NovelToon NovelToon
Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan Tentara / Romansa / Dokter / Gadis Amnesia
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Fantasi

Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.

Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan sang matahari

Pagi yang cerah menyapa, membawa setiap orang kembali pada rutinitas masing-masing. Begitu pula Nahda, yang bersiap berangkat ke kebun. Namun, sebelum itu, ia harus mengurus Maknya terlebih dahulu.

"Mak... ayo, sarapan dulu..."

Dengan sabar, Nahda menyuapi Minarsih penuh kasih sayang. Sudah berhari-hari Maknya belum sembuh, bahkan obat-obatan dari dokter pun hampir habis tanpa hasil.

"Mak... keadaan Mak makin lemah. nanti sepulang dari kebun, aku antar Mak ke klinik ya," ujar Nahda dengan raut wajah khawatir.

Minarsih justru tersenyum tipis sembari menggeleng. "Enggak, Neng... Mak ngerasa sehat kok."

Nahda yang mendengar itu hanya bisa menghela napas berat. Minarsih memang sangat sulit diajak ke dokter, ia selalu punya seribu alasan untuk menolak pergi ke klinik kesehatan.

Sarapan telah selesai, dan Minarsih sudah meminum obat. Kini, saatnya Nahda pergi ke kebun.

"Mak sendirian di rumah enggak apa-apa? Aku mau ke kebun sebentar."

"Iya, Neng. Enggak apa-apa Mak sendirian di rumah."

"Kalau gitu aku pergi dulu ya, Mak... Jangan ke mana-mana... di rumah aja... nanti juga aku bakal pulang cepat."

Lalu Nahda keluar rumah, meninggalkan pintu dalam keadaan tertutup namun tidak terkunci. Ia meninggalkan Minarsih seorang diri, meskipun sebenarnya hatinya tidak tega. Namun, ia juga harus mengurus kebun untuk mendapatkan upah dan bahan makanan sehari-hari.

Haris kini berada di rumah Pak Kades, memantau perkembangan desa terkait misi yang sedang ia jalankan. Selama di sana, ia belum menemukan ancaman apa pun yang membahayakan desa. Suasana nyaman dan damai, serta kerukunan antarwarga, itulah yang dirasakan Haris selama di sana.

"Pak Haris... saya mau tanya."

"Silakan," jawab Haris, ditemani secangkir kopi dan beberapa camilan.

"Eum... maaf lancang ya, Pak... Akhir-akhir ini, saya melihat Pak Haris dekat dengan Hana... Apa kalian berdua ada hubungan?"

Raut wajah Haris berubah sedikit tidak suka. "Kenapa memangnya?"

"Tidak apa-apa... Saya hanya penasaran karena gadis itu tidak bisa dekat dengan lelaki mana pun kecuali Amir..."

Haris mengangguk-angguk seolah mengerti perkataan Pak Kades. "Hana itu kekasih saya yang dulu hilang, Pak."

Mendengar itu, Pak Kades terperangah seakan tak percaya. "Benarkah?"

"Iya... Awalnya saya mengira bahwa kekasih saya sudah meninggal 10 tahun yang lalu... Tapi, saat saya melihat Hana yang mirip dengannya, saya yakin bahwa dia kekasih saya... dan ternyata benar."

"Oh, begitu, Pak... Pantas saja Pak Haris terus mengamati dia dari jauh... Saya kira Anda hanya pengagum dia saja seperti yang lain."

Haris menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari terkekeh geli. Memang benar, dulu sebelum mengingat semuanya, Haris berusaha mengorek informasi tentang Hana. Ia juga sering mengikuti Hana ke mana pun ia pergi, bahkan ia pernah mengintip Hana mandi di sungai yang sepi. Ia sampai dikatai penguntit oleh sahabatnya sendiri. Begitu besar rasa penasaran Haris untuk mengungkap identitas asli Hana tersebut. Entahlah, jika Nahda tahu kelakuan Haris sebenarnya saat mencari info tentang dirinya, mungkin ia akan marah.

***

Minarsih tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena merasa harus ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dengan tubuhnya yang masih lemah, ia berusaha bangkit dan berdiri tanpa bantuan siapa pun karena ia sendirian di rumah. Ia melangkah menuju toilet dengan sangat perlahan. Dengan napas tersengal, ia berusaha untuk memasuki kamar mandi. Namun, entah karena kurang berhati-hati, langkah kakinya menginjak bagian licin.

