Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.
Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.
Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror dimulai
Izara menatap isi kotak itu dengan napas tertahan. Wajahnya mendadak pucat. Tangannya gemetar saat melihat selembar foto dirinya sendiri.
“Ini... dari siapa?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Kai segera menutup kotak itu dan berdiri cepat. Tatapannya tajam dan waspada.
“Masuk. Cepat.”
Tanpa banyak tanya, Izara mengikuti Kai kembali masuk ke dalam rumah. Begitu pintu tertutup, Kai segera mengunci semua jendela dan pintu. Suasana mendadak mencekam.
“Ada yang mengawasi kita,” ucap Kai serius, suaranya pelan namun tegas.
Izara menatapnya, penuh kecemasan. “Tapi… apa yang mereka inginkan?”
Kai menggeleng pelan. “Aku belum tahu pasti. Tapi aku yakin... ini ada hubungannya dengan Kael. Dan juga... dengan ayahmu.”
Izara terdiam. Kata-kata itu seperti membuka kembali luka yang belum sembuh. Dadanya terasa sesak.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu depan.
Sekali.
Dua kali.
Mereka berdua langsung saling berpandangan. Kai berdiri cepat, tubuhnya menegang. Ia meraih pisau kecil dari balik laci.
Langkahnya mendekat ke pintu, perlahan. Lalu, ia membuka sedikit celah.
Seorang pria berdiri di sana,
"Kael," kai.
“Boleh aku masuk?” tanyanya, datar namun jelas.
Kai tidak langsung mengiyakan. "Untuk apa kau kemari?" Jawab Kai justru berkata lain.
"Aku ada perlu dengan Izara, dia ada didalam bukan?"
“Kalau ada, aku juga tidak akan mengizinkannya bertemu denganmu,” ucap Kai tegas, berdiri di depan pintu.
Kael mematung. Wajahnya menegang. Ia datang dengan niat baik, tetapi justru disambut dengan kalimat seperti itu.
"Apa maksudmu?" suara Kael mulai mengeras. “Kau bukan siapa-siapa. Kenapa merasa berhak melarang segala?”
Kai menatapnya tajam. “Kenapa? Karena aku ingin menjaganya. Kau sudah cukup menyakitinya, Kael.”
Kael mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. Tapi Kai tak memberinya ruang lagi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kai menarik pintu perlahan.
Brak.
Pintu tertutup di hadapan Kael.
Sementara Izara berdiri di balik tirai, tak bersuara.
Ia mendengar semuanya—setiap kata, setiap nada tinggi Kael, dan ketegasan dingin dari Kai.
Matanya menatap ke luar jendela. Di halaman depan, Kael masih berdiri disana. Kepalanya menunduk. Jemarinya mengepal di sisi tubuh. Diam. Tidak bergerak.
Izara tidak tahu apa yang harus ia rasakan.
Kael menyakitinya. Berkali-kali. Tapi kehadirannya selalu meninggalkan bekas. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa membenci pria itu sepenuhnya—dan itu membuatnya kesal pada diri sendiri.
Kael mendongak, seolah merasakan tatapannya.
Mata mereka bertemu. Hanya sepersekian detik.
Izara cepat-cepat mundur dari jendela. Dadanya berdegup tak karuan. Ia tidak mengerti kenapa hatinya terasa seperti ini.
Izara menatap isi kotak itu dengan napas tertahan. Wajahnya mendadak pucat. Tangannya gemetar saat melihat selembar foto dirinya sendiri.
“Ini... dari siapa?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Kai segera menutup kotak itu dan berdiri cepat. Tatapannya tajam dan waspada.
“Masuk. Cepat.”
Tanpa banyak tanya, Izara mengikuti Kai kembali masuk ke dalam rumah. Begitu pintu tertutup, Kai segera mengunci semua jendela dan pintu. Suasana mendadak mencekam.
“Ada yang mengawasi kita,” ucap Kai serius, suaranya pelan namun tegas.
Izara menatapnya, penuh kecemasan. “Tapi… apa yang mereka inginkan?”
Kai menggeleng pelan. “Aku belum tahu pasti. Tapi aku yakin... ini ada hubungannya dengan Kael. Dan juga... dengan ayahmu.”
Izara terdiam. Kata-kata itu seperti membuka kembali luka yang belum sembuh. Dadanya terasa sesak.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu depan.
Sekali.
Dua kali.
