NovelToon NovelToon
SENORITA DEL AMOR

SENORITA DEL AMOR

Status: tamat
Genre:Misteri / CEO / Roman-Angst Mafia / Tamat
Popularitas:32.3k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

Series #1

•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••

Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.

Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 : Melampaui Batas Dunia

...•••Selamat Membaca•••...

Penerbangan dari Madrid-Barajas ke Queen Alia International Airport, Amman, memakan waktu sekitar lima jam. Pesawat lepas landas menjelang subuh. Langit Madrid masih gelap saat Maula dan Sofia memasukkan koper ke bagasi kabin, membawa satu tas ransel masing-masing yang berisi dokumen penting dan obat-obatan ringan untuk kerja relawan nanti.

Liburan mereka telah dirancang agar menjadi hal yang lebih berguna, tidak hanya sekadar liburan saja.

Maula duduk di dekat jendela. Ia memandangi kilau lampu kota dari ketinggian, mengingat kembali bagaimana ia selalu menghindari berita konflik Timur Tengah. Hari itu, ia justru sedang terbang menuju pusatnya.

“Dulu aku paling malas tau nggak, Sof.”

“Malas apa?”

“Benci aja liat Palestina ini, kayak playing victim. Ya sebelum aku mendalami sejarah mereka lah.” Sofia hanya tersenyum.

“Wajar kok, memang dunia lebih fokus memberitakan mengenai Israel saja. Tidak masalah.”

Setibanya di Amman, udara terasa lebih kering, panas yang menggigit tapi juga menyegarkan setelah kabin pesawat yang pengap.

Setelah melewati imigrasi dan menyatakan kunjungan kemanusiaan sebagai relawan, mereka disambut oleh koordinator dari organisasi kecil bernama Hands for Humanity, yang akan membantu mengatur logistik ke Palestina.

“Besok pagi kita berangkat jam enam menuju Allenby Bridge,” kata koordinator itu, seorang wanita Arab-Yordania bernama Rima. “Perjalanan darat, sekitar satu setengah jam. Kita akan masuk lewat Tepi Barat, tapi... kalian harus siap mental. Pemeriksaan di sana bisa melelahkan.”

Sofia dan Maula hanya mengangguk paham, karena mereka sudah mengerti untuk masuk ke sana memang tidak mudah.

...***...

Hari berikutnya, mereka duduk dalam van putih menuju Allenby Bridge (atau Jisr al-Malek Hussein, nama resminya di Yordania). Jalanan menurun perlahan, melewati padang pasir datar yang sesekali dipotong pepohonan kering dan pos tentara.

Saat mendekati jembatan yang memisahkan Yordania dan Palestina, suasana berubah. Udara menjadi tegang.

Di sisi sungai kecil yang memisahkan dua wilayah, pos penjagaan Israel berdiri kokoh dengan pagar kawat dan kamera di tiap sudut.

Maula menarik napas panjang. Matanya bertemu dengan mata seorang tentara muda yang memeriksa paspornya. Lalu datang pertanyaan-pertanyaan beruntun.

“Apa tujuan Anda ke wilayah ini?”

“Di mana Anda akan tinggal?”

“Kenapa Anda datang bersama orang Muslim?”

Maula sudah mulai ingin menjawab dengan sarkas tapi Sofia segera memegang tangannya.

Sofia menjawab tenang. “Kami relawan. Kami akan bekerja di Hebron, di klinik komunitas.”

Wajah petugas tidak menunjukkan emosi. Mereka diminta duduk terpisah selama hampir dua jam untuk pemeriksaan tambahan. Barang-barang diperiksa, laptop dibuka, bahkan salinan email dari organisasi relawan diperiksa.

Akhirnya, cap imigrasi Israel mendarat di selembar kartu terpisah, mereka tidak mencap langsung ke paspor. Sofia mengusap pelan tengkuknya, sementara Maula menyender ke tembok, lelah tapi lega.

Maula merasa lebih melelahkan daripada memasuki negara lain.

“Selamat datang di Palestina,” ujar supir van berikutnya, seorang pria muda bernama Hadi, sambil tersenyum kecil. “Maaf, di sini tamu disambut dengan interogasi.”