"Haaaaaa!"

Minarsih pun terjatuh di kamar mandi.

Peluh keringat sudah membasahi tubuh cantiknya. Nahda telah selesai mengerjakan tugasnya di kebun. Sekarang ia sedang melangkah menuju rumahnya bersama Puput, sahabatnya.

"Hana... aku masih enggak nyangka kalau kamu pacarnya Pak Haris. Dia keren banget, kamu beruntung dapetin dia," puji Puput.

Nahda yang mendengar hanya tersipu malu. Puput masih memanggilnya Hana karena Nahda sendiri tidak mempermasalahkan orang akan memanggil dirinya apa. Jadi, ia masih menerima panggilan tersebut. Mereka berdua bercanda ria sambil berjalan. Namun, seketika Nahda merasakan hawa yang tidak enak, dan itu menghentikan langkah kakinya.

"Kamu kenapa, Han?"

Raut wajah Nahda berubah menjadi khawatir. "Kok hati aku enggak tenang ya, Put?"

"Perasaan kamu aja kali..."

Nahda tiba-tiba teringat Maknya yang sendirian di rumah. "Mak," lirihnya. Lalu, tanpa berlama-lama, ia langsung berlari sekencang mungkin.

"Han... mau ke mana?!"

Puput yang khawatir akan sikap sahabatnya, ia pun mengejar Nahda untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia bahkan melupakan bahwa ia harus segera kembali ke rumah.

Mereka berdua telah sampai di rumah bilik Minarsih.

"Maakk!" seru Nahda panik saat memasuki rumah, diikuti Puput di belakangnya. Lalu dengan cepat ia membuka kamar Minarsih. "Tidak ada." Ia mengecek kamarnya, tidak ada juga. Mereka juga mengecek di bagian dapur. Dan saat mengecek di bagian kamar mandi...

"Aaaaaaaaaaa!!!"

"Maaaaakkkk!!!"

Mereka berdua terkejut saat melihat Minarsih terbaring tak sadarkan diri dengan luka darah yang mengalir di kepalanya.

"Puput... ayo bantu bawa Mak ke klinik," ujar Nahda yang gemetar. Ia juga tak bisa menahan tangisnya.

"Ayo, ayo," sahut Puput, yang juga gemetar karena terkejut. Lalu mereka membawa tubuh Minarsih dengan menggotongnya keluar rumah. Puput meminta warga agar membantunya membawa Minarsih ke klinik. Akhirnya, semua warga berkumpul dan membantu mereka membawa tubuh lemah Minarsih.

Kini, mereka berdua tengah berada di klinik. Minarsih sedang mendapatkan perawatan dari dokter. Nahda terus menangis, merutuki kesalahannya.

"Mak... maafkan aku. aku salah ninggalin Mak sendirian."

Puput yang tidak tega terus mengelus dan memeluk Nahda, memberikan ketenangan padanya. "Sudah... sabar... Insyaallah Mak baik-baik saja..."

Haris yang mendengar bahwa Nahda ada di klinik segera menghampirinya. Ia melihat dua orang gadis yang tengah saling memeluk.

"Hana..."

Haris sengaja memanggil Hana karena ada orang di dekatnya agar mudah dikenali. Merasa terpanggil, Nahda menoleh ke arah Haris. Dengan air mata yang masih mengalir, Nahda memeluk tubuh kekar itu dan menumpahkan semua kesedihannya.

"Haris... Makku... aku enggak mau Makku kenapa-kenapa..." ujarnya terus menangis.

Haris yang mendengar tangisan pilu itu hanya mengeratkan pelukannya. Puput pun tak kuasa menahan air matanya, ia juga ikut menangis akan peristiwa ini.

"Apa yang terjadi?" tanya Haris.

Puput mulai menjelaskan kronologi kejadiannya. Mendengar itu, Haris pun terkejut. Ia juga merasakan nyeri ketika melihat gadisnya itu menangis.

"Sudah, sayang... jangan nangis... Mak pasti baik-baik saja."

