Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Penasaran
Ellios berjalan dengan begitu terburu-buru ke sebuah ruangan yang selama ini ia hindari. Pintu berlapis emas yang terlihat begitu mewah dan juga mahal itu dijaga oleh dua pengawal.
"Katakan pada Yang mulia bahwa saya ingin mengatakan sesuatu padanya," tegas Ellios pada para penjaga disana. Ia berdiri tegak dengan kepala terangkat dengan percaya diri walaupun di dalam hatinya terasa getir.
Pengawal disana tidak bisa berbuat apapun saat menghadapi Ellios. Salah satu dari mereka berdua pun mengetuk sebanyak tiga kali dan berkata, "Lapor, Yang mulia. Pangeran kedua ingin berbicara dengan anda." Suara itu bergema di lorong yang sepi.
Tidak berselang beberapa waktu suara berat di balik pintu terdengar. "Biarkan dia masuk." Nadanya begitu dingin dan berat hingga membuat Elena meneguk ludahnya dengan kasar.
Mendapati izin dari kaisar, Ellios pun memasuki ruang kerja sang kaisar sendirian. Elena yang menunggu diluar merasa gelisah dengan apa yang bisa saja terjadi di dalam sana.
Sedangkan Ellios berhadapan secara langsung dengan mata merah sang kaisar. Postur tubuh santai dengan tatapan penuh penekanan membuat Ellios meneguk ludahnya dengan berat.
"Yang mulia, apa benar anda ingin mengirim Pangeran Pertama ke perbatasan?" tanya Ellios dengan berhati-hati. Suasana di ruangan itu terasa berat hingga membuat Ellios merasa sulit untuk mengambil napas.
Zargan, sang kaisar menghela napas lalu mengetuk jari telunjuknya ke atas meja beberapa kali. Tatapannya lurus ke arah Ellios.
Ellios yang tidak kunjung mendapat respon dari Zargan kembali bertanya. "Yang mulia, apakah keputusan mengirim Pangeran Pertama adalah keputusan yang tepat?" Ucapan yang keluar dari bibir Ellios benar-benar berani.
Suara ketukan jari di meja berhenti, meninggalkan suasana hening sejenak. Suara yang terdengar begitu dalam dan serak, membuat siapapun yang mendengarnya bisa merasakan hawa dingin merambat di belakang punggungnya.
"Kamu meragukan keputusanku?"
Nadanya tidak memiliki intonasi yang berlebihan namun, Ellios bisa merasakan kemarahan yang terpancar dari Zargan.
Dengan hati-hati Ellios menarik napas, mempersiapkan semua kata-kata yang di benaknya. "Saya tidak bermaksud meragukan keputusan Yang mulia. Hanya saja, saya ingin memberi saran bahwa ada seseorang yang lebih layak untuk pergi ke perbatasan." Ellios mengangkat kepala dengan begitu percaya diri, meletakkan telapak tangan kanannya di atas dada.
"Saya bisa pergi ke perbatasan menggantikan Pangeran Pertama!"
Entah apa yang dipikirkan oleh Ellios saat mengajukan dirinya sendiri ke dalam marabahaya. Tapi, yang di dalam benaknya hanya tidak ingin mengirim satu-satunya saudara terdekatnya pergi ke medan perang seakan memang diminta untuk mati tanpa perlawanan.
"Kualifikasi apa yang membuatmu begitu percaya diri dapat bertahan di perbatasan?" Zargan bertanya sambil melirik dengan mata menyelidik dari atas hingga bawah.
Air muka Ellios terlihat tegang. Ia menarik napas lagi lalu berkata, "Saya memiliki tubuh yang lebih bugar daripada Pangeran pertama. Jadi, saya berpikir saya lebih layak di tempatkan di perbatasan!"
Kumohon... Jangan kirim kak Theon kesana!
Ellios berharap dengan mati-matian di dalam benaknya. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang berharga baginya. Cukup Permaisuri yang tidak bisa ia selamatkan saat ibunya meracuninya secara berkala.
Namun, harapan Ellios harus runtuh saat mendengar tawa remeh dari sang kaisar. "Jika hanya itu saja yang ingin kamu katakan, maka pergi sekarang," tegasnya detik itu juga. Tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap menusuk.
"...." Ellios hanya bisa mengigit bibir bawahnya dengan perasaan begitu frustasi. "Baik, Yang mulia. Saya undur diri." Nada suara Ellios bergetar menahan perasaannya.
Ia langsung berbalik tanpa menoleh ke belakang, berjalan begitu cepat melewati Elena yang memanggilnya di belakang.
Langkahnya membawa ia berakhir di dalam labirin taman yang dibuat di taman istana. Elena terus mengejar langkah Ellios tanpa menyadari bahwa ia telah memasuki sebuah labirin.