Mereka berdua langsung saling berpandangan. Kai berdiri cepat, tubuhnya menegang. Ia meraih pisau kecil dari balik laci.
Langkahnya mendekat ke pintu, perlahan. Lalu, ia membuka sedikit celah.
Seorang pria berdiri di sana,
"Kael," kai.
“Boleh aku masuk?” tanyanya, datar namun jelas.
Kai tidak langsung mengiyakan. "Untuk apa kau kemari?" Jawab Kai justru berkata lain.
"Aku ada perlu dengan Izara, dia ada didalam bukan?"
“Kalau ada, aku juga tidak akan mengizinkannya bertemu denganmu,” ucap Kai tegas, berdiri di depan pintu.
Kael mematung. Wajahnya menegang. Ia datang dengan niat baik, tetapi justru disambut dengan kalimat seperti itu.
"Apa maksudmu?" suara Kael mulai mengeras. “Kau bukan siapa-siapa. Kenapa merasa berhak melarang segala?”
Kai menatapnya tajam. “Kenapa? Karena aku ingin menjaganya. Kau sudah cukup menyakitinya, Kael.”
Kael mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. Tapi Kai tak memberinya ruang lagi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kai menarik pintu perlahan.
Brak.
Pintu tertutup di hadapan Kael.
Sementara Izara berdiri di balik tirai, tak bersuara.
Ia mendengar semuanya—setiap kata, setiap nada tinggi Kael, dan ketegasan dingin dari Kai.
Matanya menatap ke luar jendela. Di halaman depan, Kael masih berdiri disana. Kepalanya menunduk. Jemarinya mengepal di sisi tubuh. Diam. Tidak bergerak.
Izara tidak tahu apa yang harus ia rasakan.
mereka bertemu. Hanya sepersekian detik.
Izara cepat-cepat mundur dari jendela. Dadanya berdegup tak karuan.
...
Hari-hari berikutnya, Kael tak menyerah. Setiap pagi, ia berdiri di seberang rumah Izara—kadang hanya beberapa menit, kadang berjam-jam. Tak satu kata pun terucap, tak ada upaya memaksa
Izara berusaha tak peduli. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam rutinitas, tapi tetap saja matanya selalu secara tak sadar melirik ke jendela. Dan setiap kali ia melihat siluet Kael, ada kegaduhan yang tidak bisa ia redam di dalam dadanya.
sementara kai, dia semakin waspada menjaga Izara.
'' apa ada sesuatu yang menganggu pikiranmu, Izara?'' tanya kai saat melihat gadis itu hanya diam dengan tatapan kosong.
Izara tidak langsung menjawab. Ia masih duduk di ujung sofa, tubuh sedikit membungkuk, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.
''Kael, apa dia baik-baik saja... maksudku, diluar hujan deras.'' jawab Izara tampak terpatah-patah tapi itulah yang mengganggu pikiranya sejak tadi.
''kau... apa kau peduli padanya?''
''jika ada seseorang seperti kael diluar, kehujanan,pasti aku akan mengasihaninya juga, aku peduli arena aku masih memiliki hati kak'' katanya.
''aku mengerti, apa yang ingin kau lakukan?''
'' bolehkah mengajaknya masuk?''
Kai menghela nafas, wajahnya tampak kecewa tetapi sebisa mungkin Izara berusaha untuk bersikap tenang.
Kai mengangguk, '' silahkan.''
setelah mendapatkan izin ari kia, Izara keluar menghampiri kael dengan payung kuningnya. Pria itu tengah kedinginan dibawah pohon.
''kau bisa sakit jika terus begini'' ucap Izara, Kael mendongak.
Wajah pria itu memang terlihat datar tetapi dalam hatinya ia merasa senang.
''Izara, akhirnya. Sebenrnya ada yang ingin aku berikan padamu.''
Kael merogoh saku kantongnya, mengeluarkan sebuah kunci. ''ini untukmu, ini kunci...''
Bibir Kael berhenti bicara saat seseorang tiba-tiba muncul dibelakang Izara.Sosok mesterius itu melayangkan sebuah balok, ingin memukul Izara. Namun Kael dengan cepat mengubah posisinya, memeluk gadis itu erat-erat hingga balok itu mengenai tubuhnya.Sosok misterius itu segra pergi dan berlari.
Izara berteriak panik, ''Kael!!... apa yang terjadi, bangunlah.'' pekiknya, saat melihat kael yang pingsan.