Namun, itu tak membuatnya tenang. Justru tangisan Nahda semakin kencang. "Ini semua salahku... Seharusnya aku berada di rumah jaga Mak... Aku... aku ceroboh."

"Ini bukan salah kamu... Semuanya sudah terjadi... Sudah ya... kamu tenang."

Haris dan Puput berusaha menenangkan Nahda yang masih terus menangis. Tak terasa dokter yang memeriksa keluar dari ruangan.

"Gimana keadaan pasien?" tanya Haris pada rekannya.

Nahda dan Puput hanya terdiam. Mereka saling berpelukan karena tidak sabar mendengar kabar dari dokter tersebut. Raut wajah dokter itu seperti menyimpan rasa empati pada keluarga pasien.

"Sebelumnya saya mau jelaskan... Bu Minarsih terjatuh dan mengenai kepalanya, dan itu membuat saluran darah di otak mengalami perpecahan... Terlebih ibu tersebut mengalami darah tinggi yang sudah kronis... Jadi, mohon maaf... ibu Anda telah tiada."

Seolah ada hentaman benda besar yang mengenai kepala gadis itu. hatinya hancur seketika mendengar kalimat yang sangat mengerikan terkait ibu sambungnya. tiba-tiba kepalanya mendadak pusing, bayangan hiram mulai menyeruak di matanya. lalu....

Bruk!

Nahda pingsan setelah mendengar kabar bahwa Ibunya telah tiada.

"Hana!!"

"Sayang!"

Mereka membawa Nahda ke kamar klinik yang kosong untuk mendapatkan perawatan. Ia syok sampai tak bisa berkata-kata. Tubuhnya langsung lemas dan akhirnya pingsan. Puput yang di samping Nahda pun terus menangis. Ia sedih akan kehilangan Minarsih dan ia juga sedih melihat sahabatnya terbaring lemah.

"Kamu jaga dia dulu ya... saya akan mengurus jenazah Bu Minarsih," ujar Haris pelan pada Puput.

"Iya, Pak Haris..."

Sebelum keluar, ia menatap sedih pada kekasihnya yang tertidur. Lalu ia mengecup dahinya pelan sembari mengelus lembut rambutnya.

"Aku segera kembali."

Lalu ia pun pergi dari ruangan tersebut. Tersisa hanya Puput yang masih setia menemani sahabatnya itu.

"Han... cepat sadar... aku enggak kuat lihat kamu begini," Puput pun terisak-isak sembari memegangi tangan halus milik gadis itu.

Haris menatap jenazah yang terbaring lemah di kasur. Pantas saja kemarin Minarsih berkata aneh. Memang takdir tidak ada yang tahu. Lalu Haris memanggil ustaz dan warga sekitar untuk memandikan jenazah tersebut.

"Mak... makasih ya, selama ini kamu telah baik terhadapku dan juga Nahda... Semoga amal ibadah Mak diterima di sisi-Nya."

Semua warga pun terkejut saat mendengar kematian Minarsih yang terlalu mendadak. Mereka tidak menyangka akan kehilangan Minarsih secepat ini. Karena Minarsih sudah tidak ada anggota keluarga kecuali Hana, maka Haris yang mengambil alih seluruh proses pemakaman hingga pengajian. Tenda kematian sudah terpasang di rumah biliknya, dan itu semua karena Haris yang melakukannya. Semua orang takziah di sana dan mendoakan Minarsih yang sudah terbungkus kain kafan.

Nahda mengerjapkan matanya. Lalu ia bangkit dengan cepat. Puput sempat terkejut karena Nahda sadar secara tiba-tiba.

"Kamu sudah sadar?"

"Mana Mak? Apa Makku baik-baik saja? Dokter itu enggak bohong kan?"

Lagi-lagi Puput terdiam. Ia bingung harus mengatakan pada Nahda bahwa yang dikatakan dokter itu benar.

"Kamu yang sabar ya, Han... dokter itu memang benar... Mak sudah tiada."

Nahda lagi-lagi mengeluarkan air matanya sembari menggeleng. "Bohong!! Kamu sahabatku, Puput... Kenapa kamu tega bohong sama aku!"

"Aku bicara yang sebenarnya, Hana... Sekarang Pak Haris tengah mengurus pemakaman Mak."