"Yang mulia, tunggu!!" Napas Elena tersengal-sengal karena mengejar Ellios. "Apa yang terjadi pada anda, Yang mulia?" Elena bertanya sembari mengatur napasnya yang tidak teratur. Rambut hitamnya berantakan akibat berlari mengejar Ellios.
"Hentikan sandiwaramu itu, sialan!" Umpatan yang dilontarkan oleh Ellios membuat Elena membeku seketika. Ia tidak menyangka orang seperti Ellios akan mengatakan hal kasar seperti itu.
"Jangan mengikutiku dan hentikan panggilan 'Yang mulia' bodoh itu!" Ellios menatap Elena dengan wajah yang begitu frustasi dan marah, membuat Elena merasa gelisah saat itu.
Ellios kembali berjalan lagi entah kemana, berbelok-belok di dalam labirin, membuat Elena yang mengikutinya kesusahan menyusul.
"Yang mulia, tunggu!!" Elena terus memanggil Ellios dengan gelar itu. "Kemana sebenernya anda ingin pergi? Langit akan menjadi gelap sebentar lagi!"
Langit yang menguning membuat Elena merasa khawatir. Bagaimana jika mereka tersesat saat di labirin saat langit sudah menjadi gelap?
Namun, seakan tuli, Ellios tetap tidak mempedulikan panggilan berkali-kali dari pelayannya itu dan terus melangkah hingga sampai di tengah labirin. Sebuah taman kecil dengan gazebo berwarna putih yang terlihat tidak terawat. Gazebo itu kotor dengan daun kering yang berserakan, dan beberapa debu menempel pada kursi dan juga pagarnya.
Ellios berjalan ke dekat gazebo itu dan duduk di tangga pertamanya. Memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di bawah lengannya.
Elena yang melihat Ellios terdiam sambil duduk di atas tangga yang kotor hanya bisa pasrah. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping Ellios.
Elena menikmati tempat sepi ini, seperti berada di dunia yang berbeda. Di tempat ini, Elena merasa bisa bernapas lebih baik daripada di luar sana.
Mata hitamnya akhirnya melirik ke arah Ellios yang masih diam tanpa berniat berbicara lagi. Maka dari itu, Elena berinisiatif untuk berbicara.
"Apa anda baik-baik saja, Yang mulia?" tanya Elena dengan nada khawatir. Tangannya terulur ingin menepuk punggung yang lebih kecil itu namun ia urungkan.
"Apa ada yang bisa saya lakukan untuk membuat anda lebih baik?" Elena bangkit dan berjongkok di depan Ellios. "Katakan apa saja maka saya akan melakukan apapun untuk anda," lanjutnya.
Ellios akhirnya mengangkat kepalanya dan saat itu manik mata mereka langsung bertemu. Elena yang membelakangi cahaya matahari terbenam, membuat warna rambutnya berkilau kekuningan.
"Yang mulia... Jangan sedih..." Elena kembali mengulurkan tangannya dan akhirnya mendarat tepat di lutut Ellios.
"Beritahu saya, apa yang membuat anda sedih, Yang mulia."
Ellios melihat manik hitam legam itu memancarkan sebuah ketulusan tanpa ada kebohongan sedikit pun. Aura samar yang ia lihat dari tubuh pelayannya pun berwarna biru, seakan menggambarkan suasana hati yang sedang pelayannya rasakan.
"Jangan panggil aku Yang mulia lagi!" Ellios berkata dengan nada cemberut seperti anak-anak, membuat Elena sedikit membelalakkan mata. Namun, detik selanjutnya ia bertanya dengan perlahan, "Lalu, dengan apa saya harus memanggil anda?"
"...." Ellios terdiam, menimbang apa yang harus ia katakan pada pelayannya.
"Semua pelayan pribadi biasanya memanggil tuannya dengan sebutan tuan muda ataupun nona. Tidak ada yang memanggil mereka dengan sebutan Yang mulia," jelas Ellios dengan alis yang dikerutkan.
"Maaf atas ketidaktahuan saya, Yang mulia— maksud saya Tuan muda. Saya masih kekurangan ilmu dalam melayani anda sehingga anda merasa kurang dengan adanya saya disini." Elena menundukkan kepalanya seakan meminta maaf pada Ellios atas kelancangannya selama ini.
Ellios memperhatikan Elena dengan seksama. Aura biru itu bercampur dengan warna kuning, seakan perasaannya sedang campur aduk. Tapi kenapa? Bukankah dia hanya menjadi mata-mata ibu? Kenapa dia pura-pura peduli hingga seperti ini?
Ellios melihat Elena dan tidak bisa mengerti sikapnya. Terkadang sikapnya begitu menjengkelkan karena memperhatikan dan selalu menempel kemanapun ia pergi. Namun, terkadang berubah menjadi perhatian ataupun tidak peduli.
Seakan ia sebenarnya tidak ingin jadi pelayan di kediaman ini....
To Be Continued: