NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:830
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Peluru dan Pecahan Diri

Lampu-lampu putih menyala menyilaukan, menusuk pupil Ajie yang mulai kehilangan fokus. Matanya merah, tubuhnya gemetar, dan urat-urat di lengan tampak menegang seperti kawat baja yang ditarik paksa. Tangan dan kakinya terikat di kursi logam, dengan ratusan kabel menempel di tubuhnya—menyedot data, suhu, detak jantung, dan terutama, aliran zat cat radioaktif di pembuluh darahnya.

“Naikkan tekanannya ke 65%,” perintah Cain dari ruang observasi, suaranya tenang namun dingin seperti embun es. “Aku ingin tahu seberapa jauh tubuh subjek ini bisa menahan stimulasi neurologis ketika warna primer dilepaskan bersamaan.”

Ajie menjerit. Sekuat tenaga, hingga pita suaranya terasa koyak. Tiga warna cat—merah, biru, dan kuning—terlihat menyembur dari pori-porinya seperti tinta dari tubuh yang kelebihan tekanan. Setiap warna membuat tubuhnya berdenyut seperti mesin mati yang dipaksa hidup kembali. Merah membakar pikirannya, biru membuat jantungnya terasa membeku, kuning membuat dia mendengar suara-suara yang tak berasal dari dunia ini.

Tubuhnya sudah di ambang pecah, tapi pikirannya masih memegang satu hal: nama ibunya. Namanya... dan janji untuk tidak menyerah.

Ratna berdiri di balik kaca, helm Junkcore tergenggam di tangan kirinya. Matanya yang biasa dingin, kini sedikit terguncang. Ia melihat Ajie seperti melihat pantulan dirinya sendiri—seseorang yang dibongkar oleh dunia, dikoyak oleh sistem yang tak peduli siapa yang hancur asalkan eksperimen berjalan.

“Kenapa dia masih hidup setelah dua kali lonjakan simultan?” tanya salah satu teknisi.

“Karena dia bukan manusia biasa lagi,” jawab Cain, datar. “Dan justru itu yang membuat dia sempurna. Senjata yang bisa memilih warna. Bisa membakar. Membeku. Mengikat.”

Ratna mendesah. “Dan apa kau pikir dia akan menurut padamu?”

Cain tidak menjawab. Ia hanya memandangi Ajie seperti sedang melihat teka-teki terakhir yang hampir rampung.

 

Sementara itu, jauh di hutan Jerman, tak jauh dari fasilitas rahasia itu, Melly berdiri di dalam kabin van tua yang diubah jadi pusat kendali mini. Ia tidak tidur sejak semalam. Wajahnya kusut, rambut acak-acakan, dan matanya merah karena terlalu lama menatap skema bangunan di layar hologram buatan Faisal.

“Pintu masuk timur terlalu dijaga. Tapi... jalur pembuangan limbah ini—lihat,” Faisal menunjuk layar. “Ada celah. Kalau kita ledakkan dari titik ini, efeknya bisa menjalar ke seluruh bagian bawah fasilitas.”

Melly menggigit bibirnya, berpikir. “Dan Ajie?”

“Kita nggak tahu pastinya dia di mana. Tapi kalau dia di laboratorium utama, kita harus pakai waktu ledakan itu buat nyusupin dia keluar.”

“Cuma itu satu-satunya pilihan.” Melly mengambil helm Torque Queen-nya, tapi tidak langsung memakainya. “Kalau ini gagal, Faisal. Lo tahu kan artinya?”

“Gue udah lama melewati titik nggak bisa balik, Mel.” Faisal tersenyum miris. “Ayo kita balikin orang kita.”

 

Suara sirine tiba-tiba meraung di dalam fasilitas Altheron. Lampu darurat menyala. Cain membalikkan badan dengan wajah mengernyit.

“Apa yang terjadi?”

“Sistem keamanan utama terganggu! Ada ledakan kecil di sayap barat daya!” teriak salah satu operator.

Cain memicingkan mata. “Panggil pasukan cadangan. Tutup semua akses keluar. Jaga subjek di ruang eksperimen!”

Ratna langsung mengenakan helmnya. “Kalau itu Melly, dia nggak datang sendirian.”