"Enggak mungkin... Makku masih hidup!"

Lalu dengan cepat, Nahda mencabut jarum infus dengan paksa, membuat Puput terkejut. Darah mengalir di tangan cantiknya. Lalu, gadis itu berlari dengan keadaan masih lemah menuju rumahnya. Tak mau meninggalkan sahabatnya, Puput ikut mengejar Nahda hingga ke rumah. Saat sampai rumah, Nahda terkejut sudah terpasang tenda dan bendera kuning berkibar di sana. Dan juga banyak warga yang berkumpul untuk mendoakan Minarsih.

"Maaakkk!" teriak Nahda, membuat orang-orang di sana melihat ke arahnya. Lalu Nahda dengan cepat memasuki rumahnya dan kembali terkejut saat melihat Minarsih terbujur kaku dengan kain kafan yang membalutnya.

"Maaakkk!!! Jangan tinggalin aku!!!" ujar Nahda menangis sembari memeluk tubuh Minarsih yang sudah tak bernyawa.

Puput pun ikut masuk ke dalam, dan kembali menenangkan gadis itu. "Sabar, Neng Hana... Ini sudah takdir Tuhan."

"Maaakkk!! Mak tega ninggalin aku sendiriaaann!!"

Haris yang dari dapur, terkejut melihat Nahda yang sudah ada di rumah, terlebih ia melihat darah yang terus mengalir di tangannya. Lalu, Haris menarik tangan Nahda untuk menjauh dari sana.

"Kamu apa-apa sih! Aku mau dekat Mak!" ujarnya marah.

"Aku tahu... tapi luka kamu banyak, sayang... harus diobatin dulu nanti infeksi..."

"Aku enggak mau!"

Tapi, Haris menarik paksa Hana agar menjauh dari sana. Nahda kembali meronta, bahkan memukul tubuh pria itu agar menjauh darinya. Namun, Haris dengan paksa mendudukkan Nahda di bangku kayu dan menatap tajam wanita itu.

"Diam sebentar," tegas Haris.

Tak pernah mendapatkan perlakuan tegas darinya, Nahda hanya menunduk sembari menangis. Lalu dengan lembut Haris mengobati luka infus yang membuat darah terus keluar. Dengan memakai obat dan dibalut perban, lukanya itu berhasil dihentikan. Lalu, ia merengkuh tubuh gadis itu yang semakin bergetar.

"Menangislah, sayang... habis itu kamu mandi ya... bersihkan tubuhmu. nanti kita ke pemakaman untuk menguburkan Mak."

Nahda ikut memeluk Haris dan menumpahkan semuanya di sana. Haris sempat berpikir bagaimana ia menceritakan semuanya. Ditinggal ibu sambung saja sudah syok seperti ini. Bagaimana ia mengetahui bahwa kedua orang tuanya juga telah tiada. Tapi, Haris tak memikirkan itu dahulu. Ia masih tetap fokus menenangkan gadis yang ada di pelukannya.

Semua orang berkumpul di pemakaman umum untuk melihat proses penguburan jenazah Minarsih. Nahda pun melihat pemakaman tersebut dengan memeluk Puput, sahabatnya. Lalu, ia menaburkan bunga dan air ke gundukan tanah yang masih baru tersebut. Semua orang mendoakan Minarsih agar hidup tenang di alam yang berbeda. Setelah selesai, semua yang membantu mulai pulang ke rumah masing-masing. Tersisa hanya Nahda, Puput, Haris, dan kedua temannya yaitu Agung dan Fahri. Mereka berdua ikut menyaksikan pemakaman tersebut.

"Mak... kenapa Mak ninggalin aku?" lirih Nahda yang terus menangis sembari memeluk batu nisan yang terpasang di sana.

"Sudah, Han... Mak sudah tenang di sana... Doakan Mak supaya berada di sisi Allah ya."

Sedangkan ketiga pria hanya terdiam dan menatap iba pada gadis yang sedang terduduk itu.

"Habis ini aku mau tinggal sama siapa? aku sudah enggak punya siapa-siapa, Put... aku sendirian."

"Kamu enggak sendirian... Ada aku... Nanti aku bakal menginap di rumah kamu ya. Jangan lupa, ada Pak Haris juga. Kamu enggak sendirian."

