ini.
Tiki-taka terjadi dengan sangat cepat. IPS 1 melakukan operan segitiga meskipun dengan ruang-ruang sempit bahkan sampai di jaga ketat.
Mata kami semuanya seakan sedang melihat pemain profesional yang sedang bermain.
"Apa yang terjadi saudara-saudara sekalian?! IPS 1 melakukan serangan cepat dan bahkan tidak terhentikan!" Jojon terkejut sementara Gustian geregetan sambil makan popcorn.
Nomor punggung 7 dari kelas IPS 1 menggiring bola sampai ke dekat kotak pinalti.
"Apa yang kita pelajari dari mereka? Apa kita akan melakukan strategi bertahan seperti yang di rencanakan?" Aku sedikit ragu.
"Tenang saja. Data bisa menjadi salah saat turun langsung dalam lapangan." Nara fokus mengerjakan PR Sekolah. Bisa-bisanya dia mengerjakan pekerjaan rumah di tengah bisingnya tribun penonton.
"Lu Ngapain ngerjain PR sekarang? Jika masih ada hari esok lakukanlah esok." Empat sekawan absurb mengerubungi Nara karena sudah beristirahat sejenak setelah jualan nasi Padang. (Contoh buruk jangan di tiru)
"Itulah kemalasan. Menunda masalah sampai-sampai masalah baru Muncul." Nara melemparkan perkataan setajam pisau.
"Orang genius beda." Bisik Adit Kepada tiga temannya yang lain.
"Inilah dia tendangan sudut pertama di pertandingan ini. IPS 1 yang mengambilnya. Menit pertandingan sudah berjalan sepuluh menit. dua belas IPA 5 sangat tertekan sepertinya, saudara-saudara!" Giliran Gustian yang mengomentari.
Nomor punggung tujuh kelas IPS 1 menembakkan tendangan yang sangat kuat dan meminggir sehingga kiper susah menangkap presisi pergerakan bola yang mengarah ke sudut atas gawang.
GOL!!!!!
GOLI-GOLI, GOL!!!!
Para penonton bersorak senang dengan penuh rasa takjub.
"Ini dia salah satu monster paling mengerikan! Sudah satu pertandingan kita saksikan. Pertandingan sebelumnya IPS 2 melawan IPA 1 lah bukti bahwa kelas IPS adalah monster! Bayangkan saja tujuh kosong tanpa balas di match sebelumnya! Kini marga IPS memulai lagi, menit sepuluh lebih tiga puluh detik sudah mencetak gol dengan serangan begitu cepatnya!" Gustian mengusap rambutnya sangat terkesan.
"Kalo kayak gini apa yang kita semua pelajari, anjir?!" Beben menunjuk ke tempat pertandingan berlangsung dengan wajah panik.
"Belajar untuk menerima kekalahan." Jawab Bora polos dengan wajah riangnya. Sebenarnya Bora juga putus asa. Tahun lalu dia selalu di permainankan oleh kelas IPS.
"Bagaimana menurutmu, Dimas?" Bora menepuk pundak Dimas yang sedari tadi bengong.
Aku ingin lihat Isna bermain Voli (Dimas di dalam hati)
"Lu mau liat bola, tapi bukan bola biasa, ya? Gua dan yang lain ikut." Beben tiba-tiba menepuk-nepuk bahu Dimas.
Dimas di connect sebentar sebelum dia menyadari apa maksud perkataan Beben.
"GAK GITU BEGO!" Muka Dimas memerah lalu mengambil tongkat kayu yang tergeletak di tempat duduk penonton dan mengejar empat sekawan absurb dengan tatapan ingin membunuh.
"SINI LU PADA!" Dimas berlari dan berekspresi seperti dept kolektor.
"Lah lu berarti normal, jadi wajar dong kalo lu mikir gitu." Timpal Beben.
Kejar-kejaran terjadi hingga ke dalam stadion (bukan tempat menonton)
"Guys, ini gila banget! Pertandingan seru. kapan lagi kalian bisa menyaksikan pertandingan sepak bola antar sekolah dengan suasana meriah ini?" Ravel live Ig sambil merapikan rambutnya.
"Gol? Baguslah." Deka seolah peduli padahal tidak, karena malah fokus dengan game fps yang sedang dia mainkan.
"Beh, kayak anime kapten sabasa." Mata Reiji memancarkan cahaya-cahaya kekaguman.
Raga hanya menghela nafas lalu pergi meninggalkan tempat menonton. Ivan yang melihat Raga pergi kemudian mengikutinya.
"Bagaimana menurutmu, Sandy?" Fahri bertanya kepadaku.
"Tentang apa? Apa yang harus kita tingkatkan untuk permainan nanti?" Aku bertanya balik.
"Benar. Kita tidak boleh hanya mengandalkan strategi kita saja, bukan?" Fahri meletakkan kepalanya di tangan.
"Kemungkinan besar kita harus bermain lebih hati-hati saja. Operan kita tidak boleh lebih dari tiga sentuhan atau dua sentuhan. Tempo permainan kita tidak boleh malah seperti apa yang mereka inginkan." Jawabku sudah seperti pelatih Manchester city.
"Apa yang dikatakan Sandy ada benarnya." Nara menanggapi perkataanku meskipun sedang fokus mengerjakan soal pr matematika serta fisika.
"Kemungkinan besar permainan anak IPS ada dua. Counter attack ataupun tiki-taka dengan sangat cepat." Nara berhenti menulis.
"Yang penting besok kita kerahkan saja kemampuan kita." Nara menutup buku lalu beranjak pergi.
"Kau ingin kemana?" Tanya Fahri.
"Mencari tempat yang lebih sunyi untuk belajar dan tidur." Nara mengangkat tangan kanan sembari pergi.
...****************...
Ivan mengikuti Raga yang berjalan di lorong menuju entah kemana.
"Aku tahu sedari tadi kau mengikutiku." Raga menoleh ke arah belakangnya.
Ivan bersembunyi di balik mesin penjual otomatis.
"Merepotkan sekali." Raga mengacuhkan Ivan.
Beberapa menit berjalan, Raga sampai di sebuah taman dekat kota, jauh dari tempat stadion bola dan voli.
"Maaf menunggu lama!" Vania terengah-engah.
"Aku sama teman-teman yang lain latihan dulu."
"Tidak apa-apa. Tapi, kau harus selalu memperhatikan kondisimu. Efek Samping dari kemampuanmu bisa sangat krusial—sama seperti Nayyara juga." Raga menghela nafas.
"Kau tidak perlu khawatir, aku sudah lebih kuat dari sebelumnya, kok." Vania mencoba menenangkan Raga.
"Tetap saja Vania, penyakitmu itu di tambah kemampuanmu—efek sampingnya—keduanya berbahaya." Raga cemas.
"Kau tidak perlu terlalu khawatir. Aku tahu bagaimana kondisiku." Sanggah Vania.
"Kedua stadion yang kau buat dari karya seni dan tulis—selama tujuh hari—kau tahu efek sampingnya, kan? Harga kemampuanmu adalah penurunan dari imunitas tubuh karena memerlukan energi yang sangat besar." Raga menatap langit biru berhias awan-awan.
Ivan hanya mendengarkan dari kejauhan di balik pohon.
Ayah selalu begini ternyata. Kurang mempercayai orang yang tercinta. Inilah sifat buruk ayah yang membuat ibu semakin tidak percaya diri dengan kesehatannya kelak. (Ivan mengepalkan tangan kuat-kuat)
KRESEK!KRESEK!
"Keluar kau dari tempat persembunyian! Aku muak denganmu yang menguntitku." Raga menoleh ke arah balik pohon.
Ivan keluar dari persembunyiannya dan berpura-pura sedang melakukan trik sulap dengan kartu takdir pilihan dunianya yang Raga dan Vania tida tahu.
"Apa maksud A-aya— Apa maksudmu? Aku tidak menguntitmu. Kebetulan aku lewat, ini tempat yang cocok untuk berlatih trik sulap." Ivan beralasan.
"Aku tidak bodoh. Apa yang kau inginkan dariku?" Raga memastikan.
"Loh, ada Ivan ternyata." Ujar Vania.
"Kalian ingin melihat trik sulap?" Ivan memulai trik-trik kartu yang biasa pesulap lakukan.
"Waw, aku tidak tahu kau bisa sulap." Vania terkesan.
Padahal kalian lah yang mengenalkan sulap padaku (itulah yang ingin Ivan katakan)
"Jangan mengalihkan pembicaraan, cepat katakan apa alasanmu yang sebenarnya!" Raga menatap tajam Ivan.
"Sudah-sudah jangan begitu." Vania menenangkan situasi.
Vania menepuk tangan, "Bagaimana jika kita berfoto bersama?"
"Untuk apa?" Raga memutar mata malas.
"Entahlah aku juga. Tapi hatiku mengatakan, kita harus berfoto bertiga." Vania mengeluarkan handphonenya.
"Di pikir-pikir, Ivan itu mirip kamu loh, Raga." Vania memperhatikan Ivan dengan seksama.
"Tidak. Aku melihatnya malah mirip denganmu." Sanggah Raga.
"Kita malah seperti di film-film saja. Itu, loh—tentang seseorang hang melakukan perjalanan waktu untuk melihat masa lalu orang tua atau seseorang yang sangat dicintainya." Vania tertawa.
"Malahan seperti melihat anak sendiri yang sudah tumbuh besar." Tambah Vania tersenyum.
"Apa-apaan itu?" Raga tersipu malu.
Ivan langsung terdiam dan menjatuhkan beberapa kartu ke tanah.
Tidak. Ini sungguhan, ibu.
Dengan mengunakan kamera layar depan mereka bertiga mengatur posisi agar terlihat semua dalam kamera.
Ivan yang berada di tengah Raga dan Vania sangat senang sekali.
3....
2.....
1.....
CEKREK!
Gambar berhasil di ambil. Foto yang sangat bagus dengan Ivan yang tersenyum lebar.
"Ayo kita semangat besok!" Ivan bersemangat dan mencoba membuat Raga bersemangat.
"Aku pergi saja. Dah, Vania!" Raga melambaikan tangan kemudian beranjak dari tempat duduknya yang malah di ikuti Ivan.
"Berhenti membuntutiku, Bego!" Raga kesal.
"Sudah aku duga. Dia memanglah anakku dan Raga." Vania berkaca-kaca.
"Kenapa aku menangis, ya?" Vania bingung dengan dirinya sendiri.
...****************...
Kembali kepadaku. Ruangan ganti khusus MIPA 2 mulai berantakan. Pelakunya? Aku, Fahri, Alex dan Bora.
"Kalian kenapa, jir?!" Beben kaget.
"Kalian semua kayak mayat hidup yang di kejar hutang aja." Celetuk Genta.
"Kurang asupan apa dulu nih? Makanan atau.... " Rini mengeluarkan handphonenya sembari tertawa SUS.
"Sebaiknya jangan wahai kisanak." Reiji menahan Rino.
"Malahan kayak pesugihan tuyulnya gak berjalan lancar." Ujar Adit
"Tahu darimana lu?" Tanya Beben.
"Dari dia." Adit menunjuk tuyul yang berdiri di sampingnya.
Beben, Rino, Genta dan Reiji Langsung menatap tuyul dengan tatapan yang bisa membuat tertawa.
"Iya enggak, kalo misal pesugihan tuyul lagi gak lancar, bakalan pemiliknya kayak gitu?" Adit bertanya kepada tuyul tersebut.
"Betul."
"Mana storannya?" Adit menagih.
"Ini!" Tuyul memberikan uang kepada Adit dengan nominal dua ratus ribu lebih.
Rino langsung menaliin Adit dengan lemah, lembut. Beben mengambilkan bensin, Reiji cangkul dan Genta lakban hitam.
"Gua mau di apain btw?" Adit bertanya polos.
"Gak di apa-apain kok. Cuman mau mempertemukan anda lebih cepat dengan sang pencipta." Beben langsung mengguyurkan bensin
Genta langsung menutup kuat-kuat mulut Adit dengan lakban hitam.
"Baiklah kisanak, waktunya segera menemui Sang pencipta. Lalu tebuslah dosamu di alam baka nanti." Beben mulai menyalakan Korek.
Reflek Adit terlalu cepat. Meskipun terikat, dirinya masih bisa berdiri dan berlari sekuat tenaga dengan mulut yang di lakban.
"Mfkan mba!" Adit menyesal sembari di kejar oleh empat makhluk dengan aura membunuh kuat.
"JADI LU YANG NYOLONG DUIT GUA PAKE CARA TUYUL SEGALA?!" Beben bersiap melemparkan korek.
"GARA-GARAMU, AKU JADI TIDAK BISA MEMBELI ACTION FIGURE KARENA DUITNYA TIBA-TIBA HILANG!" Reiji bawa cangkul.
"UANG JAJAN UNTUK INDOMIE KITA, JADI LO YANG NYOLONG SELAMA INI?!" Rino dan Genta serentak.
"MFKAN MBA! LONG!" Adit ingin berbicara, tapi tidak bisa.
"Ini terlalu sulit." Kata Fahri Pasrah.
"Kau benar." Alex tepar.
"Mereka benar-benar monster lapangan bola sejati." Kataku.
Bora tidak berkomentar. Anehnya dia malah diam mematung seperti habis Melihat meteor yang menghantam suatu daerah.
Peluang ngalahin Faris kayaknya bakalan kecil banget. (Bora mulai berkeringat dingin)
Masalahnya ketika yang lain alias teman sekelas laki-laki yang lain—beberapa pergi. Aku, Bora, Alex dan Fahri terus memperhatikan pertandingan dengan seksama. Lalu kami kena mental. Karena apa? Gerakan yang sulit di analisis karena tidak menentu dan ganasnya anak IPS yang tidak tertandingi. Bayangkan saja, jika pertandingan pertama tujuh kosong (IPS 1 menang) kali ini sebelas kosong tanpa balas.
Yang kamu pelajari hanya satu, Amati, Tiru, Bengong lalu.... Menyerah saja. Besok akan menjadi pertandingan yang sulit sepertinya.