Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Satu dari Kita Akan Terbakar
Hari itu panas. Terlalu panas untuk awal musim hujan. Langit seperti menahan murka, dan matahari memancarkan sinar menyilaukan, membakar kulit siapa pun yang berani berdiri terlalu lama di bawahnya. Tapi panas itu bukan hanya datang dari cuaca. Ada bara lain yang tumbuh dalam dada dua orang yang terus mencoba menahan perasaan mereka perasaan yang seharusnya tidak pernah tumbuh.
Rumah besar keluarga Elvaro tampak megah seperti biasa, tapi aura di dalamnya mulai berubah. Dinding-dindingnya menyimpan gema dari malam-malam sunyi, dan lorong-lorongnya mulai terasa sempit seolah menekan siapa saja yang melintasinya.
Pagi itu, Nadiara bangun dengan kepala yang penuh sesak. Ia tidak ingin melihat Xandrian. Tidak ingin berada di bawah atap yang sama. Maka, tanpa sarapan, tanpa pamit, ia mengambil kunci mobil dan melarikan diri ke arah yang tak jelas.
Ia berkendara menuju taman kota yang rindang, tempat di mana kenangan masa kecilnya masih berserakan. Ia duduk di bangku panjang di bawah pohon beringin tua, memeluk lutut dan menatap sekeliling. Anak-anak bermain, pasangan muda tertawa, dan burung-burung bebas berkicau di atasnya.
Tapi ia merasa asing.
Kepalanya masih dipenuhi oleh tatapan Xandrian malam itu. Tatapan yang menusuk jauh ke dalam dada. Tatapan yang membuatnya panas dingin, seolah ia bukan adik tiri, melainkan wanita yang diinginkan.
Ia menutup wajah dengan tangan, berusaha mengusir semua bayangan itu. Tapi mustahil. Perasaan itu telah tumbuh. Diam-diam, liar, dan berbahaya.
Ketika Nadiara kembali ke rumah sore harinya, langit mulai gelap. Awan menebal, angin bertiup kencang. Petir sesekali menyambar di kejauhan.
Tapi bukan hujan yang menyambutnya. Melainkan sosok Xandrian yang berdiri di tengah ruang tamu, tegak, kaku, dan dingin seperti patung marmer. Wajahnya tidak memperlihatkan apa pun, tapi matanya matanya seperti bara yang siap menyala.
“Kamu pergi tanpa izin,” ucapnya tanpa basa-basi.
Nadiara mendesah pelan. “Aku tidak perlu izin untuk bernapas.”
Xandrian maju satu langkah. “Ini bukan soal ke mana kau pergi. Ini soal kau menghilang seharian tanpa kabar.”
“Aku bukan tahananmu. Aku bukan budakmu.”
“Kamu adalah istriku.”
“Di atas kertas, ya! Tapi tidak di hati kita!” bentak Nadiara, suaranya pecah.
Xandrian menghela napas kasar, berjalan mendekat. “Lalu kenapa kamu terus menyiksaku dengan tatapan itu? Dengan kehadiranmu yang selalu dekat tapi menjauh? Kamu pikir aku tidak lihat caramu menatapku waktu itu di perpustakaan?”
“Karena aku tidak tahu harus bagaimana saat kamu memandangku seperti wanita padahal aku adik tirimu!” jawab Nadiara, hampir histeris.
Dan saat itu meledaklah semua yang mereka tahan.
Xandrian menghampirinya dengan langkah lebar dan tanpa aba-aba, ia menarik pergelangan tangan Nadiara dan mendorongnya perlahan ke dinding marmer ruang tengah. Hanya sedetik. Tapi cukup untuk membuat jantung Nadiara berdetak gila.
"Lepas!" desis Nadiara, suaranya gemetar.
"Tidak," jawab Xandrian, suaranya parau dan dalam. "Karena kalau aku lepaskan, aku mungkin tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhmu lagi."
Hening. Nafas keduanya memburu, begitu dekat hingga dada mereka hampir saling bersentuhan. Mata bertemu mata, tajam, namun basah oleh luka dan rindu yang tak diucapkan.
“Kita tak boleh melakukan ini” bisik Nadiara.
“Lalu kenapa kamu tidak menjauh dariku?” tanya Xandrian, suaranya seperti retakan kaca.
“Karena aku membencimu” bisik Nadiara, air mata mulai menggenang di matanya, “tapi aku juga menginginkanmu.”
Xandrian menahan napas. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan. Ia mendekatkan wajahnya. Hidung mereka hampir bersentuhan. Bibir mereka nyaris bersatu.
Tapi pada detik terakhir, ia menarik diri.
Ia mundur dua langkah, menunduk, tangannya mengepal.
"Jika aku menciummu sekarang" katanya, suara itu nyaris bergetar, "kita tak akan pernah bisa kembali ke awal."
Nadiara menggigit bibirnya. Satu tetes air mata jatuh dan mengalir pelan di pipinya.
"Mungkin kita memang tak ditakdirkan untuk awal yang baik" ujarnya pelan.
Xandrian memandangnya, lama. Tapi ia tahu, jika ia terus berdiri di sana, ia akan menyerah pada keinginan yang selama ini ia tekan. Maka ia memilih berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
Langkahnya berat, seperti menarik beban yang tidak kasat mata.
Saat ia membuka pintu dan melangkah ke luar, hujan turun dengan deras. Tapi bukan hujan yang bisa mendinginkan bara dalam dadanya.
Dan di dalam rumah, Nadiara berdiri membeku. Di balik matanya yang berkaca, ia tahu ia telah membuka pintu yang tidak bisa ia tutup lagi.
Mereka sedang terbakar.
Salah satu dari mereka akan hangus oleh perasaan ini.
Dan yang lain…
Akan terbawa dalam kobaran itu.