Sudah lama terdiam, Haris pun melangkah mendekati kekasihnya itu. "Yang dikatakan Puput memang benar... Kamu enggak sendirian, sayang... Masih ada aku..."

"Ya sudah... sekarang kita pulang ya, Nanti malam kan ada tahlilan. Kamu tenang saja, aku sudah mengurus semuanya dibantu sama warga sekitar."

Nahda yang masih terisak hanya bisa mengangguk. Ia sudah lelah menangis dan berbicara. Haris membantu gadis itu berdiri. Dan semua meninggalkan makam dan mulai pulang ke rumah.

***

Acara tahlilan pun digelar. Ternyata banyak yang datang untuk mendoakan Minarsih. Selama hidup, Minarsih memang terkenal dengan kebaikan hatinya. Tak heran banyak yang merasa kehilangan karena ia telah tiada. Haris beserta kawan-kawannya pun turut mendoakan Minarsih. Doa-doa sudah terpanjatkan. Dan terakhir, yang datang di sana diberi bingkisan berupa kue kering. Semua telah berpulang ke rumah masing-masing. Suasana rumah mendadak menjadi sepi. Di sana tersisa hanya Nahda dan Puput. Sementara para pria di depan rumah.

"Ris... lu mau di sini dulu?"

"Iya, gue mau di sini... Kasihan dia kalau gue tinggal."

"Ya sudah, kita pulang ya..."

"Oke."

Setelah rekannya pulang, Haris memasuki rumah tersebut dan melihat Puput yang menatap ke arah kamar dengan tatapan sedih.

"Kenapa?"

"Dari siang dia belum makan, Pak. Ditawarin makan juga enggak mau... Saya takut dia sakit."

Haris terdiam sejenak. Lalu ia memasuki kamar Nahda dan di sana ia melihat gadis itu tengah terdiam. Hanya termenung sembari menatap kosong ke depan. Haris dengan cepat duduk di tepi kasur di samping gadis itu.

"Sudah... jangan sedih ya."

Haris merengkuh tubuh kecilnya itu. Tidak ada suara tangis atau apa pun. Nahda hanya terdiam. Lalu Haris merasakan tubuhnya gemetar.

"Hariiiss..." lirihnya.

"Iya, sayang..."

Lalu Nahda kembali menangis meratapi kesedihannya. "Kamu jangan merasa kesepian ya, sayang... Kamu enggak ingat ya... kalau kamu masih punya keluarga?"

Nahda yang menangis dibuat terkejut. Di sana juga ada Puput yang ikut mendengarkan.

"Iya... kalau kamu mau, nanti aku ajak kamu ke kota ya... kita bakal kumpul sama-sama lagi."

Nahda seketika terdiam mendengar kalimat dari Haris mengenai keluarga kandungnya yang ada di kota. ia pun menatap pria tampan it dengan lekat. terlihat bola mata gadis itu seakan ada harapan setelah ditinggal oleh ibu sambungnya. "B-benarkah??"

"Benar... dan aku enggak bohong. Mungkin setelah misi selesai, aku akan bawa kamu ya... Gimana? Kamu mau?"

"Aku mauuu!!!" ujar Nahda dengan semangat. Walaupun ia merasa sedih akan kehilangan Minarsih, tapi ia juga sangat menginginkan bertemu dengan keluarga aslinya.

"Nanti ya... Oh iya, kamu harus makan... Kata Puput kamu belum makan dari siang, Makan dulu ya."

Nahda pun mengangguk lalu Haris bangkit mengambilkan makanan untuknya.

"Makanlah... Eh, Puput. Saya titip Hana sebentar ya... Saya mau kembali dulu ke bilik. Nanti saya ke sini lagi."

"Iya, Pak."

Puput dengan suka rela menemani sahabatnya itu. Mendengar Nahda akan pergi ke kota, membuat Puput sedikit sedih. Ia pasti akan kehilangan teman baiknya selama ini. Tapi ia juga tidak mau egois. Nahda harus bahagia bersama keluarga aslinya.

"Aku harap... kita bakal terus seperti ini ya, Hana. walau jarak memisahkan kita," batin Puput berharap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!