Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIVIA HAMIL APA MATEO SENANG?
Nano dan salah satu pelayan rumah tengah berusaha membangunkan Livia, yang masih terbaring lemas di atas ranjang kecil kamar pembantu. Berkali-kali mereka memanggil namanya, menyentuh bahunya, bahkan menyapukan handuk basah ke dahinya, namun tak ada reaksi. Wajah Livia pucat, bibirnya kering, dan napasnya terdengar begitu pelan.
“Kita harus segera menghubungi dokter Desmond,” bisik pelayan itu panik.
Nano mengangguk, bersiap mengeluarkan ponselnya. Namun sebelum sempat menekan nomor dokter pribadi keluarga Velasco, suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah lorong. Sosok Mateo muncul di ambang pintu dengan wajah dingin dan tatapan tajam menusuk.
Matanya langsung tertuju pada tubuh Livia yang terbaring lemah. Tanpa ekspresi simpati, ia menatap Nano dan pelayan itu yang seketika berdiri tegak, gugup menanti reaksi tuan muda mereka.
“Pindahkan dia ke kamar tamu,” ucap Mateo dingin, suaranya berat dan penuh tekanan. “Lalu hubungi Desmond. Sekarang.”
Nano dan pelayan itu segera mengangguk patuh. Mereka paham betul, perintah Mateo bukan untuk menunjukkan perhatian melainkan untuk menjaga citra. Tidak mungkin dokter Desmond, yang telah lama mengenal keluarga Velasco, melihat istri seorang CEO muda ternama terbaring di kamar pembantu. Itu akan menimbulkan banyak pertanyaan yang tak diinginkan.
Dengan hati-hati, mereka memindahkan tubuh Livia ke kamar tamu di lantai atas ruangan luas dengan ranjang empuk, tirai panjang, dan aroma mawar lembut yang biasa digunakan untuk menjamu tamu penting keluarga. Sekilas, Livia terlihat seperti seorang istri yang dicintai dan dimanjakan suaminya, bukan seseorang yang setiap hari hidup dalam bayang-bayang luka dan kesepian.
Sementara itu, Mateo berdiri di balik pintu kamar tamu, memandangi tubuh Livia yang tak sadarkan diri. Tidak ada sedikit pun kekhawatiran di wajahnya hanya kepuasan karena semuanya masih berada di bawah kendalinya. Kebenaran tetap tersembunyi di balik tirai kemewahan.
Tak lama setelah menerima panggilan dari kediaman Velasco, Dokter Desmond tiba dan diantar oleh Nano ke kamar tamu tempat Livia dibaringkan. Kali ini, ia tidak datang sendiri. Di sampingnya berjalan seorang dokter wanita dengan wajah tenang dan profesional, mengenakan jas putih dan membawa tas peralatan medis.
“Ini Dokter Rita, spesialis kandungan,” ucap Desmond kepada Mateo sebelum masuk. “Nano mengatakan istri Anda sempat muntah lalu pingsan. Saya rasa lebih baik langsung ditangani ahlinya.”
Mateo hanya mengangguk dingin tanpa menjawab.
Begitu masuk, Livia terlihat masih setengah sadar. Wajahnya pucat, napasnya pelan, dan matanya terbuka sedikit, menatap kosong ke langit-langit kamar. Ia mendengar suara-suara samar tapi tak mampu mengerti sepenuhnya.
Dokter Rita segera mengambil alih pemeriksaan. Setelah memeriksa tekanan darah dan suhu tubuh Livia, ia meminta sampel urin yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh pelayan.
Desmond menyerahkan hasil test pack digital yang menunjukkan dua garis jelas.
“Tes kehamilan menunjukkan hasil positif,” ucap Rita sambil menatap layar. “Untuk lebih memastikan, saya akan periksa detak jantung janinnya.”
Rita mengambil fetal doppler dan menempelkannya ke bagian bawah perut Livia. Ia memutar alat itu perlahan, mencari sinyal.
Beberapa detik kemudian terdengar suara sangat lembut dan samar, detak jantung kecil namun nyata.
“Ada detak jantung,” ucap Rita. “Kehamilannya masih sangat muda, kemungkinan besar baru sekitar dua hingga tiga minggu. Tapi ini cukup untuk jadi tanda awal yang jelas.”
Mateo mengernyit, lalu terkekeh sinis. “Dua minggu? Aku bahkan tidak tahu sejak kapan gadis ini bisa hamil.”
“Jika Anda ragu, saya bisa bantu aturkan pemeriksaan lanjutan di rumah sakit,” jawab Rita tegas namun tenang. “Tapi semua indikasi yang saya temukan mendukung hasil ini.”
Livia mengerjap pelan, air mata mulai mengalir di sudut matanya. Ia mendengar segalanya, tubuhnya masih lemah tapi pikirannya mulai jernih. Kehamilan?