“Ya, kalau disambut dengan bunga, mungkin udah makmur ini Palestina, bakalan banyak bantuan yang datang,” jawab Maula dengan sarkas. Hadi dan Sofia hanya tersenyum kecil.

...***...

Perjalanan dilanjutkan melewati Yerikho, kota tua yang lengang, lalu berbelok menuju Ramallah. Tanah yang mereka lalui bukan seperti dalam brosur wisata. Ini bukan kota suci dengan kubah emas yang langsung menyambut mata. Ini adalah wilayah dengan dinding pemisah menjulang, pos pemeriksaan tak terduga, dan jalan-jalan sempit yang dijejali spanduk politik.

“Kenapa tidak langsung ke Yerusalem?” tanya Maula.

“Tak semudah itu,” jawab Hadi pelan. “Kami dari Tepi Barat sering tak diizinkan masuk Yerusalem. Kami hanya bisa melihat Kubah Emas dari jauh, seperti melihat surga dari balik jeruji.”

Hati Maula begitu teriris mendengarnya, padahal kubah emas yang dimaksud adalah harta berharga bagi penduduk Palestina. Itu milik mereka tapi mereka malah terlarang dan tidak bebas memasukinya.

“Kalian benar-benar orang yang kuat ya,” lirih Maula yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Hadi.

Mereka tiba di Hebron saat matahari mulai turun. Rumah-rumah padat menempel satu sama lain dan kehidupan tampak berjalan dengan ritme yang cepat, keras, tapi tetap hangat.

Anak-anak berlarian dengan tawa, meski di kejauhan, suara drone sesekali mengaum di langit. Anak-anak itu berlari seakan tidak memiliki beban, padahal mereka harus dihadapkan dengan kondisi tak seharusnya dialami oleh anak seusia mereka.

Markas relawan berdiri sederhana di tengah gang kecil. Di sana, beberapa sukarelawan lain dari Belanda, Turki, dan Kanada telah berkumpul. Semua menyapa dengan pelukan singkat dan teh hangat.

Sore itu, Maula berdiri di atap penginapan kecil mereka, menatap langit Palestina yang mulai berubah jingga. Tidak tahu alasannya apa, tapi air mata Maula tiba-tiba saja menetes.

“Apa kamu menyesal telah ikut?” tanya Sofia, menyusulnya.

Maula menatap jauh ke perbukitan di kejauhan, tempat suara azan terdengar bersahutan. Begitu merdu dan sangat menenangkan qalbu.

“Belum tahu,” jawabnya jujur. “Tapi aku rasa... dunia ini memang harus dilihat langsung. Tidak cukup dari buku ataupun dari layar saja. Begitu banyak rasa sakit tersembunyi di sini.” Sofia merangkul Maula, berbagi hangat pelukan persahabatan.

“Kok bisa kamu kehilangan kedua orang tuamu, Sof?” Sofia ikut menatap ke depan.

“Kedua orang tuaku adalah pejuang di tanah ini, aku berasal dari Gaza. Aku dilahirkan di sana. Abi adalah bagian dari pejuang, sedangkan ummy seorang dokter. Serangan malam itu membuat kehidupan kami berubah, aku yang masih berusia lima tahun harus menutup telinga adikku yang masih berusia dua tahun. Bom terus berjatuhan di atap rumah kami, bagai air hujan. Abi keluar dan mencoba melindungi yang lain, sedangkan ummy berusaha mencari tempat aman untuk kami. Tiba-tiba salah seorang zionis masuk dengan senjata lengkap dan memukul ummy, kami bersembunyi di bawah kolong kasur, menyaksikan bagaimana dia memperkosa ummy lalu menembak kepalanya hingga hancur.” Sofia menangis dalam diam, terisak dan Maula memeluknya.

“Adikmu ke mana?”

“Dia berlari keluar dari kolong dan ikut tertembak. Aku pengecut, aku terus bersembunyi dan akhirnya aku juga tertembak. Abi gugur keesokan harinya dan hanya aku yang selamat.” Maula begitu terenyuh mendengar cerita Sofia, begitu sakit jika harus melihat orang tersayang mati di depan mata.

