Kisah yang menceritakan tentang keteguhan hati seorang gadis sederhana, yang bernama Hanindya ningrum (24 tahun) dalam menghadapi kemelut rumah tangga, yang dibinanya bersama sang suami Albert kenan Alfarizi (31 tahun)
Mereka pasangan. Akan tetapi, selalu bersikap seperti orang asing.
Bahkan, pria itu tak segan bermesraan dengan kekasihnya di hadapan sang istri.
Karena, bagi Albert Kenan Alfarizi, pernikahan mereka hanyalah sebuah skenario yang ditulisnya. Namun, tidak bagi Hanin.
Gadis manis itu, selalu ikhlas menjalani perannya sebagai istri. Dan selalu ridho dengan nasib yang dituliskan tuhan untuknya.
Apa yang terjadi dengan rumah tangga mereka?
Dan bagaimana caranya Hanin bisa bertahan dengan sikap dingin dan tak berperasaan suaminya?
***
Di sini juga ada Season lanjutan ya say. Lebih tepatnya ada 3 kisah rumah tangga yang akan aku ceritakan. Dan, cerita ini saling berkaitan.
Selamat menikmati!
Mohon vote, like, dan komennya ya. Makasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shanayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Waktu berlalu, Hanin sudah kembali menjalankan aktifitasnya seperti biasa.
Pagi hari dia akan menyiapkan sarapan dan keperluan Kenan. Kemudian gadis itu akan berangkat lebih dulu, sengaja ingin menghindari bertatap muka dengan suaminya.
Sorenya, gadis itu akan pulang kerumah lebih cepat, membantu bik Yem memasak, atau apapun yang dirasanya perlu. Kemudian kembali kekamarnya. Dia bahkan membawa masuk kekamar makan malamnya. Dan gadis itu tidak akan keluar hingga pagi menjelang.
Hingga tak terasa sudah hampir 2 minggu kondisi seperti itu berlangsung.
Siang ini, Hanin terlihat sibuk menghitung selisih pendapatan dan pengeluaran cafenya bulan ini, karena sebentar lagi tanggal muda. Otomatis dia akan memberikan gaji dan bonus karyawan, jika cafenya bisa melewati target pendapatan.
"Buk, ada tamu yang mencari ibuk diluar."
Ucap salah seorang karyawan Hanin, yang sudah berdiri di depan pintu.
"Siapa Pur?"
Hanin bertanya pada gadis yang bernama Puri itu.
"Puri nggak tau namanya buk, tapi waktu pesta cafe kemarin, mas itu datang lo buk."
"Apa mungkin mas Sakala?" Hanin bergumam dalam hati.
"Baiklah, kamu kembalilah bekerja! Sebentar lagi saya keluar."
Ucap Hanin lagi.
Puri mengangguk, kemudian menghilang di balik pintu.
Hanin melangkahkan kaki, menuju tempat dimana tamu tadi menunggunya.
Langkahnya terhenti saat melihat, siapa pria yang duduk di kursi taman belakang cafe.
Dia adalah lelaki yang sudah 2 minggu ini dihindarinya. Gadis itu menarik nafas panjang beberapa kali, berusaha menetralkan detak jantungnya. Beberapa detik kemudian, dia melanjutkan langkahnya kembali.
"Assalamualaikum mas,"
Hanin menyapa ketika sudah berdiri di samping pria itu.
"Waalaikum salam." Pria itu menoleh, kemudian memberi isyarat dengan telunjuk, supaya Hanin mendudukkan diri di kursi sebelahnya.
"Ada apa ya mas, tumben mas kesini." Ucap Hanin.
"Aku datang menjemputmu, Oma menyuruh kita pulang ke kota B. Kita berangkat sore ini." Kenan berucap dengan nada perintah, dan Hanin tau kalau dirinya tidak punya hak untuk menolak.
"Baiklah. Aku akan berbicara dengan karyawanku.." Kalimat Hanin terputus, karena dia merasa ada yang bergetar di dalam kantong celananya.
Gadis itu mengeluarkan benda pintar kecil itu,
melihat nama siapa yang tertulis dilayar HP nya .
"Maaf mas. Aku angkat panggilan dulu."
Hanin pemisi pada Kenan, dia berdiri lalu berjalan agak menjauh.
"Halo, Assalamualaikum."
Hanin meletakkan HP tadi ketelinga kanannya.
"Masih di cafe mas, emangnya kenapa?"
"Maaf mas, hari ini aku nggak bisa, soalnya aku mau pergi ke kota B,"
"Aku pulang kerumah orang tuanya mas Kenan, neneknya menyuruh kami balik."
"Iya, insyaAllah. Assalamualaikum."
Hanin memutus panggilannya, kemudian berjalan kembali mendekat ke tempat Kenan.
"Apa itu panggilan dari Sakala?" Kenan bertanya, karena dia dapat mendengar percakapan istrinya tadi.
"Iya, tadinya mas Sakala mau makan siang disini. Tapi karena kita mau pergi, makanya dia nggak jadi datang." Hanin menjelaskan.
"Tidak usah dijelaskan, itu adalah urusanmu." Kenan membuang muka.
"Ih, dasar aneh. Tadi kan dia yang bertanya." protes Hanin, tapi gadis itu hanya berani berucap dalam hati.