Sementara itu, dari lorong bawah tanah, Melly dan Faisal berlari cepat. Suara tembakan dan ledakan kecil terdengar di belakang mereka—hasil jebakan dadakan yang mereka tanam untuk mengalihkan perhatian.

“Ada dua penjaga di depan!” Faisal memberi tahu sambil membaca radar termal dari tablet-nya.

“Gue urus,” jawab Melly, lalu melompat maju, menghantam penjaga pertama dengan alat las otomatis dari sarung tangannya dan menyetrum yang kedua dengan soket listrik dari sabuknya.

“Cepat, ke lab pusat!”

 

Ajie masih diikat, tapi kini tubuhnya menggigil hebat. Napasnya sesak, dan warna cat dari tubuhnya mulai berpendar seperti lampu yang korsleting. Dalam pikirannya, dunia berputar. Ia tak bisa lagi membedakan masa kini dan kenangan. Ia melihat ibunya... ayahnya... masa kecilnya... dan dirinya yang kini, bukan lagi manusia, tapi sesuatu yang belum ia mengerti.

“Tolong... berhenti...”

Tapi mesin terus berdengung, sinyal terus naik. Sampai tiba-tiba...

BOOM!!

Seluruh dinding laboratorium bergetar. Asap dan serpihan beterbangan. Alarm berubah dari merah ke oranye, menandakan ledakan internal besar.

Cain terlempar dari posisinya. Ratna berdiri, bersiap menyerang. Tapi sebelum ia bisa bertindak, dinding laboratorium jebol.

Dan dari balik asap—Melly muncul.

“Ajie!” teriaknya.

Ajie yang setengah sadar hanya bisa memiringkan kepala. “Mel...?”

Tanpa banyak bicara, Melly menembakkan paku-paku otomatis ke pengunci borgol Ajie. Faisal berlari masuk dan menarik kabel-kabel dari tubuh Ajie sambil memeriksa nadinya.

“Dia masih hidup! Tapi aliran cat-nya mulai pecah ke jaringan saraf!”

“Artinya?” tanya Melly sambil menembak penjaga yang masuk dari belakang.

“Artinya kalau kita telat sedikit aja, dia bisa... meledak dari dalam.”

Ratna muncul dari balik asap, sudah dalam mode penuh Junkcore. Mata helmnya menyala merah.

“Tidak ada yang keluar dari sini.”

“Ratna, minggir!” teriak Melly.

“Kalau kalian bawa dia pergi, dunia bakal hancur lebih cepat dari yang kalian kira!”

Ratna maju, Melly menyerangnya dengan obeng berputar. Mereka kembali bertarung, denting logam dan ledakan kecil bersahutan. Faisal menarik Ajie ke arah pintu samping.

Tapi Cain sudah berdiri di ujung lorong, menodongkan senjata elektrostatis raksasa ke arah mereka.

“Permainan selesai.”

Melly berdarah di pelipisnya, tapi masih berdiri. Ratna juga mulai goyah, armor-nya mulai rusak karena ledakan.

Ajie, di antara sadar dan tidak, tiba-tiba membuka matanya. Suara Cain, Ratna, Melly, semuanya hilang dalam dengung. Yang dia rasakan hanya satu: sesuatu yang ingin keluar dari dalam dirinya.

Cat warna ungu—warna yang belum pernah muncul sebelumnya—mulai merembes dari tangannya. Warnanya menyala dalam gelap. Memutar, berdenyut, seperti amarah dan harapan yang membentuk satu.

Cain menatap heran. “Apa itu...?”

Ajie bangkit. Tubuhnya bergetar, tapi berdiri dengan stabil. “Gue udah cukup jadi kelinci percobaan.”

BRAAAKK!!

Ledakan besar meledakkan satu sisi lab. Semua terpental. Melly melindungi Faisal. Ratna terlempar ke pilar beton.

Ajie berdiri di tengah asap. Tangannya menyala ungu. Aura di sekelilingnya seperti badai cat yang berputar.

Namun sebelum ia bisa melangkah keluar...

Tembakan dari belakang.

Ajie terhuyung.

Apakah Ajie berhasil selamat dari fasilitas itu, atau justru kekuatan barunya mulai menghancurkan tubuhnya dari dalam? Sementara Melly dan Faisal hanya punya satu jalan keluar... waktu yang sangat terbatas.

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!