“Cukup. Kita tidak usah lanjutkan cerita ini, aku nggak mau kamu sedih.” Maula dan Sofia berpelukan untuk saling menguatkan.

... ***...

Pagi pertama di Hebron datang tanpa alarm. Azan subuh mengalun dari masjid tua di ujung gang, menggetarkan udara yang belum sempat hangat.

Maula terbangun lebih dulu. Ia duduk di ranjang sempitnya, membuka jendela kayu yang mengarah ke atap rumah sebelah, tempat dua anak kecil tengah menyikat gigi dengan arang dan air dari ember.

Sofia muncul beberapa menit kemudian, mengenakan kerudung hijau tua dan jaket relawan yang disediakan organisasi. “Hari ini kita ke klinik,” katanya singkat. Tidak perlu basa-basi. Ini bukan liburan.

Klinik itu terletak di bagian bawah kota Hebron, tepat di area H2—zona yang paling sensitif, di mana pemukim Israel dan warga Palestina hidup berdampingan dalam ketegangan abadi. Jalan menuju ke sana melewati pos militer, dinding yang penuh grafiti, dan toko-toko yang ditutup dengan pagar besi.

Maula tercengang ketika melihat wujud klinik itu, bangunan setengah permanen, tiga ruangan kecil, satu kasur periksa, dan sebuah lemari obat yang sebagian besar kosong.

“Kita bukan datang untuk menyelamatkan,” bisik Sofia saat melihat ekspresi sahabatnya. “Kita datang untuk membantu mereka bertahan dari apa pun.”

“Ini benar-benar menyedihkan, kenapa mereka sekejam ini?” Maula menghapus air mata yang mulai turun.

Pagi itu mereka bekerja di bagian registrasi. Anak-anak datang dengan luka lecet, ibu-ibu membawa bayi demam tinggi, dan satu pria tua dengan infeksi kaki yang parah akibat diabetes tak tertangani. Maula mencatat gejala, mencocokkan obat dan membantu menerjemahkan dari catatan relawan Eropa sebelumnya.

“Saya kuliah kedokteran,” katanya dalam bahasa Inggris kepada perawat lokal yang memimpin klinik, seorang wanita tegas bernama Umm Salima.

“Ilmu itu baik,” jawab Umm Salima tanpa senyum, “tapi di sini, kamu harus belajar lebih banyak dari tatapan orang-orang ini.”

Maula menyimak dan begitu paham dengan apa yang dimaksud oleh Umm Salima. Setiap tatapan pasien yang datang penuh harap.

Siangnya, listrik padam. AC mati. Alat tensimeter rusak. Maula, yang biasanya bekerja dengan laboratorium lengkap di Madrid, kini memeriksa tekanan darah manual dengan peralatan tua, sambil berkeringat.

Kepandaian dan pengabdiannya kini benar-benar diuji, di tempat ini, negara yang katanya penuh dengan teroris ini.

Namun, bukan itu yang paling mengguncangnya.

Sore hari, seorang anak perempuan dibawa masuk. Namanya Raneem, delapan tahun. Ia terkena pecahan kaca di perut karena bentrokan semalam.

Darah telah berhenti, tapi lukanya belum dibersihkan dengan benar. Maula membantu membersihkan luka, gadis kecil itu berkata dalam bahasa Arab, lirih, “Ana laa akhaf.” (saya tidak takut)

Maula menatap mata itu. Tak ada air mata. Hanya keteguhan yang mengiris. Ia terdiam lama.

“Maadza Ta’ni?” tanya Maula heran, dia sedikit banyak bisa berbahasa arab.(maksudmu?)

“Inna Allaaha ma‘ana daa’iman, wa hadza al-alam maa huwa illaa tathhiir li al-dhunuub.” Maula tak kuat lagi menahan air matanya, mulai terisak dengan jawaban anak itu. Begitu kuat dan teguh imannya, sedangkan dia sendiri, jika terluka akan sesuatu, pasti menyalahkan Tuhan.