Sementara itu, Mateo tetap berdiri kaku, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan amarah dan pikirannya yang mulai dipenuhi perhitungan.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan dan memastikan kondisi Livia, Dokter Desmond dan Dokter Rita berpamitan kepada Mateo. Mereka meninggalkan kamar dengan sopan, membiarkan pasangan suami istri itu sendiri dalam keheningan yang begitu menyesakkan.
Kini hanya tersisa mereka berdua. Livia terbaring lemah di atas ranjang kamar tamu, sementara Mateo berdiri di dekat jendela, diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Suasana kamar begitu sunyi, hanya terdengar detak jam dan tarikan napas pelan Livia yang masih terlihat pucat.
Air mata menetes tanpa suara dari sudut mata Livia. Bukan karena rasa sakit secara fisik, tapi karena perasaannya yang hancur berkeping-keping.
Tiba-tiba, Mateo berbalik dengan langkah cepat. Ia mendekat, dan dalam satu gerakan kasar, mencengkram kerah baju Livia dan menarik tubuh gadis itu agar bertatapan dengannya.
"Apa misimu berhasil, hah? Sialan," desis Mateo dengan tatapan penuh amarah dan jijik.
Livia tak sanggup menjawab. Tubuhnya masih lemah, dan jiwanya sudah terlalu lelah untuk membela diri. Ia hanya diam, membiarkan air matanya mengalir tanpa suara.
Mateo menatapnya seolah Livia adalah duri dalam hidupnya.
"Kehadiranmu saja sudah sebuah kesalahan fatal, Livia," ucapnya dengan nada rendah namun tajam. "Dan sekarang... kau mengandung. Anak dari perempuan seperti kau. Kau pikir aku akan berubah? Akan bersikap baik padamu karena ini?"
Matanya membara.
"Kau bukan siapa-siapa di rumah ini. Kau cuma beban. Sampah. Dan sekarang kau membawa anak sialan ke dalam hidupku, ke dalam nama keluargaku. Hebat sekali caramu menghancurkan hidup orang lain."
Mateo melepaskan cengkramannya dengan kasar, membuat tubuh Livia kembali terjatuh lemah ke bantal. Tapi Livia hanya diam, menahan tangis dalam hati. Ia tak tahu harus berharap pada apa lagi.
Setelah Mateo keluar dari kamar dengan pintu yang dibanting keras, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Livia terbaring lemah, menatap langit-langit sambil menahan isakan. Tangisnya tak lagi bisa dibendung. Tubuhnya terasa dingin, dan hatinya... jauh lebih beku dari sebelumnya.
Ia menyentuh perutnya perlahan, penuh keraguan dan ketakutan. Di sana, ada kehidupan kecil yang bahkan belum sempat merasakan hangatnya kasih sayang. Sebuah nyawa yang tak tahu apa-apa, tapi sudah dianggap kesalahan oleh ayahnya sendiri.
"Apa aku mampu membesarkanmu?" bisik Livia lirih, suaranya nyaris tak terdengar. "Maaf… maafkan ibu…"
Air matanya kembali menetes, membasahi pipi yang sudah basah sejak tadi.
Livia tahu, dia tak bisa terus begini. Diam, pasrah, dan membiarkan dirinya diinjak-injak. Tapi di sisi lain, dia juga tak tahu harus mulai dari mana. Rumah ini bukan rumah. Ini penjara. Dan Mateo… adalah penjaga yang tak segan menyiksanya.
Beberapa menit berlalu, dan Livia akhirnya duduk perlahan, berusaha mengumpulkan kekuatan. Dia mengambil secarik kertas kosong dan pena dari laci kecil di meja samping tempat tidur.
Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis.
"Untuk Ibu..."
Kalimat pertama sudah membuat matanya kembali berkaca-kaca. Tapi ia terus menulis, menumpahkan semua yang selama ini ia pendam. Tentang penderitaannya, tentang kebohongan yang ia pertahankan demi tidak membuat ibunya cemas, dan tentang kehamilannya… satu-satunya alasan yang kini memberinya kekuatan untuk tetap bertahan hidup.
Ketika surat itu selesai, Livia melipatnya rapi dan menyimpannya di bawah bantal. Belum ada keberanian untuk mengirimkan surat itu… tapi ia tahu, satu hari nanti, ibunya harus tahu kebenarannya.
Hari sudah mulai gelap ketika Livia akhirnya memejamkan mata, dengan tangan masih memegang perutnya.
"Aku akan melindungimu," bisiknya pelan, sebelum akhirnya tertidur dengan tubuh yang masih letih namun hati yang mulai berusaha tegar.
Mateo menatap layar komputer di ruang kerjanya, matanya terpaku pada rekaman CCTV dari kantor. Beberapa hari terakhir, ia telah menghabiskan waktu berjam-jam menelusuri setiap rekaman, mencoba menemukan satu petunjuk yang dapat memberi jawaban atas kebingungannya. Rekaman itu menunjukkan semua yang terjadi, namun yang paling ia cari kejadian malam itu, saat segalanya dimulai tidak terlihat. Tidak ada bukti, tidak ada petunjuk yang menunjukkan siapa yang mengatur semuanya.