"Cepat ambil barangmu. Aku tunggu dimobil, waktumu hanya 5 menit"
Kenan berdiri, lalu mepangkahkan kakinya ke arah pintu.
Hanin tersentak, dengan hati dongkol gadis itu buru-buru kembali keruangannya. Membereskan apa yang perlu. Berbicara sebentar kepada karyawannya, kemudian berlari menuju mobil Kenan. Menarik gagang pintu depan, dan tanpa menoleh gadis itu langsung mendudukkan dirinya.
"Ok mas, aku nggak lama kan?" Gadis menoleh dengan senyum khasnya. Namun senyumnya berubah seketika saat melihat siapa yang duduk dibelakang kemudi.
"Selamat siang nona." Asisten Berryl menyapa.
"Selamat siang." Ucap Hanin canggung, gadis itu kembali membuka pintu, kemudian berpindah duduk di bangku belakang. Tepat disebelah Kenan.
"Kalau asisten Berryl ada, kenapa dia sendiri yang turun mencariku?" Hanin bertanya-tanya dalam hati.
Mobil melaju, tak lama mereka pun sampai. Kenan keluar lebih dulu, pria itu langsung naik kelantai atas. Hanin juga langsung masuk kekamarnya, menyiapkan barang apa saja yang akan dia bawa. Setelah dirasa keperluannya sudah selesai, baru gadis itu naik kelantai atas.
"Tok, tok, tok." Suara ketukan pintu yang diketuk Hanin.
karena tak mendapat jawaban, Hanin langsung saja menarik gagang pintu. Dia sudah biasa melakukan hal itu saat pagi hari, ketika dia menyiapkan baju kerja Kenan.
Namun kali ini situasinya sangat berbeda, Gadis itu agak terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapannya.
"Astaghfirullah hal adzim, Ma.. maaf mas, aku tidak tau kalau ada Nesya disini"
Hanin segera menutup pintu kamar suaminya, gadis itu beristiqfar beberapa kali. Mencoba menahan air matanya yang mulai tak terbendung.
Masih teringat dengan jelas, bagaimana suaminya mencumbui bibir sahabatnya itu, di atas ranjang dengan posisi Nesya berada dibawah kungkungan tubuh kekar Kenan.
"Ya Allah, kenapa hati hamba masih saja selunak ini? Harusnya hamba sudah kebal dengan hal-hal seperti itu. Astaghfirullah hal adzim." Hanin terus beristiqfar. Menenangkan hatinya.
Gadis itu terus melangkahkan kakinya menuju taman samping rumah, dia mendudukkan bokongnya di gazebo samping kolam berenang.
"Nona, apa barang-barang anda sudah siap? Kalau sudah saya akan menyusunnya ke dalam bagasi mobil." Suara dari asisten Berryl mengurai lamunan Hanin.
Gadis itu menoleh, lalu tersenyum getir.
"Asisten Berryl, apa kau punya kekasih?" Hanin bertanya.
"Maaf nona, selama saya bekerja, saya tidak bisa membahas masalah pribadi saya."
"Aku tau. Hanya saja, saat ini aku butuh teman untuk bicara. Tidak bisakah anda menjadi temanku selama 10 menit saja Ber." Hanin sudah berbicara non formal kepada Berryl.
Pria itu terdiam, dia tau kalau hati wanita itu tengah terluka dari sorot matanya.
"Baiklah, saya akan korupsi waktu saya 10 menit untuk anda nyonya, silahkan bertanya." Berryl menjadi tak tega menolak permintaan istri bosnya.
Hanin tersenyum kecil.
"Apa anda pernah jatuh cinta pada seseorang?" Gadis itu mulai bertanya.
"Saya adalah pria normal nona. Tentu saja saya pernah jatuh cinta." Berryl menatap nonanya. Mencoba mengartikan pertanyaan yang diajukan oleh gadis itu.
"Apakah hubungan kalian berhasil?"
"Tidak. Wanita itu sekarang telah menikah dengan pria lain."
"Lalu, bagaimana perasaan anda saat melihat wanita yang anda cintai bermesraan dengan pria lain?" Hanin terlihat semakin antusias bertanya.
"Saya baik-baik saja nona. Karena saya berprinsip, mencintai tak harus memiliki. Yang terpenting bagi saya adalah kebahagiaan gadis itu. Selama dia bahagia, saya juga pasti akan bahagia." Berryl berucap dengan tangkas.
Hanin terdiam, dia sangat salut dengan cara mencintai seseorang dari pandangan asisten Berryl, hari ini dia baru menyadari kalau pria yang selama ini terlihat dingin itu, ternyata juga mempunyai sisi yang hangat.
"Maaf nona, waktu anda sudah habis. Sekarang bisakah saya kembali bekerja?" Ucap pria itu lagi.
"Silahkan, terima kasih sudah mau menjawab pertanyaanku." Hanin tersenyum.
Berryl kembali masuk ke rumah, menuju lantai atas. Berniat membereskan barang tuan mudanya yang akan dibawa pulang ke kota B.
Hanin masih terdiam disana.
"Apakah aku harus melakukan hal yang sama? Tapi, bisakah aku setegar asisten Berryl? Semoga saja." Hanin berucap dalam hati.
TBC
Mohon dukungannya Readers, jangan lupa vote, like dan komen ya.. Makasih
sorry gwa baca sampe sini