(Sesungguhnya Allah selalu bersama kami, dan sakit ini tak lain adalah penyucian dari dosa-dosa.)

...***...

Malamnya, di atap tempat tinggal relawan, Maula duduk dengan tatapan penuh rasa sakit. Sofia memberikan segelas minuman teh hangat padanya lalu duduk di samping Maula.

“Hari ini aku melihat luka yang tak diajarkan di fakultas. Luka yang bukan hanya di tubuh, tapi di hidup, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa... bukan hanya ingin jadi dokter. Aku ingin jadi manusia yang bisa mengerti derita orang lain, bahkan kalau aku tak pernah mengalami hal yang sama.” Lagi-lagi air mata Maula turun begitu deras.

“Berat ya?” tanyanya.

Maula mengangguk. “Aku ingin besok kembali ke klinik dengan cepat.”

Sofia tersenyum. “Besok kita bantu di sekolah juga. Kamu siap melihat luka yang tak berdarah?”

Mereka menyesap teh pelan, sementara langit Palestina yang gelap menyimpan ribuan suara dan harapan-harapan kecil yang bertahan.

“Mama, Papa, aku rindu kalian... aku benar-benar beruntung menjadi anak kalian dan dibesarkan penuh kasih sayang. Aku rindu Ma, Pa.” Maula menjerit pilu dalam hatinya, memegang dada yang kian terasa sesak.

...•••Bersambung•••...

Hai teman-teman, saudara kita di Palestina bukan hanya membutuhkan materi, tapi mereka juga butuh dukungan. Tak perlu memandang apapun agama kalian, cukup rasa simpati dan kemanusiaan kita gunakan melihat kehidupan dan penderitaan mereka. Semoga kita selalu bahagia ya, paling tidak kirimkan satu doa singkat kepada mereka di sana. Mereka juga manusia, sama seperti kita. Palestina adalah penjara dengan tahanan paling banyak di dunia. Penjara terbesar yang tidak tahu kapan akan bebas dan merdeka.

...----------------...

...----------------...

...----------------...

...----------------...

...----------------...

...----------------...

1
Radella
good
Syaqilla
awesome
Naxed2448
👍
Dewi Dejiya
awesome
Dinda Kirana
Awesome
Khadijah Jaelani
amazing
Iguana Scrub
luar biasa
adi_nata
motor itu kenapa tiba tiba ada ? sudah ada di rumah itu sebelumnya atau diantar seseorang ?
adi_nata: ya .. mungkin memang imajinasiku yang terbatas jadi terkadang agak bingung menangkap alur cerita. cuma bisa fokus pada satu titik keterangan.
🌺Shella BTS🌺: Oh ya beda pandangan ya, tapi kalo dri segi alur sih, mereka kan beberes di rumah dulu dan Rayden sempat bilang kalo rumahnya deket. Jadi ke supermarket ya pake kendaraan Rayden, deket lah bolak balik ke rumah dia 😁
total 6 replies
Khaira Delisya
ada lanjutannya gak Thor🥹🥹
Vebi Gusriyeni: Ada kakak, judulnya SENORITA PERDIDA
total 1 replies
adi_nata
lha dianya sendiri juga biadab.
Vebi Gusriyeni: Namanya juga psikopat
total 1 replies
adi_nata
seorang gadis belia bisa melalukan tindakan brutal semacam ini. luka seperti apa yang mendorongnya ?
adi_nata: oke siap author Vebi
Vebi Gusriyeni: Hehe aman, ntar baca aja dari awal biar gak bingung ya ☺ btw nanti kalo ada salah alur atau kekeliruan di tengah cerita bisa kasih respon dan saran, ntar aku perbaiki. Makasih udah kasih dukungannya ☺☺
total 4 replies
Yuyun Asrifani
Suka🥰
Bunda Rian Putra
terbaik
Ukhty Hawa
Baca dari season 1 sampai ke series ini benar2 menghayati, terbawa suasana hingga susah move on dari tokohnya 👍
Cherry Clode
good
Miami Zena
Awesome
Sader Krena
Amazing
Inay Inayah
keren
Flo Teris
awesome
Alya Nurhidayat
Best
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!