"Sialan," gumam Mateo, wajahnya dipenuhi amarah. "Siapa yang melakukan ini padaku?"
Rekaman CCTV di kantor menunjukkan bahwa tidak ada yang mencurigakan, tidak ada yang terlihat di luar biasa. Ia mengingat malam itu malam di mana dia menerima dokumen yang mengarahkannya pada Livia. Ia tahu, di dalam dirinya, bahwa semuanya tidak terjadi begitu saja. Seseorang telah merencanakannya dengan sangat hati-hati. Tapi siapa?
Mateo tahu bahwa dirinya dijebak. Tapi untuk apa? Apa tujuannya menjebaknya seperti ini? Semua bukti yang ia harapkan tak ada. Seolah-olah pelakunya tahu setiap gerakan yang akan dia lakukan, bahkan rekaman CCTV sekalipun bisa dimanipulasi.
"Kau pasti dekat denganku," bisik Mateo, berbicara pada dirinya sendiri. "Siapa pun kau, aku akan menemukannya."
Dia menutup komputer dengan kasar, matanya masih penuh dengan rasa benci dan kebingungan. Tidak ada lagi yang bisa ia andalkan selain intuisi. Ia merasakan ada seseorang dalam lingkarannya yang begitu lihai, terlalu cerdik untuk diketahui. Dan sekarang, dengan Livia yang hamil, semuanya jadi lebih rumit. Ia harus mencari tahu siapa yang menyembunyikan kebenaran ini darinya, karena dia tahu, begitu dia menemukan jawabannya, tidak ada yang akan selamat.
Mateo berdiri dari kursinya dengan kesal, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Pikirannya terus berputar, meresapi ketidakpastian yang semakin mencekiknya. Dia menatap jendela yang menghadap ke kota, namun pandangannya kosong. Seperti ada yang hilang, sesuatu yang besar yang tidak bisa ia pahami.
"Siapa yang begitu licik?" bisiknya pada dirinya sendiri. Setiap langkah yang ia ambil seolah dipenuhi dengan keraguan, dan semakin dekat dia mencoba mendekati jawaban, semakin dia merasa terjebak dalam permainan yang tidak dia pahami. "Apa yang mereka inginkan dariku?"
Livia, gadis yang menurutnya hanya menjadi gangguan dalam hidupnya, sekarang telah menjadi bagian dari teka-teki yang lebih besar. Dia harus menanggung beban yang tidak seharusnya ada di atas pundaknya. Bahkan dengan kehamilan yang baru diketahuinya, Mateo merasa semakin terpojok.
Dia tahu, jika ini adalah rencana yang disusun dengan sangat hati-hati, orang di balik ini pasti lebih pintar darinya. Mereka telah berhasil mempermainkan setiap langkahnya dengan sempurna. Livia hanya sebuah pion dalam permainan mereka, dan siapa pun yang mengatur ini tidak akan berhenti sampai tujuan mereka tercapai. Apa yang mereka inginkan? Hanya satu hal yang pasti dia tidak bisa membiarkan ini berlanjut.
Dia memutar tubuhnya, menghentikan langkahnya tepat di depan meja kerjanya. Pikirannya berkelana, kembali ke malam yang kelam itu momen ketika ia pertama kali menerima dokumen yang memulai semuanya. Tidak ada petunjuk. Tidak ada yang tampak salah, namun entah kenapa, dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat salah.
"Jika aku tidak bisa menemukan siapa pelakunya, aku tidak akan pernah bisa membebaskan diriku dari jebakan ini," Mateo berbisik penuh tekad. Dia tahu satu-satunya cara untuk keluar dari situasi ini adalah dengan menghancurkan rencana orang yang mencoba menjebaknya. Tetapi untuk itu, ia harus tahu siapa mereka.
Tanpa sadar, ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah lama ia hindari. Seseorang yang mungkin bisa memberinya petunjuk lebih lanjut seorang teman lama yang kini bekerja di luar negeri, yang mungkin tahu lebih banyak tentang pergerakan orang-orang dalam lingkarannya.
"Panggil aku jika sudah siap," kata Mateo pada dirinya sendiri, sebelum menekan tombol kirim dan menunggu balasan.
Sekarang, dengan satu tujuan di kepalanya, Mateo tahu bahwa ini bukan hanya tentang pernikahan palsu dengan Livia atau masalah rumah tangga mereka yang kacau. Ini lebih besar dari itu. Dan untuk pertama kalinya, Mateo merasa tidak berdaya terjebak dalam sebuah permainan yang bahkan dia tidak tahu cara memainkannya.
Di luar sana, seseorang tertawa dalam diam, puas dengan permainan yang sedang berlangsung.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/